Mengapa Kita Disini? - bab II | Living Dhamma
- thavariya putta
- Sep 27, 2021
- 15 min read
Updated: Apr 1, 2023

Ceramah ini diberikan di Wat Tham Saeng Phet (The monastery of the Diamond Light Cave) kepada sekelompok umat awam yang berkunjung, selama vassa 1981, sesaat sebelum kesehatan Ajahn Chah memburuk.
Pada vassa ini saya tidak punya banyak tenaga, saya tidak sehat, jadi saya naik ke gunung ini di sini untuk mencari udara segar. Orang-orang datang berkunjung tetapi saya tidak benar-benar bisa menerima mereka seperti biasanya karena suara saya sudah hampir hilang, napas saya hampir habis. Kalian bisa menganggapnya sebuah berkat bahwa masih ada tubuh ini yang duduk di sini untuk kalian semua lihat sekarang. Ini adalah berkat itu sendiri. Segera kalian tidak akan melihatnya lagi. Napas akan berhenti, suara akan hilang. Mereka akan berjalan sesuai dengan faktor-faktor pendukungnya, seperti semua hal yang majemuk. Sang Buddha menyebutnya khaya-vayaṃ, kemerosotan dan terurainya semua fenomena yang berkondisi. Bagaimana mereka merosot? Pertimbangkan sebongkah es. Awalnya, es hanyalah air; orang membekukannya dan menjadi es. Namun, tidak butuh waktu yang lama sebelum es itu mencair. Ambillah sebongkah es yang besar, katakanlah sebesar tape rekorder ini di sini, dan tinggalkan di bawah sinar matahari. Anda bisa melihat bagaimana es itu merosot, hampir sama seperti tubuh. Ia akan terurai secara bertahap. Setelah beberapa jam atau menit, yang tersisa hanyalah genangan air. Inilah yang disebut khaya-vayaṃ, kemerosotan dan terurainya semua hal yang majemuk. Hal ini sudahberlangsung untuk waktu yang lama, sejak awal mula waktu. Ketika kita lahir, kita membawa sifat bawaan ini ke dalam dunia bersama kita, kita tidak bisa menghindarinya. Saat lahir kita membawa usia tua, sakit dan kematian bersama kita. Jadi inilah sebabnya kenapa Sang Buddha mengatakankhaya-vayaṃ, kemerosotan dan terurainya semua hal yang majemuk. Kita semua yang duduk di sini di dalam aula ini sekarang, para bhikkhu, sāmaṇera dan umat awam pria dan wanita, tanpa terkecuali adalah “gumpalan kemerosotan”. Saat ini gumpalannya masih keras, sama seperti bongkahan es. Dimulai dari air, menjadi es untuk sementara waktu dan kemudian mencair lagi. Bisakah anda melihat kemerosotan ini di dalam diri anda? Lihatlah tubuh ini. Tubuh ini menua setiap hari... rambut menua, kuku menua – semuanya menua! Kalian tidak seperti ini sebelumnya, bukan? Kalian mungkin lebih kecil daripada ini1. Sekarang kalian sudah dewasa dan matang. Mulai dari sekarang kalian akan merosot, mengikuti jalan alam. Tubuh merosot sama seperti bongkahan es. Segera, seperti halnya bongkahan es, semuanya hilang. Semua tubuh tersusun dari empat unsur yaitu tanah, air, angin dan api. Tubuh adalah perpaduan dari tanah, air, angin dan api, yang kemudian kita sebut sebagai orang. Pada awalnya sulit untuk mengatakan apa yang bisa anda sebut, tapi sekarang kita menyebutnya “orang”. Kita tergila-gila padanya, menyebutnya pria, wanita, memberinya