top of page

Empat Kesunyataan Mulia - bab IV | Living Dhamma

Updated: Apr 1, 2023


Ceramah ini diberikan di Manjushri Institute in Cumbria, U.K., pada tahun 1977


Hari ini saya diundang oleh kepala vihāra untuk memberikan kalian sebuah ajaran, jadi saya minta kalian semua untuk duduk dengan tenang dan menenangkan pikiran kalian. Dikarenakan kendala bahasa, kita harus menggunakan seorang penerjemah, jadi jika kalian tidak memperhatikan dengan saksama, kalian mungkin tidak mengerti. Masa tinggal saya di sini sangat menyenangkan. Baik Guru maupun kalian, para pengikutnya, telah bersikap sangat baik, semuanya ramah dan murah senyum, sebagaimana layaknya mereka yang mempraktikkan Dhamma sejati. Bangunan kalian juga, sangat menginspirasi, tapi sangat besar! Saya mengagumi dedikasi kalian dalam merenovasinya untuk mendirikan sebuah tempat untuk mempraktikkan Dhamma. Setelah menjadi guru selama bertahun-tahun sekarang, saya telah melalui banyak kesulitan. Saat ini ada sekitar empat puluh vihāra cabang1 dari vihāra saya, Wat Nong Pah Pong, tetapi bahkan saat ini saya mempunyai pengikut yang sulit diajari. Beberapa tahu tapi tidak mau berusaha berlatih, beberapa tidak tahu dan tidak mencoba untuk mencari tahu. Saya tidak tahu harus berbuat apa kepada mereka. Mengapa manusia mempunyai pikiran seperti ini? Menjadi tidak tahu itu tidak baik, tetapi bahkan ketika saya memberi tahu mereka, mereka masih tidak mendengarkan. Saya tidak tahu apa lagi yang bisa saya lakukan. Orang-orang begitu penuh dengan keraguan dalam latihannya, mereka selalu meragukan. Mereka semua ingin pergi ke Nibbāna, tetapi mereka tidak mau menjalani Jalan. Mengherankan. Ketika saya menyuruh mereka untuk bermeditasi, mereka takut, atau jika tidak takut maka hanya mengantuk. Kebanyakan dari mereka suka melakukan hal-hal yang tidak saya ajarkan. Ketika saya bertemu dengan Yang Mulia kepala


Vihāra di sini saya bertanya kepada beliau seperti apa para pengikutnya. Beliau berkata mereka sama saja. Inilah derita menjadi seorang guru. Ajaran yang akan saya berikan kepada kalian hari ini adalah sebuah cara untuk menyelesaikan masalah-masalah pada masa kini, di kehidupan sekarang ini. Beberapa orang mengatakan bahwa mereka punya banyak sekali pekerjaan sehingga mereka tidak mempunyai waktu untuk mempraktikkan Dhamma. “Apa yang bisa kami lakukan?” mereka bertanya. Saya bertanya kepada mereka, “Apakah kalian tidak bernapas saat kalian bekerja?” “Ya, tentu saja kami bernapas!” “Jadi bagaimana bisa kalian punya waktu untuk bernapas ketika kalian sangat sibuk?” Mereka tidak tahu harus menjawab apa. “Jika kalian mempunyai sati saat bekerja, kalian akan punya banyak waktu untuk berlatih.” Berlatih meditasi itu sama seperti bernapas. Saat bekerja kita bernapas, saat tidur kita bernapas, saat duduk kita bernapas. Kenapa kita punya waktu untuk bernapas? Karena kita melihat pentingnya bernapas, kita bisa selalu menemukan waktu untuk bernapas. Dengan cara yang sama, jika kita melihat pentingnya latihan meditasi kita akan menemukan waktu untuk berlatih. Apakah ada di antara kalian yang pernah menderita? Pernahkah kalian bahagia? Di sinilah kebenarannya, di sinilah kalian harus mempraktikkan Dhamma. Siapakah yang bahagia? Pikiranlah yang bahagia. Siapakah yang menderita? Pikiranlah yang menderita. Di manapun hal-hal ini timbul, di sanalah mereka berakhir. Pernahkan kalian mengalami kebahagiaan? Pernahkah kalian mengalami penderitaan? Inilah masalah kita. Jika kita mengetahui penderitaan2, sebab penderitaan, akhir penderitaan dan jalan menuju akhir penderitaan, kita bisa menyelesaikan masalah. Ada dua jenis penderitaan: penderitaan biasa dan penderitaan yang luar biasa. Penderitaan biasa adalah penderitaan yang merupakan sifat bawaan dari kondisi: berdiri adalah penderitaan, duduk adalah penderitaan, berbaring adalah penderitaan. Ini adalah penderitaan yang melekat pada semua fenomena yang berkondisi. Bahkan Sang Buddha mengalami hal-hal ini, Beliau mengalami kenyamanan dan rasa sakit, tetapi Beliau mengenalinya


