top of page

Menuju Yang Tidak Berkondisi - bab IX | Living Dhamma

Updated: Apr 1, 2023


Ceramah diberikan pada malam Uposatha di Wat Pah Pong, 1976.



Hari ini adalah hari di mana kita para umat Buddha berkumpul bersama untuk menjalankan uposatha-sīla1 dan mendengarkan Dhamma, sesuai dengan kebiasaan kita. Inti dari mendengarkan Dhamma adalah, pertama, untuk menciptakan pemahaman terhadap hal-hal yang masih belum kita pahami, untuk memperjelasnya, dan yang kedua, untuk meningkatkan pemahaman kita terhadap hal-hal yang sudah kita pahami. Kita harus mengandalkan ceramah Dhamma untuk meningkatkan pemahaman kita, dan mendengarkan adalah faktor yang sangat penting. Untuk ceramah hari ini, mohon berikan perhatian khusus. Pertama-tama, luruskan postur tubuh anda agar cocok untuk mendengarkan. Jangan terlalu tegang. Sekarang, yang tersisa adalah memantapkan pikiran anda, membuat pikiran anda teguh dalam samādhi. Pikiran adalah unsur yang penting. Pikiran adalah yang menanggapi baik dan jahat, benar dan salah. Jika kita kekurangan sati bahkan hanya satu menit saja, kita menjadi gila selama menit itu; jika kita kekurangan sati selama setengah jam, kita akan menjadi gila selama setengah jam. Seberapa banyak pikiran kita kekurangan sati, sebanyak itulah kegilaan kita. Itulah sebabnya mengapa sangat penting untuk memberikan perhatian saat mendengarkan Dhamma. Semua makhluk di dunia ini tidak diliputi oleh apa pun selain penderitaan. Hanya ada penderitaan yang mengganggu pikiran. Tujuan dari mempelajari Dhamma adalah untuk menghancurkan penderitaan ini sepenuhnya. Jika penderitaan timbul, itu karena kita tidak benar-benar mengetahuinya. Tidak peduli seberapa besar kita berusaha mengendalikannya melalui kekuatan tekad, atau melalui kekayaan dan harta, itu adalah hal yang mustahil. Jika kita tidak sepenuhnya memahami penderitaan dan penyebabnya, tidak peduli seberapa banyak kita berusaha “menukarnya” dengan perbuatan, pikiran, atau kekayaan duniawi kita, tidak mungkin kita bisa melenyapkannya. Hanya melalui pengetahuan dan kesadaran yang jelas, melalui mengetahui kebenarannya, barulah penderitaan bisa lenyap. Dan ini berlaku tidak hanya bagi para tunawisma, para bhikkhu dan sāmaṇera tetapi juga bagi para perumah tangga. Bagi siapa saja yang mengetahui kebenaran dari hal-hal, penderitaan dengan sendirinya berakhir. Keadaan baik dan jahat adalah kebenaran yang konstan. Dhamma berarti sesuatu yang konstan, yang mempertahankan dirinya sendiri. Kekacauan mempertahankan kekacauannya, ketenteraman mempertahankan ketenteramannya. Kebaikan dan kejahatan mempertahankan kondisinya masing-masing – seperti air panas; air panas mempertahankan kepanasannya, ia tidak berubah untuk siapa pun. Apakah anak muda atau orang tua meminumnya, air itu tetap panas. Air itu panas bagi setiap kewarganegaraan apa saja. Jadi Dhamma di definisikan sebagai sesuatu yang mempertahankan kondisinya. Dalam latihan kita, kita harus mengetahui panas dan kesejukan, benar dan salah, baik dan jahat. Mengetahui kejahatan, sebagai contohn, kita tidak akan menciptakan sebab-sebab kejahatan, dan kejahatan tidak akan timbul. Para praktisi Dhamma harus mengetahui sumber dari berbagai macam dhamma. Dengan memadamkan penyebab panas, maka panas tidak bisa timbul. Sama halnya dengan kejahatan; kejahatan timbul dari suatu sebab. Jika kita mempraktikkan Dhamma sampai kita mengetahui Dhamma, kita akan mengetahui sumber dari hal-hal, penyebab mereka. Jika kita memadamkan penyebab kejahatan, kejahatan juga akan padam, kita tidak perlu berlari mengejar kejahatan untuk memadamkannya. Ini adalah praktik Dhamma. Tetapi banyak orang yang mengkaji Dhamma, mempelajarinya, bahkan melaksanakannya, tetapi belum bersama Dhamma, dan belum memadamkan penyebab kejahatan dan kekacauan di dalam hati mereka sendiri. Selama penyebab panas masih ada, kita tidak mungkin bisa mencegah panas untuk tidak berada di sana. Dengan cara yang sama, selama penyebab kebingungan masih ada di dalam pikiran kita, kita tidak mungkin bisa mencegah kebingungan untuk tidak berada di sana, karena kebingungan timbul dari sumber ini. Selama sumber itu tidak dipadamkan, kebingungan akan timbul lagi. Setiap kali kita menciptakan tindakan yang baik, kebaikan timbul di dalam pikiran. Kebaikan timbul dari penyebabnya. Ini disebut kusala2. Jika kita memahami sebab-sebab dengan cara ini, kita bisa menciptakan sebab-sebab itu dan hasilnya akan mengikui secara alami. Namun, orang-orang biasanya tidak menciptakan sebab-sebab yang benar. Mereka sangat menginginkan kebaikan, namun mereka tidak berusaha untuk mewujudkannya. Yang mereka dapatkan hanyalah hasil yang buruk, melibatkan pikiran dalam penderitaan. Yang diinginkan orang-orang sekarang ini hanyalah uang. Mereka pikir bahwa jika mereka mendapatkan cukup uang saja, maka semuanya akan baik-baik saja; sehingga mereka menghabiskan semua waktu mereka untuk mencari uang, mereka tidak mencari kebaikan. Ini seperti menginginkan daging, tetapi tidak mau menggunakan garam untuk mengawetkannya. Anda hanya meninggalkan daging itu di sekitar rumah hingga membusuk. Mereka yang menginginkan uang tidak hanya harus tahu bagaimana mencarinya, tetapi juga bagaimana cara menjaganya. Jika anda menginginkan daging, anda tidak bisa berharap hanya membelinya kemudian membiarkannya tergeletak begitu saja di rumah. Daging itu akan membusuk. Pemikiran semacam ini salah. Hasil dari pemikiran yang salah adalah kekacauan dan kebingungan. Sang Buddha mengajarkan Dhamma agar orang-orang mau menjalankannya, untuk mengetahuinya dan melihatnya, dan menyatu dengannya, untuk membuat pikiran menjadi Dhamma. Ketika pikiran adalah Dhamma, maka ia akan mencapai kebahagiaan dan kepuasan. Kegelisahan saṃsāra ada di dunia ini, dan akhir penderitaan juga ada di dunia ini. Oleh karena itu, praktik Dhamma adalah untuk menuntun pikiran menuju ke keadaan di luar penderitaan. Tubuh tidak bisa melampaui penderitaan – setelah dilahirkan, ia harus mengalami rasa sakit dan penyakit, penuaan dan kematian. Hanya pikiran yang bisa melampaui kemelekatan dan keserakahan. Semua ajaran Sang Buddha, yang kita sebut pariyatti3, adalah sarana yang terampil untuk mencapai tujuan ini. Sebagai contoh, Sang Buddha mengajarkan tentang upādinnaka-saṅkhāra dan anupādinnaka-saṅkhāra; kondisi yang dihadiri pikiran dan kondisi yang tidak dihadiri pikiran. Kondisi yang tidak dihadiri pikiran biasanya didefinisikan sebagai hal-hal seperti pohon, gunung, sungai, dan sebagainya – benda mati. Kondisi yang dihadiri pikiran didefinisikan sebagai benda hidup – binatang, manusia, dan sebagainya. Kebanyakan murid Dhamma menerima definisi ini begitu saja, tapi jika anda mempertimbangkan masalah ini secara mendalam, bagaimana pikiran manusia begitu terjebak dalam penglihatan, suara, bau, rasa, perasaan, dan kondisi mental, anda bisa melihat bahwa sesungguhnya tidak ada apa pun yang tidak dihadiri pikiran. Selama ada nafsu keinginan di dalam pikiran, segala sesuatu menjadi dihadiri pikiran. Mempelajari Dhamma tanpa menjalankannya, kita tidak akan menyadari maknanya yang lebih dalam. Contohnya, kita mungkin berpikir kalau tiang-tiang aula pertemuan ini, meja, kursi dan semua benda mati lainnya “tidak dihadiri pikiran.” Kita hanya melihat dari satu sisi. Tapi coba saja ambil palu dan hancurkan beberapa benda-benda ini dan anda akan tahu apakah mereka dihadiri pikiran atau tidak! Ini adalah pikiran kita sendiri, melekat pada meja, kursi dan semua harta kita, yang menghadiri hal-hal ini. Bahkan ketika satu cangkir kecil pecah, itu terasa menyakitkan, karena pikiran kita “menghadiri” cangkir itu. Apa pun yang kita anggap sebagai milik kita, pohon, gunung, atau apa pun, memiliki pikiran yang menghadirinya. Jika bukan milik mereka sendiri, maka milik orang lain. Semua ini adalah “kondisi yang dihadiri pikiran,” bukan “yang tidak dihadiri pikiran.” Sama halnya dengan tubuh kita. Biasanya kita akan mengatakan bahwa tubuh adalah dihadiri pikiran. “Pikiran” yang menghadiri tubuh tidak lain adalah upādāna; menempel pada tubuh dan melekatinya sebagai “aku” dan “milikku.”