nama, Tuan, Nyonya, dan sebagainya, sehingga kita bisa saling mengenali dengan lebih mudah. Tapi sebenarnya tidak ada siapa-siapa di sana. Ada tanah, air, angin dan api. Ketika mereka bergabung dalam wujud yang dikenali ini, kita menyebut hasilnyasebagai “orang”. Sekarang, jangan terlalu antusias dengan hal itu. Jika kalian benar-benar melihat ke dalamnya, tidak ada siapa-siapa di sana. Apa yang padat pada tubuh, daging, kulit, tulang dan sebagainya, disebut unsur tanah. Aspek-aspek tubuh yang cair adalah unsur air. Kemampuan tubuh yang menghasilkan kehangatan pada tubuh adalah unsur api, sedangkan angin yang mengalir di dalam tubuh adalah unsur angin. Di Wat Pah Pong, kita mempunyai sebuah tubuh yang bukan pria maupun wanita. Itu adalah rangka manusia yang tergantung di aula utama. Melihat rangka itu, kalian tidak mendapatkan bayangan apakah itu pria atau wanita. Orang-orang saling bertanya apakah itu seorang pria atau wanita dan yang bisa mereka lakukan hanyalah saling melihat dengan tatapan kosong. Itu hanya sebuah rangka, semua kulit dan dagingnya sudah hilang. Orang-orang tidak tahu tentang hal ini. Beberapa orang pergi ke Wat Pah Pong, masuk ke aula utama, melihat rangka-rangka itu kemudian berlari keluar lagi! Mereka tidak sanggup melihatnya. Mereka takut, takut pada rangka-rangka itu. Saya pikir orang-orang ini tidak pernah melihat diri mereka sendiri sebelumnya. Karena mereka takut pada rangka, mereka tidak merenungkan nilai yang besar dari sebuah rangka. Untuk sampai ke vihāra mereka harus naik mobil atau berjalan kaki; jika mereka tidak mempunyai tulang bagaimana jadinya mereka? Bisakah mereka berjalan seperti itu? Tapi mereka mengendarai mobil mereka ke Wat Pah Pong, masuk ke aula utama, melihat rangka itu dan langsung lari keluar lagi! Mereka belum pernah melihat hal semacam itu sebelumnya. Mereka terlahir dengannya namun mereka belum pernah melihatnya. Sudah sangat beruntung mereka mempunyai kesempatan untuk melihatnya sekarang. Bahkan orang yang lebih tua melihat rangka itu merasa takut. Apa yang diributkan? Ini menunjukkan kalau mereka sama sekali tidak menyadari diri mereka sendiri, mereka tidak benar-benar mengenal diri mereka sendiri. Mungkin mereka pulang ke rumah dan masih tidak bisa tidur selama tiga atau empat hari, tetapi mereka tidur dengan rangka! Mereka berpakaian dengannya, makan makanan dengannya, melakukan segala sesuatu dengannya, namun mereka takut dengannya. Ini menunjukkan betapa orang-orang tidak menyadari diri mereka sendiri. Sangat menyedihkan! Mereka selalu melihat ke luar, ke pepohonan, ke orang lain, ke objek-objek luar, mengatakan “yang ini besar”, “itu kecil”, “itu pendek”, “itu panjang”. Mereka begitu sibuk melihat hal-hal lain mereka tidak pernah melihat diri mereka sendiri. Sejujurnya, orang-orang sungguh menyedihkan; mereka tidak mempunyai perlindungan. Dalam upacara penahbisan,orang yang ditahbiskan harus mempelajari lima tema meditasi dasar: kesā – rambut kepala, lomā – bulu roma, nakhā – kuku, dantā – gigi, taco – kulit. Beberapa murid dan orang-orang terpelajar cekikikan ketika mendengar bagian upacara penahbisan ini. “Apa yang Ajahn coba ajarkan kepada kami di sini? Mengajarikami tentang rambut saat kami sudah memilikinya selama bertahun-tahun. Dia tidak perlu mengajari kami tentang ini, kami sudah mengetahuinya. Mengapa repot-repot mengajari kami sesuatu yang sudah kami ketahui?” Orang yang kurang cerdas memang seperti ini, mereka pikir mereka sudah bisa melihat rambut. Saya beritahu mereka bahwa ketika saya mengatakan “melihat rambut” yang saya maksud adalah melihatnya sebagaimana adanya. Melihat bulu roma sebagaimana adanya, melihat kuku, gigi dan kulit sebagaimana mereka adanya. Itulah yang saya sebut “melihat” – bukan melihat dengan cara yang dangkal, tetapi melihat sesuai dengan kebenaran. Kita tidak akan terlibat secara mendalam dengan hal-hal jika kita bisa melihat hal-hal sebagaimana mereka adanya. Rambut, kuku, gigi, kulit – seperti apa mereka sebenarnya? Apakah mereka indah? Apakah mereka bersih? Apakah mereka memilikisubstansi yang nyata? Apakah mereka stabil? Tidak, tidak ada apa pun pada mereka. Mereka tidak indah tapi kita membayangkannya begitu, mereka tidak substansial, tapi kita membayangkannya begitu. Rambut, kuku, gigi, kulit – orang-orang sangat terikat pada hal-hal ini. Sang Buddha menetapkan hal-hal ini sebagai tema dasar untuk meditasi, Beliau mengajarkan kita untuk mengetahui hal-hal ini. Mereka bersifat sementara, tidak sempurna, tiada pemilik; mereka bukan “aku” ataupun “mereka.” Kita terlahir dengan mereka dan teperdaya oleh hal-hal ini, tetapi sesungguhnya mereka busuk. Misalkan kita tidak mandi selama seminggu, bisakah kita tahan untuk saling berdekatan? Kita akan benar-benar bau busuk. Ketika orang banyak berkeringat, seperti ketika banyak orang bekerja keras bersama-sama, baunya menyengat. Kita pulang ke rumah dan menggosok tubuh kita dengan sabun dan air dan baunya agak berkurang, aroma sabun menggantikannya. Menggosokkan sabun pada tubuh bisa membuatnya wangi, tapi sebenarnya bau badan yang tidak enak masih ada, hanya tertekan untuk sementara waktu. Ketika bau sabun hilang bau badan balik lagi. Sekarang kita cenderung berpikir bahwa tubuh ini indah, menyenangkan, tahan lama dan kuat. Kita cenderung berpikir bahwa kita tidak akan pernah tua, sakit atau mati. Kita terpesona dan dibodohi oleh tubuh, sehingga kita tidak tahu tentang perlindungan sejati di dalam diri kita. Tempat perlindungan yang sejati adalah pikiran. Pikiran adalah tempat perlindungan kita yang sejati. Aula ini di sini mungkin cukup besar tetapi tidak bisa menjadi tempat perlindungan yang sejati. Merpati berlindung di sini, tokek berlindung di sini, cicak berlindung di sini. Kita mungkin berpikir kalau aula ini milik kita tetapi sebenarnya tidak. Kita tinggal di sini bersama dengan semua yang lain. Ini hanyalah tempat berlindung sementara, segera kita harus meninggalkannya. Orang-orang menggunakan tempat berlindung ini untuk perlindungan.