sebagai kondisi-kondisi di alam. Beliau tahu bagaimana mengatasi perasaan nyaman dan rasa sakit yang biasa dan alami ini dengan memahamai sifat aslinya. Karena Beliau memahami “penderiaan alami” ini, perasaan-perasaan itu tidak mengganggunya. Jenis penderitaan yang penting adalah penderitaan jenis ke dua, penderitaan yang merayap masuk dari luar, “penderitaan yang luar biasa.” Jika kita sakit kita mungkin harus disuntik oleh dokter. Ketika jarum menembus kulit, ada suatu rasa sakit yang alami. Saat jarum ditarik keluar, rasa sakit itu menghilang. Ini seperti jenis penderitaan biasa, tidak masalah, semua orang mengalaminya. Penderitaan yang luar biasa adalah penderitaan yang timbul dari apa yang kita sebut upādāna, menggenggam pada hal-hal. Ini seperti disuntik dengan jarum suntik yang diisi dengan racun. Ini bukan lagi jenis rasa sakit biasa, ini adalah kesakitan yang berakhir dengan kematian. Ini mirip dengan penderitaan yang timbul dari menggenggam. Pandangan salah, tidak mengetahui sifat ketidakkekalan dari segala hal yang berkondisi, adalah jenis masalah lain. Hal-hal yang berkondisi adalah alam saṃsāra3. Tidak menginginkan hal-hal untuk berubah – jika kita berpikiran seperti ini kita harus menderita. Ketika kita berpikir bahwa tubuh adalah diri kita atau milik kita, kita takut saat kita melihatnya berubah. Pertimbangkanlah napas: setelah napas masuk ia harus keluar, setelah keluar ia harus masuk ke dalam lagi. Ini adalah sifatnya, beginilah cara kita bertahan hidup. Hal-hal tidak bekerja dengan cara itu. Beginilah kondisi-kondisi adanya tetapi kita tidak menyadarinya. Misalkan kita kehilangan sesuatu. Jika kita berpikir bahwa objek itu benar-benar milik kita, kita akan sangat memikirkannya. Jika kita tidak bisa melihatnya sebagai hal yang berkondisi yang berjalan sesuai dengan hukum alam, kita akan mengalami penderitaan. Tetapi jika anda hanya menarik nafas saja, bisakah anda hidup? Hal-hal yang berkondisi harus berubah secara alami seperti ini. Melihat hal ini berarti melihat Dhamma, melihat aniccaṃ, perubahan. Kita hidup bergantung pada perubahan ini. Ketika kita tahu bagaimana hal-hal adanya, maka kita bisa melepaskan mereka.