Seperti halnya orang buta yang tidak bisa membayangkan warna – tidak peduli ke mana pun dia melihat, tidak ada warna yang bisa dilihat – begitu juga dengan pikiran yang terhalang oleh nafsu keinginan dan kekelirutahuan; semua objek kesadaran menjadi dihadiri pikiran. Bagi pikiran yang tercemar oleh nafsu keinginan dan terhalang oleh kekelirutahuan, semuanya menjadi dihadiri pikiran. Meja, kursi, binatang dan semua yang lainnya. Jika kita memahami bahwa ada diri yang terkandung di dalam, maka pikiran melekat pada segala sesuatu. Semua hal yang ada di alam menjadi dihadiri pikiran, selalu ada kemelekatan dan keterikatan. Sang Buddha membicarakan tentang saṅkhata dhamma dan asaṅkhata dhamma – hal-hal yang berkondisi dan tidak berkondisi. Hal-hal yang berkondisi tidak terhitung banyaknya – materiel dan imateriel, besar maupun kecil. Jika pikiran kita dipengaruhi oleh kekelirutahuan, maka pikiran akan berkembang biak tentang hal-hal ini, membaginya menjadi baik dan buruk, pendek dan panjang, kasar dan halus. Mengapa pikiran berkembang biak seperti ini? Karena pikiran tidak mengetahui kenyataan yang ditentukan4, pikiran tidak melihat Dhamma. Tidak melihat Dhamma, pikiran penuh dengan kemelekatan. Selama pikiran tertahan oleh kemelekatan, tidak akan ada jalan keluar; ada kebingungan, kelahiran, usia tua, sakit dan kematian, bahkan dalam proses berpikir. Pikiran semacam ini disebut saṅkhata dhamma (pikiran yang berkondisi). Asaṅkhata dhamma, yang tidak berkondisi, mengacu pada pikiran yang telah melihat Dhamma, kebenaran, dari lima khandha sebagaimana mereka adanya – sebagai tidak kekal, tidak sempurna dan tiada pemilik. Semua gagasan tentang “aku” dan “mereka,” “milikku” dan “milik mereka”, adalah milik dari kenyataan yang ditentukan. Sungguh, mereka semua adalah kondisi. Ketika kita mengetahui kebenaran tentang kondisi, sebagai bukan diri kita sendiri maupun milik kita, kita melepaskan kondisi dan yang ditentukan. Ketika kita melepaskan kondisi kita mencapai Dhamma, kita masuk ke dalam dan menyadari Dhamma. Ketika kita mencapai Dhamma kita tahu dengan jelas. Apa yang kita tahu? Kita tahu bahwa hanya ada kondisi dan penentuan, tidak ada makhluk, tidak ada diri, tidak ada “kita” ataupun “mereka.” Inilah pengetahuan tentang bagaimana hal-hal adanya.

