Tuccho Poṭhila – Kitab Suci Kosong Yang Terhormat - bab VII | Living Dhamma
- thavariya putta
- Sep 29, 2021
- 16 min read
Updated: Apr 1, 2023

Ceramah santai yang diberikan di kuti Ajahn Chah kepada sekelompok umat awam, pada suatu malam,
tahun 1978.
Ada dua cara untuk mendukung Ajaran Buddha. Yang pertama dikenal sebagai āmisa-pūjā, mendukung melalui persembahan materi: empat kebutuhan pokok yaitu makanan, pakaian, tempat tinggal dan obat-obatan. Persembahan materi diberikan kepada Saṅgha para bhikkhu dan bhikkhunī, memungkinkan mereka untuk hidup dalam kenyamanan yang wajar untuk praktik Dhamma. Hal ini mendorong kesadaran langsung terhadap ajaran Buddha, yang pada waktunya membawa kemakmuran yang berkelanjutan bagi Agama Buddha. Ajaran Buddha dapat diibaratkan sebagai pohon. Pohon memiliki akar, batang, cabang, ranting dan daun. Semua daun dan cabang, termasuk batang, bergantung pada akar untuk menyerap nutrisi dari tanah. Sama seperti pohon yang bergantung pada akar untuk menyokongnya, tindakan kita dan ucapan kita seperti “cabang” dan “daun,” yang bergantung pada pikiran, “akar,” menyerap nutrisi, yang kemudian mengirimkannya ke “batang”, “cabang” dan “daun.” Ini kemudian menghasilkan buah berupa ucapan dan tindakan kita. Apa pun keadaan pikiran, terampil atau tidak terampil, pikiran mengekspresikan kualitas tersebut ke luar melalui tindakan dan ucapan kita. Karena itu, dukungan kepada ajaran Buddha melalui penerapan nyata dari ajaran adalah jenis dukungan yang paling penting. Sebagai contoh, dalam upacara penetapan sīla di hari uposatha, guru menjelaskan tindakan-tindakan tidak terampil yang harus dihindari. Tapi jika anda hanya menjalani upacara ini tanpa merenungkan maknanya, kemajuan akan sulit dan anda tidak akan
bisa menemukan praktik yang sebenarnya. Oleh karena itu, dukungan yang sebenarnya kepada ajaran Buddha harus dilakukan melalui paṭipatti-pūjā, “persembahan” praktik, mengembangkan pengendalian diri, konsentrasi, dan kebijaksanaan yang sejati. Maka anda akan memahami ajaran Buddha. Jika anda tidak mengerti melalui praktik, anda masih tidak akan tahu, meskipun anda mempelajari seluruh tipiṭaka.
Pada zaman Sang Buddha ada seorang bhikkhu yang dikenal sebagai Tuccho Pothila. Tuccho Pothila sangat terpelajar, benar-benar menguasai kitab suci dan teks. Dia begitu terkenal sehingga dia sangat dihormati oleh orang-orang di mana-mana dan mempunyai 18 vihāra di bawah pengawasannya. Ketika orang mendengar nama “Tuccho Pothila” mereka terkagum-kagum dan tidak ada yang akan berani mempertanyakan apa pun yang dia ajarkan, begitu kagumnya mereka terhadap penguasaannya tentang ajaran. Tuccho Pothila adalah salah satu murid Sang Buddha yang paling terpelajar.
Suatu hari dia pergi untuk memberi hormat kepada Sang Buddha. Saat dia sedang memberi hormat, Sang Buddha berkata, “Ah, halo, Yang Mulia Kitab Suci Kosong!” seperti itu saja! Mereka berbincang-bincang sebentar sampai tiba waktunya untuk pergi, kemudian, saat dia berpamitan kepada Sang Buddha, Sang Buddha berkata, “Oh, sudah mau pergi, Yang Mulia Kitab Suci Kosong?”
Hanya itu saja yang dikatakan oleh Sang Buddha. Saat tiba, “Oh, halo, Yang Mulia Kitab Suci Kosong!”. Saat tiba waktunya untuk pergi “Ah, sudah mau pergi, Yang Mulia Kitab Suci Kosong?” Sang Buddha tidak menjelaskannya lebih lanjut, hanya itu saja ajaran yang Beliau berikan. Tuccho Pothila, guru yang terkemuka, kebingungan, “Mengapa Sang Buddha mengatakan itu? Apa yang Beliau maksud?” Dia berpikir dan berpikir, mengingat-ingat semua yang telah dia pelajari, sampai akhirnya dia sadar, “Benar! Yang Mulia Kitab Suci Kosong – seorang bhikkhu yang belajar tetapi tidak berlatih.” Ketika dia melihat ke dalam hatinya, dia melihat bahwa sesungguhnya dia tidak berbeda dengan umat awam. Apa pun yang mereka cita-citakan, dia juga mencita-citakannya, apa pun yang mereka nikmati, dia juga menikmatinya, tidak ada “samaṇa”1 sejati di dalam dirinya, tidak ada
kualitas yang benar-benar mendalam yang mampu mengukuhkannya di Jalan Mulia dan memberikan ketenangan sejati.