Jadi, Sang Buddha berkata carilah tempat perlindunganmu. Itu berarti mencari hati anda yang sebenarnya. Hati ini sangat penting. Orang-orang tidak biasanya melihat hal-hal yang penting, mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka melihat hal-hal yang tidak penting. Sebagai contoh, saat mereka membersihkan rumah, mereka mungkin sangat fokus membersihkan rumah, mencuci piring dan sebagainya, tetapi mereka gagal menyadari hati mereka sendiri. Hati mereka mungkin busuk, mereka mungkin merasa marah, mencuci piring dengan ekspresi masam di wajahnya. Mereka gagal untuk melihat bahwa hati mereka sendiri tidak begitu bersih. Inilah yang saya sebut “menggunakan tempat berlindung sementara sebagai perlindungan.” Mereka memperindah rumah tapi mereka tidak berpikir untuk memperindah hati mereka sendiri. Mereka tidak memeriksa penderitaan. Hati adalah hal yang penting. Sang Buddha mengajarkan untuk mencari perlindungan di dalam hati anda sendiri: attā hi attano nātho – “Jadikan dirimu sendiri sebagai pelindung bagi dirimu sendiri.” Siapa lagi yang bisa menjadi pelindung anda? Perlindungan yang sejati adalah hati, tidak ada yang lain. Andabisa mencoba bergantung pada hal-hal lain, tetapi mereka bukanlah sesuatu yang pasti. Anda hanya boleh benar-benar bergantung pada hal-hal lain jika andasudah mempunyai perlindungan di dalam diri anda sendiri. Anda harus punya perlindungan anda sendiri terlebih dahulu sebelum anda bisa bergantung pada hal lain, baik itu seorang guru, keluarga, teman atau kerabat. Jadi kalian semua, baik umat awam maupun para tunawisma yang datang berkunjung hari ini, mohon pertimbangkanlah ajaran ini. Tanyalah pada diri kalian, “Siapa saya? Mengapa saya di sini?” Tanya diri kalian, “Mengapa saya dilahirkan?” Beberapa orang tidak tahu. Mereka ingin bahagia tetapi penderitaan tak kunjung berhenti. Kaya atau miskin, muda atau tua, mereka menderita sama saja. Semuanya penderitaan. Dan mengapa? Karena mereka tidak mempunyai kebijaksanaan. Yang miskin tidak bahagia karena mereka tidak berkecukupan, dan yang kaya tidak bahagia karena mereka memiliki terlalu banyak hal yang harus dijaga. Dulu, sebagai seorang sāmaṇera muda, saya memberikan sebuah ceramah Dhamma. Saya berbicara tentang kebahagiaan dari kekayaan dan harta, mempunyai pelayan dan sebagainya... seratus pelayan pria, seratus pelayan wanita, seratus ekor gajah, seratus ekor sapi, dan seratus ekor kerbau... seratus segalanya! Para umat awam begitu bersemangat mendengarnya. Tapi bisakah kalian bayangkan menjaga seratus ekor kerbau? Atau seratus ekor sapi, seratus pelayan pria dan wanita? Bisakah kalian bayangkan harus menjaga semua itu? Akankah itu menyenangkan? Orang-orang tidak mempertimbangkan sisi ini. Mereka mempunyai nafsu untuk memiliki, memiliki sapi, kerbau, pelayan, memiliki ratusan semua itu. Tetapi saya bilang lima puluh ekor kerbau saja sudah terlalu banyak. Hanya melilit tali untuk semua kerbau itu saja sudah terlalu merepotkan! Tetapi orang tidak mempertimbangkan hal ini, mereka hanya memikirkan tentang kesenangan dari memperoleh. Mereka tidak mempertimbangkan masalah yang terlibat. Jika kita tidak mempunyai kebijaksanaan, semua yang ada di sekeliling kita akan menjadi sumber penderitaan. Jika kita bijaksana, hal-hal ini – mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan pikiran – akan menuntun kita keluar dari penderitaan. Anda tahu, mata belum tentu merupakan hal yang baik. Jika anda sedang dalam suasana hati yang