Melihat dengan cara ini, pikiran melampaui hal-hal. Tubuh bisa bertambah tua, sakit dan mati, tetapi pikiran melampaui keadaan ini. Ketika pikiran melampaui kondisi, ia mengetahui yang tidak berkondisi. Pikiran menjadi tidak berkondisi, keadaan yang tidak lagi mengandung faktor-faktor pengondisi. Pikiran tidak lagi dikondisikan oleh kekhawatiran dunia, kondisi tidak lagi mencemari pikiran. Kesenangan dan rasa sakit tidak lagi mempengaruhinya. Tidak ada yang bisa mempengaruhi pikiran atau mengubahnya, pikiran telah yakin, ia telah lepas dari semua pembangunan (saṅkhāra). Melihat sifat sejati dari kondisi dan yang ditentukan, pikiran menjadi bebas. Pikiran yang telah terbebaskan ini disebut “yang tidak berkondisi”, yang melampaui kekuatan pengaruh pembangunan (saṅkhāra). Jika pikiran tidak benar-benar mengetahui kondisi dan penentuan, maka ia digerakkan oleh kondisi dan penentuan. Bertemu baik, buruk, kesenangan, atau rasa sakit, ia berkembang biak tentang hal tersebut. Mengapa ia berkembang biak? Karena masih ada penyebabnya. Apa penyebabnya? Penyebabnya adalah pemahaman bahwa tubuh adalah diri sendiri, atau milik diri; bahwa perasaan adalah diri, atau milik diri; bahwa persepsi adalah diri, atau milik diri; bahwa pemikiran konseptual adalah diri, atau milik diri; bahwa kesadaran adalah diri atau milik diri. Kecenderungan untuk memahami hal-hal dari segi diri adalah sumber kebahagiaan, penderitaan, kelahiran, usia tua, sakit dan kematian. Ini adalah pikiran duniawi, berputar-putar dan berubah-ubah sesuai arahan dari kondisi duniawi. Inilah pikiran yang berkondisi. Jika kita mendapatkan rezeki nomplok, pikiran kita dikondisikan oleh hal itu. Objek itu mempengaruhi pikiran kita menjadi sebuah perasaan senang, tetapi saat objek itu hilang, pikiran kita dikondisikan oleh hal itu menjadi penderitaan. Pikiran menjadi budak kondisi, budak nafsu keinginan. Tidak peduli apa pun yang diberikan dunia kepadanya, pikiran digerakkan sesuai dengan hal itu. Pikiran ini tidak memiliki perlindungan, ia belum yakin dengan dirinya sendiri, belum bebas. Pikiran ini masih kurang memiliki dasar yang kuat. Pikiran ini belum mengetahui kebenaran kondisi. Demikianlah pikiran yang berkondisi.


Kalian semua yang mendengarkan Dhamma di sini, renungkanlah sejenak. Bahkan seorang anak kecil bisa membuat anda marah, bukankah begitu? Bahkan seorang anak kecil bisa memperdaya anda. Dia bisa memperdaya anda menjadi menangis, tertawa – dia bisa memperdaya anda menjadi segala macam hal. Bahkan orang tua juga tertipu oleh hal-hal ini5. Pikiran orang yang tertipu yang tidak mengetahui kebenaran dari kondisi selalu dibentuk menjadi reaksi yang tak terhitung jumlahnya, seperti cinta, benci, kesenangan dan rasa sakit. Mereka membentuk pikiran kita seperti ini karena kita diperbudak oleh mereka. Kita adalah budak taṇhā, nafsu keinginan. Nafsu keinginan memberi semua perintah, dan kita hanya mematuhinya. Saya mendengar orang-orang mengeluh, “Oh, aku sangat sengsara. Siang dan malam aku harus pergi ke ladang, aku tidak punya waktu di rumah. Di tengah hari aku harus bekerja di bawah terik matahari tanpa ada tempat teduh. Tidak peduli seberapa dinginnya, aku tidak bisa tinggal di rumah, aku harus pergi bekerja. Aku sangat tertekan.” Jika saya bertanya kepada mereka, “Kenapa anda tidak meninggalkan rumah dan menjadi seorang bhikkhu saja?” mereka menjawab, “Aku tidak bisa pergi, aku punya tanggung jawab.” Taṇhā menarik mereka kembali. Terkadang saat anda sedang membajak, anda mungkin sudah tidak tahan ingin sekali buang air kecil sehingga anda harus melakukannya saat anda sedang membajak, seperti kerbau! Sebesar inilah nafsu keinginan memperbudak mereka. Ketika saya bertanya, “Apa kabar? Apakah anda tidak punya waktu untuk datang ke vihāra?” mereka menjawab, “Oh, aku benar-benar terjebak.” Saya tidak tahu apa yang membuat mereka terjebak begitu dalam! Ini hanyalah kondisi, saṅkhāra. Sang Buddha mengajarkan untuk melihat penampilan sebagaimana adanya, untuk melihat kondisi sebagaimana adanya. Inilah yang disebut dengan melihat Dhamma, melihat hal-hal sebagaimana mereka adanya. Jika anda benar-benar melihat kedua hal ini, anda harus membuangnya, membiarkan mereka pergi.