Praktik Dhamma adalah untuk mengembangkan pemahaman tentang jalannya hal-hal sebagaimana adanya agar penderitaan tidak timbul. Jika kita berpikir secara salah, kita akan bertentangan dengan dunia, bertentangan dengan Dhamma dan dengan kebenaran. Misalkan anda sakit dan harus pergi ke rumah sakit. Kebanyakan orang akan berpikir, “Tolong jangan biarkan aku mati, aku ingin sembuh.” Ini adalah pemikiran yang salah, ini akan menyebabkan penderitaan. Anda harus berpikir pada diri sendiri, “Jika saya sembuh, saya sembuh, jika saya mati, saya mati.” Ini adalah pemikiran yang benar, karena pada akhirnya anda tidak bisa mengendalikan kondisi. Jika anda berpikir seperti ini, apakah anda mati atau sembuh, anda tidak bisa salah, anda tidak perlu khawatir. Pikiran yang ingin sembuh dengan segala cara, dan takut memikirkan kematian, ini adalah pikiran yang tidak memahami kondisi. Anda harus berpikir, “Jika saya sembuh tidak apa-apa, jika saya tidak sembuh tidak apa-apa.” Dengan begini kita tidak bisa salah, kita tidak perlu takut atau menangis, karena kita sudah menyesuaikan diri kita dengan jalannya hal-hal sebagaimana adanya. Sang Buddha melihat dengan jelas. Ajarannya selalu relevan, tidak pernah ketinggalan zaman. Ajarannya tidak pernah berubah. Di masa sekarang, Ajarannya masih tetap sama, tidak berubah. Dengan mengambil ajaran ini ke dalam hati kita bisa memperoleh manfaat berupa ketenangan dan kesejahteraan. Dalam ajaran-ajaran tersebut terdapat perenungan tentang “tiada-diri”: “ini bukan diriku, ini bukan milikku.” Tetapi orang-orang tidak suka mendengarkan ajaran semacam ini karena mereka melekat pada gagasan tentang diri. Inilah penyebab penderitaan. Kalian harus memperhatikan hal ini. Hari ini seorang wanita bertanya tentang bagaimana cara mengatasi kemarahan. Saya katakan kepadanya lain kali dia marah, dia harus memutar jam bekernya dan meletakkannya di depannya. Kemudian dia harus memberi dirinya waktu dua jam untuk kemarahannya pergi. Jika itu benar-benar kemarahannya, dia kira-kira bisa menyuruhnya untuk pergi seperti ini: “Dalam dua jam lenyaplah!” Tetapi kemarahan sebenarnya bukanlah milik kita untuk diperintah. Terkadang dalam dua jam masih belum hilang, di waktu lain dalam satu jam sudah hilang. Memegang kemarahan sebagai milik pribadi akan menyebabkan penderitaan. Jika ia benar-benar milik kita ia harus mematuhi kita. Jika ia tidak mematuhi kita itu berarti ia hanyalah tipuan. Jangan teperdaya olehnya. Apakah pikiran bahagia atau sedih, jangan teperdaya oleh hal itu. Apakah pikiran mencintai atau membenci, jangan teperdaya oleh hal itu, semua itu adalah tipuan. Apakah ada di antara kalian yang pernah marah? Saat kalian marah, apakah itu terasa enak atau buruk? Jika terasa buruk lalu kenapa kalian tidak membuang perasaan itu? Kenapa repot-repot menyimpannya? Bagaimana kalian bisa mengatakan bahwa kalian bijak dan cerdas bila kalian berpegang pada hal-hal semacam ini? Sejak hari kalian dilahirkan, sudah berapa kali pikiran menipu kalian untuk menjadi marah? Ada hari di mana pikiran bahkan bisa menyebabkan seluruh keluarga bertengkar, atau menyebabkan kalian menangis semalaman. Namun kita masih terus marah, kita masih berpegang pada hal-hal dan menderita. Jika anda tidak melihat penderitaan, anda harus terus menderita tanpa batas waktu, tanpa ada kesempatan untuk beristirahat. Dunia saṃsāra memang seperti ini. Jika kita mengetahui bagaimana hal-hal adanya, kita bisa menyelesaikan masalah. Ajaran Sang Buddha menyatakan bahwa tidak ada cara yang lebih baik untuk mengatasi penderitaan selain melihat bahwa “ini bukan diriku,” “ini bukan milikku.” Ini adalah metode terbaik. Tetapi kita biasanya tidak memperhatikan ini. Ketika penderitaan timbul kita hanya menangisinya tanpa belajar darinya. Mengapa demikian? Kita harus memperhatikan dengan saksama hal-hal ini, untuk mengembangkan Buddho, Yang Mengetahui. Perhatikanlah, beberapa dari kalian mungkin tidak sadar bahwa ini adalah ajaran Dhamma. Saya akan memberikan kalian sebuah Dhamma yang berada di luar kitab suci. Kebanyakan orang membaca kitab suci tetapi tidak melihat Dhamma. Hari ini saya akan memberikan kalian sebuah ajaran yang berada di luar kitab suci. Beberapa orang mungkin melewatkan intinya atau tidak mampu memahaminya. Misalkan dua orang sedang berjalan bersama dan melihat seekor bebek dan seekor ayam. Salah satu dari mereka berkata, “Mengapa ayam itu tidak seperti bebek, mengapa bebek tidak seperti ayam?” Dia ingin ayam menjadi bebek dan bebek menjadi ayam. Itu mustahil. Jika itu mustahil, maka meskipun orang itu mengharapkan bebek menjadi ayam dan ayam menjadi bebek selama hidupnya, itu tidak akan terjadi, karena ayam adalah ayam dan bebek adalah bebek. Selama orang itu berpikiran seperti itu dia akan menderita. Orang yang satunya lagi mungkin melihat bahwa ayam adalah ayam dan bebek adalah bebek, dan begitu sajalah. Tidak ada masalah. Dia melihat secara benar. Jika anda menginginkan bebek menjadi ayam dan ayam menjadi bebek, anda akan benar-benar menderita. Dengan cara yang sama, hukum aniccaṃ menyatakan bahwa semua hal tidak kekal. Jika anda menginginkan hal-hal menjadi kekal anda akan menderita. Setiap kali ketidakkekalan menunjukkan dirinya anda akan kecewa. Seseorang yang melihat bahwa hal-hal memang secara alami tidak kekal akan merasa tenang, tidak akan ada konflik. Orang yang menginginkan hal-hal menjadi kekal akan mengalami konflik, mungkin bahkan tidak bisa tidur karenanya. Ini dikarenakan ketidaktahuan tentang aniccaṃ, ketidakkekalan, ajaran Sang Buddha. Jika kalian ingin mengetahui Dhamma, di mana kalian harus melihat? Kalian harus melihat di dalam tubuh dan pikiran. Kalian tidak akan menemukannya di rak buku. Untuk benar-benar melihat Dhamma kalian harus melihat ke dalam tubuh dan pikiran kalian sendiri. Hanya ada dua hal ini. Pikiran tidak bisa dilihat oleh mata fisik, ia harus dilihat dengan “mata pikiran.” Sebelum Dhamma bisa disadari, kalian harus tahu ke mana harus melihat. Dhamma yang ada di dalam tubuh harus dilihat di dalam tubuh. Dan dengan apa kita melihat tubuh? Kita melihat tubuh dengan pikiran. Kalian tidak akan menemukan Dhamma dengan melihat ke tempat lain, karena kebahagiaan dan penderitaan keduanya timbul tepat di sini. Pernahkah kalian melihat kebahagiaan timbul di pepohonan? Atau dari sungai, atau cuaca? Kebahagiaan dan penderitaan adalah perasaan yang timbul di dalam tubuh dan pikiran kita sendiri. Oleh karena itu Sang Buddha memberi tahu kita untuk mengetahui Dhamma tepat di sini. Dhamma ada di sini, kita harus melihat tepat di sini. Guru mungkin menyuruh kalian untuk melihat Dhamma di dalam buku,