buruk, hanya melihat orang lain saja bisa membuat anda marah dan membuat anda tidak bisa tidur. Atau anda bisa jatuh cinta pada orang lain. Cinta juga merupakan penderitaan, jika anda tidak mendapatkan apa yang anda inginkan. Cinta dan benci keduanya adalah penderitaan, karena keinginan. Keinginan adalah penderitaan, keinginan untuk tidak memiliki adalah penderitaan. Keinginan untuk mendapatkan sesuatu, meskipunanda mendapatkannya itu tetap penderitaan karena andatakut andaakan kehilangan hal itu. Hanya ada penderitaan. Bagaimana anda akan hidup dengan itu? Anda mungkin mempunyai rumah yang besar dan mewah, tetapi jika hati anda tidak baik, itu tidak akan pernah benar-benar berjalan sesuai dengan yang anda harapkan2. Oleh karena itu, kalian semua harus melihat diri kalian sendiri. Kenapa kita dilahirkan? Apakah kita pernah benar-benar mencapai sesuatu dalam hidup ini? Di pedesaan sini orang-orang mulai menanam padi sejak masa kanak-kanak. Ketika mereka menginjak usia 17atau 18 tahun mereka buru-buru menikah, takut mereka tidak akan punya cukup waktu untuk mengumpulkan kekayaan. Mereka mulai bekerja sejak usia dini berpikir mereka akan menjadi kaya dengan cara seperti itu. Mereka menanam padi sampai mereka berumur 70 atau 80 atau bahkan 90 tahun. Saya bertanya kepada mereka “Sejak kalian lahir, kalian sudah bekerja. Sekarang sudah hampir waktunya untuk pergi, apa yang akan kalian bawa bersama kalian?” Mereka tidak tahu harus berkata apa. Yang bisa mereka katakan hanyalah “tidak tahu!” Kami mempunyai sebuah pepatah di daerah sini, “Jangan berlama-lama memetik buah beri di sepanjang jalan, sebelum anda menyadarinya, hari sudah senja” Hanya karena “tidak tahu!” ini mereka tidak berada di sini ataupun di sana, puas hanya dengan sebuah “tidak tahu” duduk di antara cabang-cabang pohon beri, melahap buah beri… “Tidak tahu, tidak tahu…” Ketika anda masih muda anda berpikir kalau melajang tidak begitu menyenangkan, anda merasa sedikit kesepian. Jadi anda mencari pasangan untuk hidup bersama. Tempatkan dua orang bersama dan terjadilah perselisihan! Hidup sendirian terlalu sepi, tetapi hidup bersama orang lain ada perselisihan. Ketika anak-anak masih kecil, orang tua berpikir, “Saat mereka bertambah dewasa keadaan kita akan jadi lebih baik.” Mereka membesarkan anak-anak mereka, tiga, empat atau bahkan lima, berpikir bahwa ketika anak-anak sudah tumbuh dewasa beban mereka akan lebih ringan. Tetapi ketika anak-anak tumbuh dewasa mereka malah semakin berat. Seperti dua batang kayu, satu besar dan satu kecil. Anda membuang yang kecil dan mengambil yang lebih besar, berpikir itu akan lebih ringan, tapi tentu saja tidak. Ketika anak-anak masih kecil, mereka tidak terlalu mengganggu anda, hanya sebuah bola nasi dan sesekali sebuah pisang. Ketika mereka tumbuh dewasa, mereka menginginkan sepeda motor atau mobil! Nah, anda menyayangi anak anda, anda tidak bisa menolak. Jadi anda mencoba untuk memberikan apa yang mereka inginkan. Terkadang orang tua berdebat karena hal ini… “Jangan belikan dia mobil, kita tidak punya cukup uang!” Tapi ketika anda mencintai anak-anak anda, anda harus meminjam uang dari suatu tempat. Mungkin orang tua bahkan harus berkorban untuk mendapatkan barang yang diinginkan anak mereka. Kemudian ada pendidikan. “Ketika mereka telah menyelesaikan pendidikan mereka, keadaan kita akan lebih baik.” Belajar tidak ada akhirnya! Apa yang akan mereka selesaikan? Hanya dalam ilmu pengetahuan ajaran Buddha barulah ada titik