Tidak peduli apa yang anda terima, hal itu tidak memiliki substansi yang nyata. Pada awalnya hal itu mungkin terlihat baik, tetapi pada akhirnya itu akan menjadi buruk. Hal itu akan membuat anda mencintai dan membuat anda membenci, membuat anda tertawa dan menangis, membuat anda pergi ke mana saja hal itu menarik anda. Mengapa demikian? Karena pikiran tidak dikembangkan. Kondisi menjadi faktor pengondisi pikiran, membuatnya besar dan kecil, bahagia dan sedih. Pada zaman nenek moyang kita, ketika seseorang meninggal dunia, mereka akan mengundang para bhikkhu untuk pergi dan melafalkan perenungan tentang ketidakkekalan: Aniccā vata saṅkhāra Ketidakkekalan adalah segala sesuatu yang berkondisi Uppāda-vaya-dhammino Bersifat timbul dan berlalu Uppajjitvā nirujjhanti Setelah muncul, pasti berakhir Tesaṃ vūpasamo sukho Ketenangan kondisi adalah kebahagiaan tertinggi Semua kondisi tidak kekal. Tubuh dan pikiran keduanya tidak kekal. Mereka tidak kekal karena mereka tidak tetap dan berubah. Semua hal yang dilahirkan pasti akan berubah, mereka bersifat sementara – terutama tubuh kita. Apa yang tidak berubah di dalam tubuh ini? Apakah rambut, kuku, gigi, kulit masih sama seperti dulu? Kondisi tubuh terus-menerus berubah, oleh karena itu ia tidak kekal. Apakah tubuh stabil? Apakah pikiran stabil? Pikirkanlah hal ini. Berapa kali ada timbul dan berakhir bahkan dalam satu hari? Baik tubuh maupun pikiran terus-menerus timbul dan berakhir, kondisi selalu berada dalam kekacauan. Alasan anda tidak bisa melihat hal-hal ini sejalan dengan kebenaran adalah karena anda terus mempercayai yang tidak benar. Ini seperti dipandu oleh orang buta. Bagaimana anda bisa melakukan perjalanan dengan aman? Orang buta hanya akan menuntun anda ke dalam hutan dan semak belukar. Bagaimana dia bisa menuntun anda ke tempat yang aman jika dia tidak bisa melihat? Dengan cara yang sama, pikiran kita tertipu oleh kondisi, menciptakan penderitaan dalam pencarian kebahagiaan, menciptakan kesulitan dalam pencarian kemudahan. Pikiran semacam ini hanya membuat kesulitan dan penderitaan. Sebenarnya kita ingin menyingkirkan penderitaan dan kesulitan, tapi kita malah mencipakan hal-hal itu. Yang bisa kita lakukan hanya mengeluh. Kita menciptakan penyebab buruk dan alasan kita melakukannya adalah karena kita tidak mengetahui kebenaran tentang penampilan dan kondisi. Kondisi bersifat tidak kekal, baik yang dihadiri pikiran maupun yang tidak dihadiri pikiran. Sebenarnya, kondisi yang tidak dihadiri pikiran itu tidak ada. Apa yang ada yang tidak dihadiri pikiran? Bahkan toilet anda sendiri, yang menurut anda tidak akan dihadiri pikiran; Cobalah biarkan seseorang menghancurkannya dengan palu godam! Dia mungkin harus berurusan dengan “pihak berwenang.” Pikiran menghadiri segala hal, bahkan kotoran dan air seni. Kecuali bagi orang yang melihat dengan jelas bagaimana hal-hal adanya, tidak ada yang namanya kondisi yang tidak dihadiri pikiran. Penampilan ditentukan menjadi ada. Kenapa kita harus menentukan mereka? Karena mereka tidak ada secara intrinsik. Sebagai contoh, misalkan seseorang ingin membuat sebuah penanda. Dia akan mengambil sebatang kayu atau sebuah batu dan meletakkannya di atas tanah, kemudian menyebutnya penanda. Sebenarnya itu bukan penanda. Tidak ada penanda apa pun, karena itulah anda harus menentukannya menjadi ada. Dengan cara yang sama kita “menentukan” kota, orang, ternak – semuanya! Kenapa kita harus menentukan hal-hal ini? Karena pada awalnya mereka tidak ada. Konsep seperti “bhikkhu” dan “umat awam” juga adalah “penentuan.” Kita menentukan hal-hal ini menjadi ada karena secara intrinsik mereka tidak di sini. Seperti memiliki sebuah piring kosong – anda bisa menaruh apa pun yang anda sukai di atasnya karena piring itu kosong. Ini adalah sifat dari kenyataan yang ditentukan. Pria dan wanita hanyalah konsep yang ditentukan saja, begitu juga dengan semua hal yang ada di sekeliling kita. Jika kita mengetahui kebenaran dari penentuan dengan jelas, kita akan tahu bahwa tidak ada makhluk, karena “makhluk” adalah hal yang ditentukan. Memahami bahwa hal-hal ini hanyalah penentuan, anda bisa merasa tenang. Tetapi jika anda percaya bahwa orang, makhluk, “milikku,” “milik mereka,” dan sebagainya adalah kualitas intrinsik, maka anda harus tertawa dan menangis karena hal-hal tersebut. Ini adalah perkembangbiakan faktor-faktor pengondisi. Jika kita menganggap hal-hal tersebut sebagai milik kita, akan selalu ada penderitaan. Ini adalah micchādiṭṭhi, pandangan salah. Nama bukanlah kenyataan intrinsik, itu adalah kebenaran sementara. Hanya setelah kita dilahirkan barulah kita memperoleh nama, bukankah begitu? Ataukah anda sudah memiliki nama anda saat anda lahir? Nama biasanya datang setelahnya, bukan? Kenapa kita harus menentukan nama-nama ini? Karena secara intrinsik nama-nama tersebut tidak ada. Kita harus dengan jelas memahami penentuan-penentuan ini. Baik, jahat, tinggi, rendah, hitam dan putih semuanya adalah penentuan. Kita semua tersesat dalam penentuan. Inilah sebabnya kenapa di upacara pemakaman para bhikkhu melafalkan, Aniccā vata saṅkhāra... kondisi itu tidak kekal, mereka timbul dan berlalu. Itu adalah kebenaran. Apakah ada sesuatu yang, setelah muncul, tidak berakhir? Suasana hati yang baik muncul kemudian berakhir. Pernahkah anda melihat seseorang menangis selama tiga atau empat tahun? Paling lama, anda mungkin melihat orang menangis semalaman, kemudian air matanya mengering. Setelah muncul, mereka berakhir. Tesaṃ vūpasamo sukho; Jika kita memahami saṅkhāra, (perkembangbiakan) dan dengan demikian menundukkannya, ini adalah kebahagiaan terbesar. Menjadi tenang dari perkembangbiakan, tenang dari “makhluk,” tenang dari individualitas, dari beban diri, adalah pencapaian tertinggi. Melampaui hal-hal ini, seseorang melihat yang tidak berkondisi. Ini berarti bahwa tidak peduli apa pun yang