Jadi dia memutuskan untuk berlatih. Tetapi tidak ada tempat yang bisa dia tuju. Semua guru yang ada di sekitarnya adalah muridnya sendiri, tidak ada yang berani menerimanya. Biasanya ketika orang bertemu dengan guru mereka, mereka menjadi pemalu dan segan, sehingga tidak ada yang berani menjadi gurunya.
Akhirnya dia pergi menemui sāmaṇera muda tertentu, yang telah tercerahkan, dan meminta untuk berlatih dibawah bimbingannya. Sāmaṇera itu berkata, “Ya, tentu saja anda boleh berlatih bersama saya, tetapi hanya jika anda tulus. Jika anda tidak tulus maka saya tidak akan menerima anda.” Tuccho Pothila berikrar untuk menjadi murid sāmaṇera tersebut.
Sāmaṇera itu kemudian menyuruhnya untuk mengenakan semua jubahnya. Nah, kebetulan ada rawa berlumpur di dekat sana. Ketika Tuccho Pothila sudah mengenakan semua jubahnya dengan rapi, jubahnya juga mahal-mahal, sāmaṇera itu berkata, “Baik, sekarang larilah masuk ke dalam rawa berlumpur ini. Jika saya tidak menyuruh anda berhenti, jangan berhenti. Jika saya tidak menyuruh anda keluar, jangan keluar. Baiklah... lari!”
Tuccho Pothila, berjubah dengan rapi, terjun ke dalam rawa. Sāmaṇera itu tidak menyuruhnya berhenti sampai dia benar-benar tertutup lumpur. Akhirnya dia berkata, “Anda boleh berhenti sekarang” jadi dia berhenti. “Baik, keluarlah sekarang!” dan dia pun keluar.
Ini jelas menunjukkan kepada sāmaṇera itu bahwa Tuccho Pothila telah meninggalkan harga dirinya. Dia telah siap untuk menerima ajaran. Jika dia tidak siap untuk belajar, dia tidak akan lari ke dalam rawa seperi itu, sebagai seorang guru yang begitu terkemuka, tetapi dia melakukannya. Sāmaṇera muda, melihat ini, tahu bahwa Tuccho Pothila dengan tulus bertekad untuk berlatih.
Ketika Tuccho Pothila sudah keluar dari rawa, sāmaṇera itu memberinya ajaran. Dia mengajarinya untuk mengamati objek-objek indra,
mengetahui pikiran dan mengetahui objek-objek indra, menggunakan kiasan seseorang menangkap seekor kadal yang bersembunyi di dalam gundukan rayap. Jika gundukan itu mempunyai 6 lubang, bagaimana dia akan menangkapnya? Dia harus menutup 5 lubang dan menyisakan hanya 1 yang terbuka. Lalu dia hanya perlu melihat dan menunggu, menjaga 1 lubang itu. Ketika kadal itu lari keluar, dia bisa menangkapnya.
Mengamati pikiran adalah seperti ini. Menutup mata, telinga, hidung, lidah dan tubuh, kita menyisakan hanya pikiran. “Menutup” indra berarti menahan dan menenangkannya, mengamati hanya pikiran. Meditasi itu seperti menangkap kadal. Kita menggunakan sati untuk memperhatikan napas. Sati adalah kualitas ingatan, seperti bertanya pada diri sendiri, “Apa yang sedang saya lakukan?” Sampajañña adalah kesadaran bahwa “sekarang saya sedang melakukan ini dan itu.” Kita mengamati napas masuk dan keluar dengan sati dan sampajañña.
Kualitas ingatan ini adalah sesuatu yang timbul dari latihan, ini bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari dari buku. Ketahui perasaan yang timbul. Pikiran mungkin cukup tidak aktif untuk sementara waktu kemudian suatu perasaan timbul. Sati bekerja bersama dengan perasaan ini, mengingatnya. Ada sati, ingatan bahwa “saya akan berbicara,” “saya akan pergi,” “saya akan duduk” dan sebagainya, kemudian ada sampajañña, kesadaran bahwa “sekarang saya sedang berjalan,” “saya sedang berbaring,” “saya sedang mengalami suasana hati ini dan itu.” Dengan kedua hal ini, sati dan sampajañña, kita bisa mengetahui pikiran kita di saat ini juga dan kita akan mengetahui bagaimana pikiran bereaksi terhadap kesan-kesan indra.