tetapi jika kalian pikir kalau di situlah Dhamma benar-benar berada, kalian tidak akan pernah melihatnya. Setelah melihat buku kalian harus renungkan ajaran-ajaran itu ke dalam hati. Kemudian kalian dapat memahami Dhamma. Di manakah Dhamma sejati berada? Dhamma sejati berada tepat di sini di dalam tubuh dan pikiran kita. Ini adalah inti sari dari praktik perenungan. Ketika kita melakukan ini, kebijaksanaan akan timbul di dalam pikiran kita. Ketika ada kebijaksanaan di dalam pikiran kita, maka tidak peduli ke mana pun kita melihat di sana ada Dhamma, kita akan melihat aniccaṃ, dukkhaṃ, dan anattā setiap saat. Aniccaṃ berarti sementara. Dukkhaṃ – jika kita melekat pada hal-hal yang bersifat sementara kita pasti menderita, karena mereka bukan kita atau milik kita (anattā). Tetapi kita tidak melihat ini, kita selalu melihat mereka sebagai diri kita dan milik kita. Ini berarti bahwa kalian tidak melihat kebenaran konvensi. Kalian harus memahami konvensi. Sebagai contoh, kita semua yang duduk di sini mempunyai nama. Apakah nama kita terlahir bersama kita ataukah nama itu diberikan kepada kita setelahnya? Apakah kalian mengerti? Ini adalah konvensi. Apakah konvensi berguna? Tentu saja berguna. Sebagai contoh, misalkan ada empat orang, A, B, C dan D. Mereka semua pasti punya nama mereka sendiri demi kemudahan dalam berkomunikasi dan bekerja sama. Jika kita ingin berbicara kepada Tuan A kita bisa memanggil Tuan A dan dia akan datang, bukan yang lain. Ini adalah kemudahan konvensi. Tetapi ketika kita melihat lebih dalam ke dalam persoalannya, kita akan melihat bahwa sesungguhnya tidak ada siapa-siapa di sana. Kita akan melihat transendensi. Hanya ada tanah, air, angin dan api, empat unsur. Hanya ini saja yang ada pada tubuh kita ini. Tetapi kita tidak melihatnya seperti ini karena kekuatan kemelekatan Attavādupādāna4. Jika kita melihat dengan jelas kita akan melihat bahwa sesungguhnya tidak ada yang bisa kita sebut sebagai orang. Bagian yang padat adalah unsur tanah, bagian yang cair adalah unsur air, bagian yang memberikan panas disebut unsur api. Ketika kita merincikan hal-hal, kita melihat bahwa hanya ada tanah, air, angin dan api. Di manakah ada orang yang dapat ditemukan? Tidak ada siapa pun.