terjadi, pikiran tidak berkembang biak di sekitar hal tersebut. Tidak ada apa pun yang bisa menjatuhkan pikiran dari keseimbangan alaminya. Apa lagi yang anda inginkan? Ini adalah akhir, selesai. Sang Buddha mengajarkan bagaimana hal-hal adanya. Kita memberikan persembahan dan mendengarkan ceramah Dhamma dan sebagainya adalah demi mencari dan menyadari ini. Jika kita menyadari ini, kita tidak perlu belajar vipassanā, vipassanā akan terjadi dengan sendirinya. Baik Samatha maupun vipassanā ditentukan menjadi ada, seperti halnya penentuan-penentuan lainnya. Pikiran yang mengetahui, yang melampaui hal-hal seperti itu, adalah puncak latihan. Latihan kita, penyelidikan kita, adalah untuk melampaui penderitaan. Ketika kemelekatan selesai, keadaan menjadi ada juga selesai. Ketika keadaan menjadi ada selesai, tidak ada lagi kelahiran dan kematian. Ketika hal-hal berjalan dengan baik, pikiran tidak bersuka cita, dan ketika hal-hal berjalan dengan buruk, pikiran tidak bersedih. Pikiran tidak diseret ke mana-mana oleh kesengsaraan dunia, dan dengan demikian latihan telah selesai. Ini adalah prinsip dasar yang diajarkan oleh Sang Buddha. Sang Buddha mengajarkan Dhamma untuk digunakan dalam kehidupan kita. Bahkan ketika kita meninggal dunia pun ada ajaran Tesaṃ vūpasamo sukho. Tetapi kita tidak menundukkan kondisi-kondisi ini, kita hanya membawanya ke mana-mana, seolah-olah para bhikkhu menyuruh kita melakukannya. Kita membawanya ke mana-mana dan menangisinya. Ini adalah tersesat di dalam kondisi. Surga, neraka dan Nibbāna semuanya bisa ditemukan di titik ini. Mempraktikkan Dhamma adalah demi melampaui penderitaan di dalam pikiran. Apabila kita mengetahui kebenaran dari hal-hal seperti yang sudah saya jelaskan di sini, kita akan dengan sendirinya mengetahui Empat Kesunyataan Mulia – penderitaan, sebab penderitaan, akhir penderitaan dan jalan menuju akhir penderitaan. Orang-orang pada umumnya tidak tahu ketika menyangkut hal tentang penentuan, mereka pikir bahwa semua itu ada dengan sendirinya. Ketika kitab-kitab mengatakan bahwa pohon, gunung, dan sungai adalah kondisi yang tidak dihadiri pikiran, ini menyederhanakan hal-hal. Ini hanyalah ajaran yang dangkal, tidak ada referensi tentang penderitaan, seolah-olah tidak ada penderitaan di dunia. Ini hanyalah kulit Dhamma. Jika kita menjelaskan hal-hal dari segi kebenaran tertinggi, kita akan melihat bahwa manusialah yang mengikat semua hal ini dengan keterikatan mereka. Bagaimana bisa anda mengatakan bahwa hal-hal tidak mempunyai kekuatan untuk membentuk peristiwa, bahwa mereka tidak dihadiri pikiran, ketika orang akan memukuli anak-anak mereka bahkan hanya karena satu jarum kecil? Satu piring atau cangkir, selembar papan kayu – pikiran menghadiri semua hal ini. Lihat saja apa yang terjadi jika seseorang menghancurkan salah satunya dan anda mengetahuinya. Segala sesuatu mampu mempengaruhi kita dengan cara ini. Mengetahui hal-hal ini sepenuhnya adalah latihan kita, memeriksa hal-hal yang berkondisi, tidak berkondisi, dihadiri pikiran dan tidak dihadiri pikiran. Ini adalah bagian dari “ajaran eksternal,” seperti yang pernah Sang Buddha sebutkan. Pada suatu waktu Sang Buddha tinggal di sebuah hutan. Mengambil segenggam daun, Beliau bertanya kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu, manakah yang lebih banyak jumlahnya, daun yang saya pegang di tangan saya ataukah daun yang tersebar di lantai hutan?” Para bhikkhu menjawab, “Daun di tangan Sang Bhagavā sedikit, daun yang tersebar di lantai hutan jumlahnya jauh lebih banyak.” “Dengan cara yang sama, para bhikkhu, seluruh ajaran Buddha sangat luas, tetapi itu bukanlah inti dari hal-hal, mereka tidak terkait langsung dengan jalan keluar dari penderitaan. Ada begitu banyak aspek dalam ajaran, tetapi apa yang Tathāgata benar-benar ingin kalian lakukan adalah melampaui penderitaan, menyelidiki ke dalam hal-hal dan meninggalkan kemelekatan dan keterikatan pada bentuk (rūpa), perasaan (vedanā), persepsi (sañña), bentuk-bentuk pikiran (saṅkhāra), dan kesadaran (viññāṇa)6,” Berhentilah melekat pada hal-hal ini dan kalian akan melampaui penderitaan. Ajaran-ajaran ini bagaikan daun-daun di tangan Sang Buddha. Anda tidak perlu terlalu banyak, sedikit saja sudah cukup. Mengenai sisa ajaran-ajaran lainnya, anda tidak perlu mengkhawatirkannya. Itu seperti bumi yang luas, berlimpah dengan rumput, tanah, gunung, hutan. Tidak kekurangan batu dan kerikil, tetapi semua batu-batu itu tidak lebih berharga dari satu permata. Dhamma Sang Buddha adalah seperti ini, anda tidak perlu banyak. Jadi, apakah anda berbicara tentang Dhamma atau mendengarkannya, anda harus mengetahui Dhamma. Anda tidak perlu bertanya-tanya di mana Dhamma berada, Dhamma ada di sini. Tidak peduli ke mana anda pergi untuk mempelajari Dhamma, Dhamma sesungguhnya ada di dalam pikiran. Pikiran adalah yang melekat, pikiran adalah yang berspekulasi, pikiran adalah yang melampaui, yang melepaskan. Semua studi eksternal ini sebenarnya adalah tentang pikiran. Tidak peduli apakah anda mempelajari tipiṭaka, abhidhamma atau apa pun, jangan lupa dari mana asalnya. Mengenai latihan, satu-satunya hal yang benar-benar anda butuhkan untuk memulai adalah kejujuran dan integritas, anda tidak perlu membuat banyak kesusahan untuk diri sendiri. Tidak ada seorang pun dari kalian umat awam yang telah mempelajari tipiṭaka, tetapi kalian masih bisa memiliki keserakahan, kemarahan dan kekelirutahuan, bukan? Dari mana kalian belajar tentang hal-hal ini? Apakah kalian harus membaca tipiṭaka atau abhidhamma untuk memiliki keserakahan, kebencian dan kekelirutahuan? Hal-hal itu sudah ada di dalam pikiran kalian, kalian tidak perlu belajar dari buku untuk memilikinya. Tetapi ajaran adalah untuk menyelidiki ke dalam dan meninggalkan hal-hal ini. Biarkan keadaan mengetahui menyebar dari dalam diri anda dan anda akan berlatih dengan benar. Jika anda ingin