Yang menyadari objek-objek indra disebut “pikiran.” Objek-objek indra “mengembara ke dalam” pikiran. Misalnya, ada suara, seperti bor listrik di sini. Suara itu masuk melalui telinga dan berjalan ke dalam menuju pikiran, yang mengakui bahwa itu adalah suara bor listrik. Yang mengakui suara itu disebut “pikiran.”
Sekarang, pikiran ini yang mengakui suara itu cukup dasar. Ia hanyalah pikiran biasa. Mungkin kekesalan timbul di dalam yang mengakui. Kita harus melatih lebih jauh “yang mengakui” untuk menjadi “yang mengetahui”
sesuai dengan kebenaran – yang dikenal sebagai Buddho. Jika kita tidak dengan jelas mengetahui sesuai dengan kebenaran, maka kita merasa terganggu oleh suara orang, mobil, mesin bor, dan sebagainya. Ini hanyalah pikiran biasa yang tidak terlatih yang mengakui suara dengan kekesalan. Pikiran ini mengetahui sesuai dengan kesukaannya, bukan sesuai dengan kebenaran. Kita harus melatihnya lebih jauh untuk mengetahui dengan pandangan dan wawasan, ñāṇadassana2, kekuatan pikiran yang telah disempurnakan, agar pikiran mengetahui suara hanya sebagai suara. Jika kita tidak melekat pada suara maka tidak ada kekesalan. Suara timbul dan kita hanya memperhatikannya. Ini disebut benar-benar mengetahui timbulnya objek-objek indra. Jika kita mengembangkan Buddho, dengan jelas menyadari suara sebagai suara, maka suara tidak mengganggu kita. Suara timbul sesuai dengan kondisi, suara bukanlah makhluk, individu, diri, “kita” atau “mereka.” Itu hanyalah suara. Pikiran melepaskan.
Keadaan mengetahui ini disebut Buddho, pengetahuan yang jelas dan menembus. Dengan pengetahuan ini kita bisa membiarkan suara menjadi hanya suara. Suara tidak mengganggu kita kecuali kita mengganggunya dengan berpikir, “aku tidak mau mendengar suara itu, itu mengganggu.” Penderitaan timbul karena pemikiran ini. Tepat di sini adalah penyebab penderitaan, karena kita tidak mengetahui kebenaran dari hal ini, kita belum mengembangkan Buddho. Kita belum jelas, belum terjaga, belum sadar. Ini adalah pikiran yang mentah dan tidak terlatih. Pikiran ini belum benar-benar berguna bagi kita.
Oleh karena itu Sang Buddha mengajarkan bahwa pikiran ini harus dilatih dan dikembangkan. Kita harus mengembangkan pikiran seperti kita mengembangkan tubuh, tetapi kita melakukannya dengan cara yang berbeda. Untuk mengembangkan tubuh kita harus melatihnya, jogging di pagi dan sore hari dan sebagainya. Ini adalah melatih tubuh. Sebagai hasilnya tubuh menjadi lebih lincah, lebih kuat, sistem pernapasan dan saraf menjadi lebih efisien. Untuk melatih pikiran kita tidak harus menggerakkannya, melainkan menghentikannya, mendiamkannya.