Itulah sebabnya Sang Buddha mengajarkan bahwa tidak ada praktik yang lebih tinggi daripada melihat bahwa “ini bukan diriku dan bukan milikku.” Mereka hanyalah konvensi. Jika kita memahami semuanya dengan jelas seperti ini kita akan merasa tenang. Jika kita menyadari pada saat ini kebenaran dari ketakkekalan, bahwa hal-hal bukanlah diri kita atau milik kita, maka pada saat mereka terurai kita berdamai dengan mereka, karena mereka bukan milik siapa-siapa. Mereka hanyalah unsur tanah, air, angin dan api. Sulit bagi orang untuk melihat ini, tapi meski begitu, ini tidak berada di luar kemampuan kita. Jika kita bisa melihat ini, kita akan menemukan kepuasan, kita tidak akan memiliki begitu banyak kemarahan, keserakahan atau kekelirutahuan. Akan selalu ada Dhamma di dalam hati kita. Tidak akan perlu ada kecemburuan dan dendam, karena semua orang hanyalah tanah, air, angin dan api. Tidak ada lagi yang lebih pada mereka daripada ini. Ketika kita menerima kebenaran ini, kita akan melihat kebenaran dari ajaran Sang Buddha. Jika kita bisa melihat kebenaran dari ajaran Sang Buddha, kita tidak akan membutuhkan begitu banyak guru! Tidak perlu mendengarkan ajaran setiap hari. Ketika kita paham maka kita cukup melakukan apa yang diperlukan. Tetapi apa yang membuat orang sulit untuk diajari adalah karena mereka tidak menerima ajaran dan berdebat dengan guru dan ajaran. Di depan guru mereka bersikap sedikit lebih baik, tetapi di belakangnya mereka menjadi pencuri! Orang-orang sungguh sulit diajari. Orang-orang di Thailand seperti ini, karena itulah mereka harus punya begitu banyak guru. Berhati-hatilah; jika anda tidak berhati-hati anda tidak akan melihat Dhamma. Anda harus berhati-hati, menerima ajaran dan merenungkannya dengan saksama. Apakah bunga ini cantik? Apakah anda melihat kejelekan di dalam bunga ini? Untuk berapa hari ia akan cantik? Akan menjadi seperti apa mulai dari sekarang? Mengapa ia berubah demikian? Dalam tiga atau empat hari anda harus mengambilnya dan membuangnya, bukan? Ia kehilangan semua keindahanya. Orang-orang terikat pada keindahan, terikat pada kebaikan. Jika ada sesuatu yang baik mereka akan menyukainya sepenuhnya. Sang Buddha memberi tahu kita untuk melihat hal-hal yang cantik hanya sebagai sekadar cantik; kita tidak boleh terikat padanya. Jika ada perasaan yang menyenangkan, kita tidak boleh tertipu olehnya. Kebaikan bukanlah hal yang pasti, keindahan bukanlah hal yang pasti. Tidak ada yang pasti. Tidak ada apa pun di dunia ini yang merupakan sebuah kepastian. Ini adalah kebenaran. Hal-hal yang tidak benar adalah hal-hal yang berubah, seperti keindahan. Satu-satunya kebenaran yang dimilikinya adalah dalam perubahannya yang konstan. Jika kita percaya bahwa hal-hal adalah indah, ketika keindahan mereka memudar, pikiran kita kehilangan keindahannya juga. Ketika hal-hal tidak lagi baik, pikiran kita kehilangan kebaikannya juga. Ketika mereka hancur atau rusak kita menderita karena kita sudah melekat padanya sebagai milik kita. Sang Buddha memberi tahu kita untuk melihat bahwa hal-hal ini hanyalah konstruksi alam. Keindahan muncul dan dalam beberapa hari ia memudar. Melihat hal ini berarti mempunyai kebijaksanaan. Oleh Karena itu kita harus melihat ketidakkekalan. Jika kita berpikir sesuatu itu cantik, kita harus memberi tahu diri kita itu tidak cantik, jika kita berpikir sesuatu itu jelek kita harus memberi tahu diri kita itu tidak jelek. Cobalah untuk melihat hal-hal dengan cara ini, terus-menerus merenung dengan cara ini. Kita kemudian akan melihat kebenaran di dalam hal-hal yang tidak benar, melihat kepastian di dalam hal-hal yang tidak pasti. Hari ini saya sudah menjelaskan cara untuk memahami penderitaan, apa yang menyebabkan penderitaan, akhir penderitaan dan jalan menuju akhir penderitaan. Ketika anda mengetahui penderitaan, anda harus membuangnya. Mengetahui penyebab penderitaan, anda harus membuangnya. Berlatih untuk melihat akhir penderitaan. Lihatlah aniccaṃ, dukkhadan anattā dan penderitaan akan berakhir. Ketika penderitaan berakhir, ke mana kita pergi? Untuk apa kita berlatih? Kita berlatih untuk melepaskan, bukan untuk mendapatkan sesuatu. Ada seorang wanita sore ini yang memberi tahu saya bahwa dia menderita. Saya bertanya kepadanya dia ingin menjadi apa, dan dia bilang dia ingin menjadi tercerahkan. Saya katakan, “Selama anda ingin menjadi tercerahkan, anda tidak akan pernah menjadi tercerahkan. Jangan inginkan apa pun.” Ketika kita mengetahui kebenaran dari penderitaan, kita membuang penderitaan. Ketika kita mengetahui penyebab penderitaan, maka kita tidak