penyelesaian, ilmu-ilmu yang lain hanya berputar-putar dalam lingkaran. Pada akhirnya hanya sakit kepala. Jika ada rumah dengan empat atau lima anak di dalamnya, orang tua bertengkar setiap hari. Penderitaan yang menunggu di masa depan kita gagal melihatnya, kita pikir itu tidak akan pernah terjadi. Ketika hal itu terjadi, barulah kita tahu. Penderitaan semacam itu, penderitaan yang melekat dalam tubuh kita, sulit untuk diramalkan. Ketika saya masih kecil dan sedang menggembala kerbau, saya akan mengambil arang dan menggosoknya ke gigi saya untuk membuatnya putih. Saya akan pulang ke rumah dan melihat ke cermin dan melihat gigi saya begitu bagus dan putih. Saya sedang ditipu oleh tulang saya sendiri, itu saja. Ketika saya menginjak usia 50atau 60 tahun gigi saya mulai goyang. Ketika gigi mulai rontok, rasanya sakit sekali. Saat anda makan rasanya seperti anda telah ditendang di mulut. Benar-benar sakit. Saya sudah pernah mengalaminya. Jadi saya meminta dokter gigi untuk mencabut semua gigi saya. Sekarang saya punya gigi palsu. Gigi asli saya begitu menyusahkan saya sehingga saya harus mencabut semuanya, 16 gigi sekaligus. Dokter gigi enggan mencabut 16 gigi sekaligus, tapi saya berkata kepadanya: “Cabut saja semuanya, saya yang akan menanggung akibatnya.” Jadi dia cabut semuanya sekaligus. Ada beberapa yang masih bagus, setidaknya ada 5. Cabut semuanya. Tetapi mencabut 16 gigi sekaligus sangat beresiko. Setelah mencabut semuanya, saya tidak bisa makan apa pun selama dua atau tiga hari. Sebelumnya, sebagai seorang anak kecil yang menggembala kerbau, saya sering berpikir bahwa memoles gigi adalah hal yang bagus untuk dilakukan. Saya menyukai gigi saya, saya mengira mereka adalah hal yang bagus. Namun pada akhirnya mereka harus pergi. Rasa sakit hampir membunuh saya. Saya menderita sakit gigi selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Terkadang kedua gusi saya bengkak bersamaan. Beberapa dari kalian mungkin akan berkesempatan untuk mengalami ini sendiri suatu hari nanti. Jika gigi kalian masih bagus dan kalian menggosoknya setiap hari untuk menjaganya agar tetap bagus dan putih… berhati-hatilah! Gigi kalian mungkin akan mulai mempermainkan kalian nantinya. Sekarang saya hanya memberi tahukan kalian tentang hal-hal ini – penderitaan yang timbul dari dalam, yang timbul di dalam tubuh kita sendiri. Tidak ada apa pun di dalam tubuh yang dapat anda andalkan. Tidak begitu buruk saat anda masih muda, tapi seiring anda bertambah tua hal-hal mulai rusak. Semuanya mulai runtuh. Kondisi berjalan dengan cara alaminya. Apakah kita tertawa atau menangisinya, mereka terus berjalan dengan caranya. Tidak ada bedanya bagaimana kita hidup atau mati, tidak ada bedanya bagi mereka. Dan tidak ada pengetahuan atau sains yang dapat mencegah proses alami dari hal-hal ini. Anda bisa meminta dokter gigi untuk memeriksa gigi anda, tetapi meskipun dia bisa memperbaikinya, mereka pada akhirnya tetap mengikuti jalan alaminya. Pada akhirnya bahkan dokter gigi juga mengalami masalah yang sama. Segala sesuatu hancur pada akhirnya. Ini adalah hal-hal yang harus kita renungkan selagi kita masih punya kekuatan; kita harus berlatih selagi kita masih muda. Jika anda ingin membuat jasa kebajikan maka bergegas dan lakukanlah, jangan hanya menyerahkannya pada yang tua. Kebanyakkan orang hanya menunggu sampai mereka menjadi tua sebelum mereka akan pergi ke vihāra dan mencoba mempraktikkan Dhamma. Wanita dan pria mengatakan hal yang sama, “Tunggu