Contohnya, saat berlatih meditasi, kita mengambil sebuah objek, seperti napas masuk dan keluar, sebagai fondasi kita. Ini menjadi fokus perhatian
dan perenungan kita. Kita melihat pernapasan. Melihat pernapasan berarti mengikuti pernapasan dengan kesadaran, memperhatikan iramanya, kedatangan dan kepergiannya. Kita menaruh kesadaran ke dalam napas, mengikuti pernapasan masuk dan keluar yang alami dan melepaskan semua yang lainnya. Sebagai hasil dari tetap pada satu objek kesadaran, pikiran kita menjadi segar. Jika kita membiarkan pikiran memikirkan ini, itu dan yang lain, ada banyak objek kesadaran; pikiran tidak menyatu, pikiran tidak berhenti. Mengatakan pikiran berhenti berarti bahwa rasanya seolah-olah pikiran berhenti, ia tidak berlarian ke sana kemari. Seperti memiliki sebuah pisau tajam. Jika kita menggunakan pisau itu untuk memotong benda secara sembarangan, seperti batu, batu bata, dan rumput, pisau kita akan cepat tumpul. Kita harus menggunakannya untuk memotong hanya benda-benda yang memang seharusnya. Pikiran kita juga sama. Jika kita membiarkan pikiran berkeliaran mengejar pemikiran dan perasaan yang tidak memiliki nilai atau manfaat, pikiran menjadi lelah dan lemah. Jika pikiran tidak mempunyai energi, kebijaksanaan tidak akan timbul, karena pikiran tanpa energi adalah pikiran tanpa samādhi. Jika pikiran belum berhenti, anda tidak bisa dengan jelas melihat objek-objek indra sebagaimana mereka adanya. Pengetahuan bahwa pikiran adalah pikiran, objek indra hanyalah objek indra, merupakan akar dari pertumbuhan dan perkembangan ajaran Buddha. Ini adalah inti sari dari ajaran Buddha. Kita harus mengolah pikiran ini, mengembangkannya, melatihnya dalam ketenangan dan pandangan terang. Kita melatih pikiran untuk memiliki pengendalian diri dan kebijaksanaan dengan membiarkan pikiran berhenti dan membiarkan kebijaksanaan timbul, dengan mengetahui pikiran sebagaimana adanya. Anda tahu, bagaimana kita sebagai manusia, cara kita melakukan sesuatu, sama seperti anak kecil. Seorang anak kecil tidak tahu apa-apa. Bagi orang dewasa yang mengamati kelakuan anak kecil, cara dia bermain dan melompat-lompat, tindakannya tampaknya tidak memiliki banyak tujuan. Jika pikiran kita tidak terlatih, ia seperti anak kecil. Kita berbicara tanpa kesadaran dan bertindak tanpa kebijaksanaan. Kita bisa jatuh ke dalam kehancuran atau menyebabkan kerugian yang tak terhingga dan bahkan tidak menyadarinya. Seorang anak kecil tidak tahu apa-apa, dia bermain layaknya anak-anak. Pikiran ketaktahuan kita juga sama. Oleh karena itu kita harus melatih pikiran ini. Sang Buddha mengajarkan kita untuk melatih pikiran, mengajarkan pikiran. Meskipun kita mendukung ajaran Buddha dengan empat kebutuhan, dukungan kita masih dangkal, itu hanya mencapai “kulit kayu” atau “kayu gubal” pohon. Dukungan yang sesungguhnya kepada ajaran Buddha harus dilakukan melalui praktik, tidak dengan cara lain, melatih tindakan, ucapan dan pikiran kita sesuai dengan ajaran. Ini jauh lebih bermanfaat. Jika kita lugas dan jujur, memiliki pengendalian diri dan kebijaksanaan, praktik kita akan membawa kesejahteraan. Tidak akan ada penyebab untuk dendam dan permusuhan. Beginilah agama kita mengajarkan kita. Jika kita menetapkan sīla hanya berdasarkan tradisi, maka meskipun Ajahn mengajarkan kebenaran, praktik kita tidak akan memadai. Kita mungkin bisa mempelajari ajaran dan mengulang-ulangnya, tetapi kita harus melaksanakannya jika kita benar-benar ingin memahaminya. Jika kita tidak mengembangkan praktik, ini bisa menjadi hambatan bagi kita untuk menembus ke dalam inti ajaran Buddha untuk kehidupan mendatang yang tak terhitung jumlahnya. Kita tidak akan memahami inti dari Agama Buddha. Oleh karena itu, praktik itu seperti sebuah kunci, kunci meditasi. Jika kita memiliki kunci yang tepat di tangan kita, tidak peduli seberapa erat gembok itu terkunci, ketika kita memasukkan kunci dan memutarnya, gembok itu jatuh terbuka. Jika kita tidak mempunyai kunci, kita tidak bisa membuka gembok. Kita tidak akan pernah tahu apa yang ada di dalam peti. Sebenarnya ada dua jenis pengetahuan. Orang yang memahami Dhamma tidak hanya berbicara dari ingatan, dia berbicara kebenaran. Orang-orang duniawi biasanya berbicara dengan kebanggaan. Sebagai contoh, misalkan ada dua orang yang