melihat kereta, pergilah ke stasiun pusat, anda tidak perlu melakukan perjalanan ke Jalur Utara, Jalur Selatan, Jalur Timur dan Jalur Barat untuk melihat semua kereta. Jika anda ingin melihat kereta, setiap kereta semuanya, anda lebih baik menunggu di Stasiun Pusat Utama, di situlah di mana semua kereta berhenti. Sekarang, beberapa orang mengatakan kepada saya, “aku ingin berlatih tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku tidak sanggup mempelajari kitab suci, aku sudah tua, ingatanku sudah tidak bagus.” Cukup lihat di sini, di “Stasiun Pusat7.” Keserakahan timbul di sini, kemarahan timbul di sini, kekelirutahuan timbul di sini. Duduklah di sini dan anda bisa melihat ketika semua hal ini timbul. Berlatihlah di sini, karena di sinilah anda terjebak. Di sini adalah di mana yang ditentukan timbul, di mana konvensi timbul, dan tepat di sini adalah di mana Dhamma akan timbul. Oleh karena itu, praktik Dhamma tidak membedakan kelas atau ras, yang perlukan hanyalah kita melihat ke dalam, memeriksa dan memahami. Pertama-tama, kita melatih tubuh dan ucapan agar bebas dari noda, yaitu sīla. Beberapa orang berpikir bahwa untuk memiliki sīla, anda harus menghafal frasa Pāli dan melafalkannya sepanjang hari dan sepanjang malam, tetapi sebenarnya yang harus anda lakukan hanyalah membuat tubuh dan ucapan anda tak bersalah dan itu adalah sīla. Ini tidak terlalu sulit untuk dipahami, sama seperti memasak makanan; masukkan sedikit ini dan sedikit itu, sampai rasanya pas dan lezat! Anda tidak perlu menambahkan apa pun untuk membuatnya lezat, itu sudah lezat, hanya jika anda menggunakan bahan yang tepat. Dengan cara yang sama, menjaga agar tindakan dan ucapan kita tepat akan memberi kita sīla. Praktik Dhamma dapat dilakukan di mana saja. Di masa lalu, saya berkeliling ke mana-mana mencari seorang guru karena saya tidak tahu bagaimana cara berlatih. Saya selalu takut kalau saya berlatih dengan cara yang salah. Saya selalu pergi dari satu gunung ke gunung lain, dari satu tempat ke tempat lain, sampai saya berhenti dan merenungkannya. Sekarang saya mengerti. Dulu, saya pasti sangat bodoh, saya pergi ke mana-mana mencari tempat untuk berlatih meditasi – saya tidak sadar kalau itu sudah ada di sana, di dalam hati saya. Semua meditasi yang anda inginkan ada di sana di dalam diri anda. Ada kelahiran, usia tua, sakit dan kematian tepat di sini di dalam diri anda. Karena itulah Sang Buddha bersabda Paccattaṃ veditabbo viññūhī: Orang bijak harus memahami sendiri. Saya sudah mengucapkan kata-kata itu sebelumnya tetapi saya masih tidak tahu maknanya. Saya berkelana ke mana-mana untuk mencarinya sampai saya siap mati karena kelelahan – hanya pada saat itulah, ketika saya berhenti, saya menemukan apa yang saya cari, di dalam diri saya. Jadi sekarang saya bisa memberi tahukannya kepada kalian. Jadi dalam latihan sīla anda, lakukanlah seperti yang sudah saya jelaskan di sini. Jangan meragukan latihannya. Meskipun beberapa orang mungkin mengatakan anda tidak bisa berlatih di rumah, bahwa ada terlalu banyak rintangan; jika demikian halnya, maka bahkan makan dan minum pun akan menjadi rintangan. Jika hal-hal ini adalah rintangan dari latihan, maka jangan makan! Jika anda berdiri di atas duri, apakah itu baik? Bukankah tidak berdiri di atas duri lebih baik? Praktik Dhamma membawa manfaat bagi semua orang, terlepas dari kelas atau ras. Seberapa banyak anda berlatih, sebanyak itulah anda akan mengetahui kebenaran. Beberapa orang berkata sebagai umat awam mereka tidak bisa berlatih, lingkungannya terlalu ramai. Jika anda tinggal di tempat yang ramai, maka lihatlah ke dalam keramaian, buatlah pikiran terbuka lebar. Pikiran telah tertipu oleh keramaian, latihlah pikiran untuk mengetahui kebenaran dari keramaian. Semakin anda mengabaikan latihan, semakin anda mengabaikan pergi ke vihāra dan mendengarkan ajaran, semakin pikiran anda akan tenggelam ke dalam lumpur, seperti seekor kodok yang masuk ke dalam lubang. Seseorang datang dengan kail dan tamatlah riwayat kodok itu, ia tidak mempunyai kesempatan. Yang bisa ia lakukan hanyalah mengulurkan lehernya dan menawarkannya kepada mereka. Oleh karena itu, berhati-hatilah agar anda tidak membahayakan diri anda sendiri – seseorang mungkin saja datang dengan kail dan mencedok anda. Di rumah, diganggu oleh anak-anak dan cucu-cucu anda, anda bahkan lebih parah daripada kodok! Anda tidak tahu bagaimana melepaskan diri dari hal-hal ini. Ketika usia tua, sakit dan kematian datang, apa yang akan anda lakukan? Inilah kail yang akan menangkap anda. Ke arah mana anda akan berpaling? Inilah kesulitan yang ada di dalam pikiran kita. Terlena dengan anak-anak, kerabat, harta, dan anda tidak tahu bagaimana melepaskan mereka. Tanpa moralitas atau pemahaman untuk melepaskan hal-hal, tidak ada jalan keluar bagi anda. Ketika perasaan (vedanā), persepsi (sañña), bentuk-bentuk pikiran (saṅkhāra), dan kesadaran (viññāṇa) menghasilkan penderitaan, anda selalu terjebak di dalamnya. Mengapa ada penderitaan ini? Jika anda tidak menyelidikinya, anda tidak akan tahu. Jika kebahagiaan timbul, anda terjebak begitu saja di dalam kebahagiaan, menikmati kebahagiaan itu. Anda tidak bertanya pada diri sendiri, “Dari mana datangnya kebahagiaan ini?” Oleh karena itu, ubahlah pemahaman anda. Anda bisa berlatih di mana saja karena pikiran selalu bersama anda di mana saja. Jika anda memikirkan pemikiran yang baik saat duduk, anda bisa menyadarinya; jika ada memikirkan pemikiran yang buruk, anda juga bisa menyadarinya. Hal-hal ini ada bersama anda. Saat berbaring, jika anda memikirkan pemikiran yang baik atau pemikiran yang buruk, anda bisa mengetahuinya juga, karena tempat untuk berlatih adalah di dalam pikiran. Beberapa orang berpikir anda harus pergi ke vihāra setiap hari. Itu tidak perlu, lihat saja pikiran anda sendiri. Jika anda tahu di mana latihannya, anda akan yakin.