menciptakan penyebab-penyebab itu, melainkan berlatih untuk membawa penderitaan ke akhirnya. Latihan yang mengarah ke akhirnya penderitaan adalah dengan melihat bahwa “ini bukanlah diri,” “ini bukanlah aku atau mereka.” Melihat dengan cara ini memungkinkan penderitaan untuk berakhir. Ini seperti mencapai tujuan kita dan berhenti. Itulah pengakhiran. Itu mendekati Nibbāna. Dengan kata lain, maju adalah penderitaan, mundur adalah penderitaan dan berhenti adalah penderitaan. Tidak maju, tidak mundur dan tidak berhenti, apa ada yang tersisa? Tubuh dan pikiran berakhir di sini. Ini adalah akhir dari penderitaan. Sulit untuk dipahami, bukan? Jika kita dengan tekun dan terus-menerus mempelajari ajaran ini, kita akan melampaui hal-hal dan mencapai pemahaman; akan ada pengakhiran. Inilah ajaran tertinggi Sang Buddha, inilah titik penyelesaian. Ajaran Sang Buddha selesai pada titik pelepasan total. Hari ini saya mempersembahkan ajaran ini kepada kalian semua dan kepada Guru yang terhormat juga. Jika ada yang salah di dalamnya, saya mohon maaf. Tapi jangan terburu-buru menilai apakah benar atau salah, dengarkan saja dulu. Jika saya memberi kalian semua sebuah buah dan memberi tahu kalian bahwa buah itu sangat enak, kalian harus memperhatikan kata-kata saya, tapi jangan mempercayai saya begitu saja, karena kalian masih belum mencicipinya. Ajaran yang saya berikan kepada kalian hari ini juga sama. Jika kalian ingin tahu apakah “buah” itu manis atau asam, kalian harus mengiris sepotong dan mencicipinya. Maka kalian akan tahu kemanisan atau keasamannya. Kemudian kalian bisa mempercayai saya, karena saat itu kalian sudah melihatnya sendiri. Jadi tolong jangan buang “buah” ini, simpan dan cicipilah, ketahui sendiri rasanya. Sang Buddha tidak mempunyai guru, kalian tahu. Seorang petapa pernah bertanya kepada Beliau siapa guru Beliau, dan Sang Buddha menjawab bahwa Beliau tidak mempunyai guru5. Petapa itu berjalan pergi sambil menggelengkan kepalanya. Sang Buddha terlalu jujur. Beliau berbicara kepada orang yang tidak bisa mengetahui atau menerima kebenaran. Karena itulah saya menyuruh kalian untuk tidak mempercayai saya. Sang Buddha berkata bahwa mempercayai orang lain begitu saja adalah kebodohan, karena tidak