sudah lama tidak bertemu, mungkin mereka sudah tinggal di provinsi atau negara berbeda untuk beberapa waktu, kemudian suatu hari mereka kebetulan bertemu di dalam kereta “Oh! Benar-benar suatu kejutan. Aku baru saja berpikir mau mencarimu!” Sebenarnya itu tidak benar. Sesungguhnya mereka tidak saling memikirkan sama sekali, tetapi mereka berkata begitu karena kegembiraan saja. Sehingga itu menjadi sebuah kebohongan. Ya, itu adalah berbohong karena kelalaian. Ini adalah berbohong tanpa menyadarinya. Ini adalah bentuk halus kekotoran batin, dan ini sering terjadi. Jadi sehubungan dengan pikiran, Tuccho Pothila mengikuti instruksi sāmaṇera: menarik napas, menghembuskan napas, dengan penuh perhatian menyadari setiap napas, sampai dia melihat si pembohong di dalam dirinya, kebohongan dari pikirannya sendiri. Dia melihat kekotoran-kekotoran batin saat mereka timbul, sama seperti kadal yang keluar dari gundukan rayap. Dia melihatnya dan memahami sifat sejatinya begitu kekotoran batin timbul. Dia memperhatikan bagaimana satu menit pikiran akan mengarang satu hal, saat berikutnya hal lainnya. Berpikir adalah saṅkhata dhamma, sesuatu yang diciptakan atau dikarang dari kondisi-kondisi pendukung. Ini bukanlah asaṅkhata dhamma, yang tidak berkondisi. Pikiran yang terlatih dengan baik, dengan kesadaran yang sempurna, tidak mengarang kondisi mental. Pikiran semacam ini menembus ke Kesunyataan Mulia dan melampaui segala kebutuhan untuk bergantung pada hal-hal eksternal. Mengetahui Kesunyataan Mulia berarti mengetahui kebenaran. Pikiran yang berkembang biak berusaha menghindari kebenaran ini, mengatakan, “itu bagus” atau “ini indah,” tetapi jika ada Buddho di dalam pikiran, maka pikiran tidak bisa lagi menipu kita, karena kita mengetahui pikiran sebagaimana adanya. Pikirkan tidak bisa lagi menciptakan keadaan-keadaan mental yang menyesatkan, karena ada kesadaran yang jelas bahwa semua keadaan mental tidak stabil, tidak sempurna, dan merupakan sumber penderitaan bagi orang yang melekat padanya. Bagi Tuccho Pothila, “yang mengetahui” selalu berada di dalam pikirannya ke mana pun dia pergi. Dia mengamati berbagai ciptaan dan perkembangbiakan pikiran dengan pemahaman. Dia melihat bagaimana pikiran berbohong dengan banyak cara. Dia memahami inti latihan, melihat
bahwa “Pikiran pembohong inilah yang harus diperhatikan – yang satu inilah yang membawa kita ke dalam kebahagiaan dan penderitaan yang luar biasa dan menyebabkan kita berputar-putar tanpa henti di dalam siklus saṃsāra, dengan kesenangan dan kesakitannya, kebaikan dan kejahatan – semuanya karena pikiran pembohong ini.” Tuccho Pothila menyadari kebenaran, dan memahami inti latihan, sama seperti orang yang menggenggam ekor kadal. Dia melihat cara kerja pikiran yang menyesatkan.
Bagi kita juga sama. Hanya pikiran ini yang penting. Karena itulah kita perlu melatih pikiran. Sekarang jika pikiran adalah pikiran, dengan apa kita akan melatihnya? Dengan memiliki sati dan sampajañña yang terus-menerus, kita akan bisa mengetahui pikiran. Yang mengetahui ini selangkah lebih jauh dari pikiran, ialah yang mengetahui keadaan pikiran. Pikiran adalah pikiran. Yang mengetahui pikiran sebagai sekadar pikiran adalah yang mengetahui. Ia di atas pikiran. Yang mengetahui berada di atas pikiran, dan begitulah bagaimana ia bisa menjaga pikiran, mengajarkan pikiran untuk mengetahui apa yang benar dan apa yang salah. Pada akhirnya semuanya kembali ke pikiran yang berkembang biak ini. Jika pikiran terperangkap di dalam perkembangbiakannya, maka tidak ada kesadaran dan latihannya sia-sia.
Oleh karena itu, kita harus melatih pikiran ini untuk mendengarkan Dhamma, untuk menumbuhkan Buddho, kesadaran yang jernih dan bercahaya; yang berada di atas dan di luar pikiran biasa, dan mengetahui semua yang berlangsung di dalamnya. Inilah mengapa kita bermeditasi pada kata Buddho, agar kita bisa mengetahui pikiran yang berada di luar pikiran. Cukup perhatikan semua gerakan-gerakan pikiran, apakah baik atau buruk, sampai yang mengetahui menyadari bahwa pikiran hanyalah pikiran, bukan diri atau seseorang. Ini disebut cittānupassanā, perenungan terhadap pikiran3. Melihat dengan cara ini kita akan memahami bahwa pikiran bersifat sementara, tidak sempurna, dan tiada pemilik. Pikiran ini bukan milik kita.