Ajaran Sang Buddha memberi tahu kita untuk mengawasi diri kita sendiri, bukan mengejar tren dan takhyul. Karena itulah Beliau bersabda8,

Sīlena sugatiṃ yanti Dengan sīla menuju kesejahteraan Sīlena bhogasampadā Dengan sīla mencapai kekayaan Sīlena nibbutiṃ yanti Dengan sīla menuju ke Nibbāna Tasmā sīlaṃ visodhaye Karena itu murnikanlah sīla anda

Sīla mengacu pada tindakan kita. Tindakan yang baik membawa hasil yang baik, tindakan yang buruk membawa hasil yang buruk. Jangan berharap para dewa akan melakukan sesuatu untuk anda, atau para malaikat dan dewa pelindung untuk melindungi anda, atau hari baik akan membantu anda. Hal-hal ini tidak benar, jangan percaya pada semua ini. Jika anda mempercayainya, anda akan menderita. Anda akan selalu menunggu hari yang tepat, bulan yang tepat, tahun yang tepat, para malaikat dan dewa pelindung... anda akan menderita jika seperti itu. Lihatlah ke dalam tindakan dan ucapan anda sendiri, ke dalam kamma anda sendiri. Melakukan kebaikan anda mewarisi kebaikan, melakukan perbuatan buruk anda mewarisi keburukan. Jika anda memahami bahwa baik dan buruk, benar dan salah semuanya ada di dalam diri anda, maka anda tidak perlu mencari hal-hal tersebut di tempat lain. Carilah hal-hal ini di mana mereka timbul. Jika anda kehilangan sesuatu di sini, anda harus mencarinya di sini. Meskipun anda tidak menemukannya pada awalnya, teruslah mencari di mana anda menjatuhkannya. Tetapi biasanya, kita kehilangan di sini lalu mencari di sana. Kapan anda akan menemukannya? Perbuatan baik dan buruk ada di dalam diri anda. Suatu hari anda pasti akan melihatnya, teruslah mencari di sana. Semua makhluk, hidup sesuai dengan kammanya. Apa itu kamma? Orang-orang terlalu mudah ditipu. Jika anda melakukan perbuatan buruk, mereka bilang Yama, raja alam baka, akan menulis semuanya ke dalam buku. Ketika anda pergi ke sana, ia akan mengeluarkan catatannya dan mencari nama anda. Kalian semua takut pada Yama di alam baka, tetapi kalian tidak tahu Yama di dalam pikiran kalian sendiri. Jika anda melakukan tindakan buruk, meskipun anda pergi secara diam-diam dan melakukannya sendirian, Yama ini akan mencatat semuanya. Mungkin ada banyak di antara kalian yang duduk di sini yang secara diam-diam telah melakukan hal-hal buruk, tidak membiarkan orang lain melihatnya. Tetapi anda melihatnya, bukan? Yama ini melihat semuanya. Bisakah anda melihatnya sendiri? Kalian semua, berpikirlah sejenak... Yama telah mencatat semuanya, bukan? Tidak mungkin anda bisa lolos darinya. Apakah anda melakukannya sendiri atau dalam kelompok, di ladang atau di mana saja. Apakah ada orang di sini yang pernah mencuri sesuatu? Mungkin ada beberapa di antara kita yang merupakan mantan pencuri. Meskipun anda tidak mencuri barang orang lain, anda masih bisa mencuri milik anda sendiri9. Saya sendiri memiliki kecenderungan itu, itulah sebabnya saya rasa beberapa dari kalian mungkin juga sama. Mungkin anda diam-diam pernah melakukan hal-hal buruk di masa lalu, tidak membiarkan orang lain mengetahuinya. Tetapi meskipun anda tidak memberi tahu siapa pun tentang hal itu, anda pasti mengetahuinya. Inilah Yama yang mengawasi anda dan mencatat semuanya. Ke mana pun anda pergi, ia mencatat semuanya ke dalam buku catatannya. Kita tahu niat kita sendiri. Ketika anda melakukan tindakan yang buruk, keburukan ada di sana, jika anda melakukan tindakan yang baik, kebaikan ada di sana. Tidak ada tempat persembunyian yang bisa anda tuju. Meskipun orang lain tidak melihat anda, anda pasti melihat diri anda sendiri. Meskipun anda masuk ke dalam lubang yang dalam, anda akan tetap menemukan diri anda di sana. Tidak mungkin anda bisa melakukan perbuatan buruk dan lolos begitu saja. Dengan cara yang sama, kenapa anda tidak melihat kemurnian anda sendiri? Lihatlah semuanya – ketenangan, kegelisahan, pembebasan atau perbudakan – lihatlah semua ini sendiri. Di dalam agama Buddha ini, anda harus sadar dengan semua tindakan anda. Kita tidak bertindak seperti para Brāhman, yang masuk ke rumah anda dan berkata, “Semoga anda sehat dan kuat, semoga anda panjang umur.” Sang Buddha tidak berbicara seperti itu. Bagaimana penyakit bisa hilang hanya dengan bicara? Cara Sang Buddha mengobati orang sakit adalah dengan mengatakan, “Sebelum anda sakit, apa yang terjadi? Apa yang menyebabkan anda sakit?” Kemudian anda menceritakannya bagaimana hal itu terjadi, “Oh, seperti itu, ya? Ambillah obat ini dan cobalah.” Jika itu bukan obat yang tepat, dia mencoba yang lain. Jika itu cocok untuk penyakitnya, maka itulah yang tepat. Cara ini masuk akal secara ilmiah. Mengenai para Brāhman, mereka hanya mengikat seutas tali di pergelangan tangan anda dan berkata, “Baiklah, jadilah sehat, jadilah kuat, ketika aku meninggalkan tempat ini, anda langsung saja bangun dan makanlah dengan lahap dan menjadi sehat.” Tidak peduli seberapa banyak anda membayar mereka, penyakit anda tidak akan hilang, karena cara mereka tidak memiliki dasar ilmiah. Namun, inilah yang suka dipercayai oleh orang-orang. Sang Buddha tidak ingin kita terlalu mempercayai hal-hal ini, Beliau ingin kita berlatih dengan akal sehat. Ajaran Buddha sudah ada selama ribuan tahun sekarang, dan kebanyakan orang terus berlatih seperti yang diajarkan oleh guru-guru mereka, terlepas dari apakah itu benar atau salah. Itu bodoh. Mereka hanya mengikuti contoh dari nenek moyang mereka. Sang Buddha tidak menganjurkan hal semacam ini. Beliau ingin kita melakukan hal-hal dengan akal sehat. Sebagai contoh, pada suatu waktu ketika Beliau sedang mengajar para bhikkhu, Beliau bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta, “Sāriputta, apakah anda mempercayai ajaran ini?” Y.M. Sāriputta menjawab, “Saya belum mempercayainya.” Sang Buddha memuji jawabannya; “Bagus sekali, Sāriputta. Seorang yang bijak tidak langsung percaya begitu saja. Dia melihat ke dalam hal-hal, ke dalam sebab dan kondisinya, dan melihat sifat aslinya sebelum mempercayai atau tidak mempercayai.” Namun kebanyakan guru sekarang ini akan mengatakan, “Apa?!!! Kamu tidak percaya padaku? Keluar dari sini!” Kebanyakan orang takut pada guru mereka. Apa pun yang dilakukan oleh guru mereka, mereka hanya mengikuti secara membuta. Sang Buddha mengajarkan untuk berpegang pada kebenaran. Dengarkan ajaran lalu pertimbangkan dengan cerdas, dan menelusurinya. Sama halnya dengan ceramah Dhamma saya – pertimbangkanlah. Apakah yang saya katakan benar? Cermatilah dengan sungguh-sungguh, lihatlah ke dalam diri anda sendiri. Maka dikatakan jagalah pikiran anda. Siapa pun yang menjaga pikirannya akan membebaskan dirinya dari belenggu Māra. Hanya pikiran inilah yang menggenggam hal-hal, mengetahui hal-hal, melihat hal-hal, mengalami kebahagiaan dan penderitaan – hanya pikiran ini. Ketika kita sepenuhnya mengetahui kebenaran tentang penentuan dan kondisi, kita secara alami akan membuang penderitaan. Semua hal hanya sebagaimana mereka adanya. Mereka tidak menyebabkan penderitaan di dalam diri mereka sendiri, sama seperti duri, duri yang sangat tajam. Apakah ia membuat anda menderita? Tidak, ia hanya duri, ia tidak mengganggu siapa pun. Tetapi jika anda berdiri di atasnya, maka anda akan menderita. Kenapa ada penderitaan ini? Karena anda menginjak duri itu. Duri itu hanya sibuk dengan urusannya sendiri, ia tidak melukai siapa pun. Hanya jika anda menginjak duri itu anda akan menderita karenanya. Ini karena diri kita sendiri yang menyebabkan rasa sakit. Bnetuk (rūpa), perasaan (vedanā), persepsi (sañña), kehendak (saṅkhāra), dan kesadaran (viññāṇa) – semua hal di dunia ini ada sebagaimana mereka adanya. Kitalah yang memilih untuk berkelahi dengan mereka. Dan jika kita memukul mereka, mereka akan balas memukul kita. Jika mereka dibiarkan saja, mereka tidak akan mengganggu siapa pun; hanya pemabuk yang sombong yang memberi mereka masalah. Semua kondisi berjalan sesuai dengan sifatnya. Karena itulah Sang Buddha bersabda, Tesaṃ vūpasamo sukho. Jika kita menundukkan kondisi, melihat penentuan dan kondisi sebagaimana mereka adanya, sebagai bukan “aku” atau “milikku,” “kita” atau “mereka,” ketika kita melihat bahwa keyakinan ini hanyalah sakkāya diṭṭhi, kondisi terbebas dari delusi diri. Jika anda berpikir “aku baik,” “aku buruk,” “aku hebat,” “aku yang terbaik,” maka anda berpikir dengan salah. Jika anda melihat semua pemikiran ini hanya sebagai penentuan dan kondisi, maka ketika orang lain mengatakan “baik” atau “buruk” anda bisa membiarkannya bersama mereka. Selama anda masih melihatnya sebagai “aku” dan “kamu”, itu seperti memiliki tiga sarang lebah – begitu anda mengatakan sesuatu, lebah-lebah itu terbang menyengat anda. Tiga sarang lebah itu adalah sakkāya-diṭṭhi, viccikicchā dan sīlabbata-parāmāsa10. Setelah anda melihat ke dalam sifat asli dari penentuan dan kondisi, kesombongan tidak bisa lagi berkuasa. Ayah orang lain sama seperti ayah kita, ibu mereka sama seperti ibu kita, anak-anak mereka sama seperti anak-anak kita. Kita melihat kebahagiaan dan penderitaan makhluk lain sama seperti milik kita.