ada pemahaman yang jelas di dalamnya. Karena itulah Sang Buddha berkata “Saya tidak mempunyai guru.” Ini adalah kebenaran. Tetapi kalian harus melihat ini dengan cara yang benar. Jika kalian salah memahaminya, kalian tidak akan menghormati guru kalian. Jangan bilang “aku tidak punya guru.” Kalian harus mengandalkan guru kalian untuk memberi tahu kalian apa yang benar dan salah, kemudian kalian harus berlatih sesuai dengan itu.


Hari ini adalah hari yang beruntung bagi kita semua. Saya memiliki kesempatan untuk bertemu dengan kalian semua dan Guru yang terhormat. Kalian tidak akan menyangka bahwa kita bisa bertemu seperti ini karena kita tinggal sangat berjauhan. Saya pikir pasti ada alasan khusus mengapa kita bisa bertemu dengan cara seperti ini. Sang Buddha mengajarkan bahwa segala sesuatu yang timbul pasti ada sebabnya. Jangan lupakan ini. Pasti ada sebabnya. Mungkin di kehidupan sebelumnya kita adalah saudara-saudari dalam keluarga yang sama. Ini mungkin saja. Guru lain tidak datang, tapi saya datang. Mengapa begitu? Mungkin kita sedang menciptakan sebab-sebab pada saat sekarang ini. Ini juga mungkin.


Saya tinggalkan kalian semua dengan ajaran ini. Semoga kalian rajin dan tekun dalam berlatih. Tidak ada yang lebih baik daripada mempraktikkan Dhamma; Dhamma adalah penopang seluruh dunia. Orang-orang kebingungan akhir-akhir ini karena mereka tidak mengetahui Dhamma. Jika kita memiliki Dhamma bersama kita, kita akan merasa puas. Saya bahagia telah mendapatkan kesempatan ini untuk membantu kalian dan Guru yang terhormat dalam mengembangkan praktik Dhamma. Saya tinggalkan kalian dengan harapan baik saya yang tulus. Besok saya akan pergi, saya tidak yakin ke mana. Ini adalah hal yang wajar. Ketika ada kedatangan pasti ada kepergian, ketika ada kepergian pasti ada kedatangan. Beginilah dunia adanya. Kita tidak seharusnya terlalu gembira atau sedih dengan perubahan di dunia. Ada kebahagiaan kemudian ada penderitaan; ada penderitaan kemudian ada kebahagiaan; ada mendapatkan kemudian ada kehilangan; ada kehilangan kemudian ada mendapatkan. Beginilah hal-hal adanya.