Kita dapat meringkas sebagai berikut: Pikiran adalah yang mengakui objek-objek indra; objek-objek indra adalah objek-objek indra, berbeda dari pikiran; “yang mengetahui” mengetahui pikiran dan objek-objek indra sebagaimana mereka adanya. Kita harus menggunakan sati untuk terus-menerus membersihkan pikiran. Semua orang memiliki sati, bahkan kucing
juga memilikinya ketika dia akan menangkap seekor tikus. Anjing memilikinya saat dia menggonggong orang. Ini adalah bentuk sati, tetapi itu bukanlah sati menurut Dhamma. Setiap orang memiliki sati, tapi ada tingkatan yang berbeda, sama seperti ada tingkatan yang berbeda dalam melihat hal-hal. Contohnya, ketika saya katakan renungkanlah tubuh, beberapa orang berkata, “Apa yang harus direnungkan pada tubuh? Siapa saja bisa melihatnya. Kesā kita sudah bisa melihatnya, lomā kita sudah bisa melihatnya, rambut, kuku, gigi dan kulit kita sudah bisa melihatnya. Jadi apa?”
Beginilah manusia. Mereka bisa melihat tubuh dengan baik tapi penglihatan mereka salah, mereka tidak melihat dengan Buddho, “yang mengetahui”, yang tersadar. Mereka hanya melihat tubuh dengan cara biasa, mereka melihatnya secara visual. Hanya melihat tubuh saja tidak cukup. Jika kita hanya melihat tubuh, akan ada masalah. Anda harus melihat tubuh di dalam tubuh, maka hal-hal akan menjadi jauh lebih jelas. Hanya melihat tubuh saja anda akan tertipu olehnya, terpesona oleh penampilannya. Tidak melihat ketidakkekalan, ketidaksempurnaan, dan tiada pemilik, kāmachanda4 timbul. Anda menjadi terpesona oleh bentuk, suara, bau, rasa, dan perasaan. Melihat dengan cara ini berarti melihat dengan mata fisik duniawi, menyebabkan anda mencintai dan membenci dan membedakan perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Sang Buddha mengajarkan bahwa ini tidak cukup. Anda harus melihat dengan “mata pikiran.” Melihat tubuh di dalam tubuh. Jika anda benar-benar melihat ke dalam tubuh, Ugh! Sangat menjijikkan. Ada barang hari ini dan barang kemarin semuanya bercampur di sana, anda tidak bisa membedakan apa itu apa. Melihat dengan cara ini jauh lebih jelas daripada melihat dengan mata fisik. Renungkanlah, lihatlah dengan mata pikiran, dengan mata kebijaksanaan.
Orang-orang memahami hal ini dengan cara yang berbeda. Beberapa orang tidak tahu apa yang harus direnungkan dalam lima tema meditasi, rambut kepala, bulu roma, kuku, gigi dan kulit. Mereka bilang mereka sudah bisa melihat semua hal tersebut, tetapi mereka hanya bisa melihatnya dengan mata duniawi, dengan “mata gila” ini yang hanya melihat hal-hal yang ingin
dilihatnya. Untuk melihat tubuh di dalam tubuh anda harus melihat lebih jelas daripada itu. Ini adalah latihan yang bisa mencabut kemelekatan pada lima khandha5. Mencabut kemelekatan berarti mencabut penderitaan, karena kemelekatan pada lima khandha adalah penyebab penderitaan. Jika penderitaan timbul, itu ada di sini, di kemelekatan pada lima khandha. Bukan lima khandha itu sendiri yang merupakan penderitaan, tetapi kemelekatan pada lima khandha sebagai milik sendiri, itulah penderitaan. Jika anda melihat kebenaran dari hal-hal ini dengan jelas melalui latihan meditasi, maka penderitaan akan terlepas, seperti sekrup atau baut. Ketika baut diputar lepas, ia tertarik keluar. Pikiran melepas dengan cara yang sama, melepaskan; menarik diri dari obsesi terhadap kebaikan dan kejahatan, harta, pujian dan status, kebahagiaan dan penderitaan. Jika kita tidak mengetahui kebenaran dari hal-hal ini, itu seperti mengencangkan sekrup terus-menerus. Semakin kencang dan semakin kencang sampai akhirnya kemelekatan meremukkan anda dan anda menderita atas segalanya. Ketika anda tahu bagaimana hal-hal adanya maka anda memutar lepas sekrup tersebut. Dalam bahasa Dhamma kita menyebut ini sebagai timbulnya nibbidā, kekecewaan. Anda menjadi lelah dengan hal-hal dan meletakkan ketertarikan terhadap mereka. Jika anda melepas dengan cara ini anda akan menemukan ketenangan. Penyebab penderitaan adalah kemelekatan pada hal-hal. Oleh karena itu, kita harus menyingkirkan penyebabnya, memotong akarnya dan tidak membiarkannya menyebabkan penderitaan lagi. Manusia hanya punya satu masalah – masalah kemelekatan. Hanya karena satu hal ini orang akan saling membunuh. Semua masalah, baik itu masalah pribadi, keluarga maupun sosial, timbul dari akar satu ini. Tidak ada yang menang, mereka saling membunuh tetapi pada akhirnya tidak ada yang mendapatkan apa-apa. Semuanya sia-sia, saya tidak tahu kenapa orang-orang terus saling membunuh.