Jika kita melihat dengan cara ini, kita bisa berhadapan langsung dengan Buddha masa depan, ini tidak telalu sulit. Semua orang berada dalam perahu yang sama. Maka dunia akan menjadi sehalus kulit drum. Jika anda ingin menunggu untuk bertemu Phra Sri Ariya Metteyya, Buddha masa depan, maka jangan berlatih saja; anda mungkin akan ada cukup lama untuk bertemu dengannya. Tetapi Beliau tidak gila hingga mau menerima orang-orang seperti itu sebagai murid! Kebanyakan orang hanya meragukan. Jika anda tidak lagi meragukan tentang diri, maka tidak peduli apa yang orang katakan tentang anda, anda tidak khawatir, karena pikiran anda telah melepaskan, pikiran berada dalam ketenangan. Kondisi menjadi tenang. Melekat pada bentuk-bentuk latihan, guru itu buruk, tempat itu tidak bagus, ini benar, itu salah... Tidak. Tidak ada apa pun dari hal-hal ini. Semua pemikiran semacam ini telah dihilangkan. Anda berhadapan langsung dengan Buddha masa depan. Bagi mereka yang hanya mengangkat tangan mereka dan berdoa tidak akan pernah sampai di sana.


Jadi inilah latihannya. Jika saya berbicara lagi, itu hanya akan sama saja. Ceramah yang lain hanya akan sama saja seperti ini. Saya sudahmembawa kalian sejauh ini, sekarang kalian pikirkanlah. Saya sudah membawa kaliankejalan, siapa pun yang akan pergi, jalan itu ada di sana untuk kalian. Mereka yang tidakingin pergi bisa tinggal. Sang Buddha hanya melihat anda sampai ke awal jalan. AkkhātaroTathāgata–Sang Tathāgatahanya menunjukkan jalan. Untuk latihan saya, Beliau hanya mengajarkan sebanyak ini. Selebihnya terserah saya. Sekarang saya mengajarkankalian, saya hanya bisa memberi tahu kalian sebanyak ini. Saya hanya bisa membawa kalian ke awal jalan, siapa pun yang ingin kembali bisa kembali, siapa pun yang ingin melanjutkan bisa melanjutkan. Sekarang, terserah padakalian.


Diterjemahkan oleh: Jayananda Gotama 1. Hari Uposatha adalah hari di mana para praktisi Buddhis biasanya pergi ke vihārauntuk berlatih meditasi, mendengarkan ceramah Dhamma dan menjaga 8 Uposatha-sīla – menaham diri dari membunuh, mencuri, segala perbuatan asusila, berbohong, mengkonsumsi zat-zat adiktif, makan setelah tengah hari, menikmati hiburan dan berdandan, dan duduk atau tidur di kursi atau tempat tidur yang mewah. 2. Kusala: perbuatan atau kondisi mental yang bajik atau terampil. 3. Pariyatti: ajaran-ajaran yang tertuang di dalam kitab suci, atau yang diteruskan dari satu orang ke orang lain dalam suatu bentuk; aspek “teoretis” ajaran Buddha. Pariyatti sering disebutkan dalam kaitannyadengan dua aspek lain dari ajaran Buddha – sebagaipaṭipatti,praktik, dan paṭivedha, realisasi. Dengan demikian: Belajar – Praktik – Realisasi. 4. Sammuti-sacca, istilah yang sulit diterjemahkan. Istilah inimengacu pada realitas dualisme, atau realitas yang hanya nama saja, yaitu realitas nama, penentuan atau konvensi. Contohnya, cangkir tidak secara intrinsik merupakan cangkir, ia hanya ditentukan untuk menjadi cangkir. 5. Catatan penerjemah: tertipu atau terpedaya oleh reaksi pikiran mereka sendiri terhadap rangsangan dari luar.

6. Lima khandha 7. Stasiun pusat: Pikiran. 8. Frasa Pāli yang diucapkan di akhir pemberian sīlasecara tradisional. Ketaatan sīla mengacu pada kualitas atau keadaan yang benar secara moral. Konsep ketaatan sīlalebih dari sekadar menunjung tinggi sīla. Hal ini mencakup memiliki karakter yang berbudi luhur dan beretika yaitu bukan hanya tidak membunuh atau mencelakai makhluk hidup namun juga menyebarkan cinta kasih. 9. catatan penerjemah: seseorang dapat menipu diri mereka sendiri atau mencuri ketenangan dan kebahagiaan pikiran mereka sendiri melalui tindakan atau pikiran negatif. Misalnya, jika seseorang berbohong pada diri sendiri atau menyangkal kesalahan mereka sendiri, mereka pada dasarnya mencuri kejujuran diri mereka sendiri. Demikian pula, jika seseorang terlibat dalam perilaku yang merusak diri sendiri, mereka mencuri kesejahteraan dan kebahagiaan mereka sendiri. 10. Pandangan tentang adanya aku, keraguan terhadap Sang Buddha dan ajarannya, dan kepercayaan bahwa ritus dan ritual dapat membebaskan seseorang dari penderitaan dan mencapai kebebasan.

bottom of page