Pada masa Sang Buddha, ada murid-murid Sang Buddha yang tidak menyukainya, karena Sang Buddha mendorong mereka untuk menjadi rajin, untuk penuh perhatian. Mereka yang malas takut pada Sang Buddha dan membencinya. Ketika Beliau wafat, satu kelompok murid menangis dan tertekan karena mereka tidak lagi mempunyai Sang Buddha untuk membimbing mereka. Yang ini masih belum pintar. Kelompok murid yang lain merasa senang dan lega karena mereka tidak lagi mempunyai Sang Buddha yang selalu memberi tahu mereka apa yang harus dilakukan. Murid dari kelompok ketiga seimbang. Mereka merenungkan bahwa apa yang timbul, berlalu sebagai konsekuensi alami. Ada tiga kelompok ini. Kalian termasuk dalam kelompok yang mana? Apakah kalian ingin menjadi salah satu dari kelompok yang senang atau apa? Kelompok murid yang menangis ketika Sang Buddha wafat belum menyadari Dhamma. Kelompok kedua adalah mereka yang membenci Sang Buddha. Beliau selalu melarang mereka melakukan hal-hal yang ingin mereka lakukan. Mereka hidup dalam ketakutan akan cemoohan dan teguran Sang Buddha, jadi ketika Beliau wafat mereka merasa lega.


Akhir-akhir ini keadaan tidak jauh berbeda. Mungkin saja guru di sini memiliki beberapa pengikut yang membencinya. Mereka mungkin tidak menunjukkannya ke luar tapi itu ada di dalam pikiran. Hal ini wajar bagi orang yang masih memiliki kekotoran batin untuk merasa seperti ini. Bahkan Sang Buddha mempunyai orang-orang yang membencinya. Saya sendiri memiliki pengikut yang membenci saya juga. Saya beri tahu mereka untuk meninggalkan perbuatan jahat, tetapi mereka menyayangi perbuatan jahat mereka. Jadi mereka membenci saya. Ada banyak yang seperti ini. Semoga kalian semua yang cerdas membuat diri kalian teguh dalam praktik Dhamma.

Diterjemahkan oleh: Jayananda Gotama 1. Pada tahun 2018, ada lebih dari 300 cabang biara Wat Nong Pah Pong, besar dan kecil. 2. Dukkha: “penderitaan” adalah terjemahan yang paling tidak memadai, tetapi merupakan terjemahan yang paling sering ditemukan. Dukkha secara harfiah berarti “tidak dapat ditoleransi,” “tidak berkelanjutan,” “sulit untuk bertahan,” dan bisa juga berarti “tidak sempurna,” “tidak memuaskan,” atau “tidak mampu memberikan kebahagiaan sempurna.” 3. Saṃsāra: siklus kelahiran kembali, secara harfiah artinya pengembaraan tanpa henti, adalah sebuah nama yang digunakan untuk menggambarkan lautan kehidupan yang terus menerus bergejolak naik turun, lambang dari proses yang terus menerus terlahir, menjadi tua, menderita dan mati lagi dan lagi. 4. Salah satu dari empat landasan kemelekatan: kāmupādāna, kemelekatan pada kesenangan indra; Sīlabbatupādāna, kemelekatan pada ritus dan ritual; Diṭṭhupādāna, kemelekatan pada pandangan salah; Attavādupādāna, kemelekatan pada gagasan tentang Aku.

5. Segera setelah pencerahannya, Sang Buddha sedang berjalan dalam perjalanannya menuju Benaresdan dihampiri oleh seorang petapa pengembara, yang berkata, “Raut wajahmu jernih, kawan, pembawaanmu sungguh tenang. Siapakah gurumu?” Sang Buddha menjawab bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat mengaku sebagai gurunya, karena Beliau sepenuhnya mencapai kecerahan sendiri. Petapa itu tidak dapat memahami jawaban Beliau, dan berjalan pergi, bergumam, “ya, baguslah, kawan, baguslah.”

bottom of page