Kekuasaan, harta, status, pujian, kebahagiaan dan penderitaan – ini adalah dhamma duniawi. Dhamma-dhamma duniawi ini menelan makhluk duniawi. Makhluk duniawi digiring oleh dhamma-dhamma duniawi: keuntungan dan kerugian, pujian dan fitnah, status dan kehilangan status, kebahagiaan dan penderitaan. Dhamma-dhamma ini adalah pembuat masalah; jika anda tidak merenungkan sifat asli mereka anda akan menderita. Orang-orang bahkan melakukan pembunuhan demi kekayaan, status atau kekuasaan. Kenapa? Karena mereka menanggapi hal ini terlalu serius. Mereka diangkat untuk suatu posisi dan hal itu membuat mereka lupa diri, seperti orang yang menjadi kepada desa. Setelah pelantikannya, dia jadi “mabuk kekuasaan.” Jika ada teman lamanya yang datang menemuinya, dia akan berkata, “Jangan terlalu sering datang. Keadaan sudah tidak sama lagi.” Sang Buddha mengajarkan kita untuk memahami sifat harta, status, pujian dan kebahagiaan. Terimalah hal-hal ini saat mereka datang tetapi biarkan saja mereka. Jangan biarkan mereka membuat anda lupa diri. Jika anda tidak benar-benar memahami hal-hal ini, anda akan tertipu oleh kekuasaan anda, anak-anak dan kerabat anda, oleh segala hal! Jika anda memahaminya dengan jelas, anda tahu bahwa semua itu adalah kondisi yang tidak kekal. Jika anda melekat pada mereka, mereka menjadi kotor. Semua hal ini muncul setelahnya. Ketika orang pertama kali dilahirkan, hanya ada nāma dan rūpa, itu saja. Kita menambahkan “Tuan Jones,” “Nona Smith” atau apa pun nantinya. Ini dilakukan sesuai dengan konvensi. Masih saja nanti ada embel-embel “Kolonel,” “Jenderal” dan sebagainya. Jika kita tidak benar-benar memahami hal-hal ini, kita akan menganggapnya nyata dan membawanya ke mana-mana bersama kita. Kita membawa harta, status, nama dan pangkat ke mana-mana. Jika anda mempunyai kekuasaan, anda bisa menentukan segala sesuatu... “Bawa satu ini dan eksekusi dia. Bawa satu itu dan jebloskan dia ke dalam penjara.” Pangkat memberi kekuasaan. Kemelekatan terjadi di sini di kata “pangkat.” Segera setelah orang mendapat pangkat, mereka mulai memberi perintah; benar atau salah, mereka hanya bertindak berdasarkan suasana hati mereka. Sehingga mereka terus membuat kesalahan lama yang sama, menyimpang semakin jauh dan semakin jauh dari jalan yang benar.
Seseorang yang memahami Dhamma tidak akan berperilaku sepert ini. Kebaikan dan kejahatan sudah ada di dunia sejak siapa tahu kapan. Jika harta dan status mendatangi anda maka biarkan mereka hanya menjadi harta dan status – jangan biarkan mereka menjadi jati diri anda. Cukup gunakan mereka untuk memenuhi kewajiban anda dan sampai di situ saja. Anda tetap tidak berubah. Jika kita telah merenungkan hal-hal ini, tidak peduli apa yang mendatangi kita, kita tidak akan disesatkan oleh hal itu. Kita tidak akan terganggu, tidak terpengaruh, dan konstan. Pada akhirnya, semuanya kurang lebih sama saja.
Beginilah bagaimana Sang Buddha ingin kita memahami hal-hal. Tidak peduli apa yang anda terima, pikiran tidak menambahkan apa pun pada hal itu. Mereka mengangkat anda menjadi anggota dewan kota, “Baik, jadi saya adalah anggota dewan kota, tapi saya bukan.” Mereka mengangkat anda menjadi ketua kelompok, “Tentu saja, tapi saya bukan." Anda dijadikan apa pun oleh mereka “Ya baik, tapi saya bukan!” Pada akhirnya kita ini apa? Pada akhirnya kita semua akan mati. Tidak peduli mereka menjadikan anda apa, pada akhirnya semuanya sama saja. Apa yang bisa anda katakan? Jika anda bisa melihat hal-hal dengan cara ini anda akan memiliki ketenangan yang mantap dan kepuasan sejati. Tidak ada yang berubah.
Jangan tertipu oleh hal-hal. Apa pun yang mendatangi anda, itu hanyalah kondisi. Tidak ada apa pun yang bisa memikat pikiran seperti ini untuk menciptakan atau berkembang biak, menggodanya ke dalam keserakahan, kebencian, ataupun kekelirutahuan.
Inilah yang dimaksud dengan menjadi pendukung sejati ajaran Buddha. Apakah anda termasuk di antara mereka yang didukung (misalnya Saṅgha) atau mereka yang mendukung (umat awam), mohon pertimbangkan ini dengan saksama. Kembangkanlah sīla-dhamma6 di dalam diri anda. Ini adalah cara yang paling pasti untuk mendukung ajaran Buddha. Mendukung ajaran Buddha dengan persembahan makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan juga baik, tetapi persembahan semacam itu hanya mencapai “kayu gubal” dari ajaran Buddha. Mohon jangan lupakan ini. Pohon memiliki kulit, kayu gubal dan inti kayu, dan ketiga bagian ini saling bergantungan. Inti kayu harus bergantung pada kulit dan kayu gubal. Kayu gubal bergantung pada
kulit dan inti kayu. Mereka semua hidup saling bergantungan, seperti halnya ajaran Disiplin Moral, Konsentransi dan Kebijaksanaan (sīla, samādhi, paññā). Ajaran tentang disiplin moral adalah untuk menetapkan ucapan dan tindakan anda dalam ketaatan. Ajaran tentang konsentrasi adalah untuk memantapkan pikiran. Ajaran tentang kebijaksanaan adalah pemahaman menyeluruh tentang sifat dari semua kondisi. Pelajari ini, praktikkan ini, dan anda akan memahami ajaran Buddha dengan cara yang paling mendalam.
Jika anda tidak menyadari hal-hal ini, anda akan tertipu oleh harta, tertipu oleh pangkat, tertipu oleh apa saja yang anda temui. Hanya dengan mendukung ajaran Buddha secara eksternal tidak akan pernah mengakhiri perkelahian dan pertengkaran, dendam dan permusuhan, penikaman dan penembakan. Apabila hal-hal ini ingin diakhiri, kita harus merenungkan sifat dari harta, pangkat, pujian, kebahagiaan dan penderitaan. Kita harus mempertimbangkan hidup kita dan membawanya sejalan dengan ajaran. Kita harus merenungkan bahwa semua makhluk di dunia adalah bagian dari satu kesatuan. Kita seperti mereka, mereka seperti kita. Mereka memiliki kebahagiaan dan penderitaan sama seperti kita. Semuanya hampir sama. Jika kita merenung dengan cara ini, ketenangan dan pemahaman akan timbul. Ini adalah fondasi dari ajaran Buddha.

Diterjemahkan oleh: Jayananda Gotama 1. Seseorang yang hidup dengan penuh pengabdian pada praktik keagamaan. Istilah ini juga digunakan untuk mengacu pada seseorang yang telah mengembangkan sejumlah kebajikan tertentu dari praktik tersebut. Ajahn Chah biasanya menerjemahkan istilah ini sebagai “seseorang yang tenang.” 2. Secara harfiah: pengetahuan dan wawasan (ke dalam Empat Kesunyataan Mulai). 3. Salah satu dari empat landasanperhatian penuh (mindulness): tubuh, perasaan, pikiran, dan dhamma. 4. Kāmachanda: Nafsu Indra, salah satu dari lima hambatan, empat hambatan lainnya adalah niat jahat, kelambanan dan kemalasan, keresahan dan penyesalan, dan keraguan. 5. Lima khandha, atau “tumpukan”: bentuk (rūpa), perasaan (vedanā), persepsi (sañña), konsepsi (saṅkhāra), dan kesadaran (viññāṇa) 6. sīla-dhamma: praktik kebajikan.
Commentaires