sampai saya tua dulu.” Saya tidak tahu kenapa mereka berkata demikian. Apakah orang tua punya banyak kekuatan? Biarkan mereka coba balapan dengan anak muda dan lihatlah perbedaannya. Mengapa mereka menunda sampai mereka menjadi tua? Seperti mereka tidak akan pernah mati saja. Saat mereka berusia 50 atau 60 tahun atau lebih, “Nenek! Ayo pergi ke vihāra!” “Kamu pergilah duluan, pendengaran nenek sudah tidak begitu baik lagi.” Kalian mengerti apa yang saya maksud? Ketika pendengarannya masih baik, apa yang dia dengarkan? “Tidak tahu!” dia hanya bermalas-malasan dengan buah beri. Akhirnya ketika pendengaranya sudah hilang dia pergi ke vihāra. Tidak ada harapan. Dia mendengarkan ceramah tetapi dia tidak tahu apa yang mereka katakan. Orang-orang menunggu sampai mereka menjadi tua sebelum mereka akan berpikir untuk mempraktikkan Dhamma. Ceramah hari ini mungkin berguna bagi kalian yang dapat memahaminya. Ini adalah hal-hal yang harus mulai kalian amati, mereka adalah warisan kita. Mereka secara bertahapakan menjadi semakin berat dan semakin berat, beban yang harus kita tanggung masing-masing. Dulu kaki saya kuat, saya bisa berlari. Sekarang hanya berjalan di sekitar saja sudah terasa berat. Sebelumnya, kaki saya yang membawa saya. Sekarang, saya yang harus membawanya. Ketika saya masih kecil, saya melihat orang tua bangun dari kursi mereka. “Oh!” Berdiri mereka merintih, “Oh!” Selalu ada “Oh!” ini tetapi mereka tidak tahu apa yang membuat mereka merintih seperti itu. Bahkan ketika sudah sampai sejauh ini, orang tidak dapat melihat kutukan tubuh. Kalian tidak akan pernah tahu kapan kalian akan berpisah darinya. Apa yang menyebabkan semua rasa sakit itu hanyalah kondisi yang berjalan sesuai dengan jalan alaminya. Orang-orang menyebutnya radang sendi, reumatik, encok dan sebagainya, dokter meresepkan obat-obatan, tapi itu tidak pernah sembuh total. Pada akhirnya semuanya hancur, bahkan dokternya juga! Ini adalah kondisi yang berjalan sesuai dengan jalan alaminya. Ini adalah jalannya, sifatnya. Sekarang perhatikan ini. Jika anda melihatnya terlebih dahulu anda akan lebih baik, seperti melihat seekor ular berbisa yang ada di depan jalan anda. Jika anda melihatnya di sana anda bisa menghindarinya dan tidak digigit. Jika anda tidak melihatnya anda mungkin terus berjalan dan menginjaknya. Kemudian ia menggigit. Jika penderitaan timbul, orang-orang tidak tahu harus berbuat apa. Pergi ke mana untuk mengobatinya? Mereka ingin menghindari penderitaan, mereka ingin terbebas darinya tetapi mereka tidak tahu bagaimana cara mengobatinya ketika penderitaan itu timbul. Dan mereka terus hidup seperti ini sampai mereka tua, dan sakit, dan mati. Pada zaman dahulu kala dikatakan bahwa jika seseorang sedang sekarat, salah satu keluarga terdekat harus membisikkan “Bud-dho, Bud-dho” di telinga orang itu. Apa yang akan mereka lakukan dengan Buddho? Apa gunanya Buddho bagi mereka ketika mereka sudah hampir berada di atas tumpukan kayu pembakaran mayat? Mengapa tidak mereka pelajari Buddho saat mereka masih muda dan sehat? Sekarang, dengan napasnya yang megap-megap anda berdiri dan berkata. “Ibu… Buddho, Buddho!” Mengapa membuang-buang waktu anda? Anda hanya akan membingungkannya, biarkan dia pergi dengan tenang.
Orang-orang tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalah di dalam hati mereka sendiri, mereka tidak mempunyai perlindungan. Mereka mudah marah dan mempunyai banyak nafsu keinginan. Mengapa demikian? Karena mereka tidak memiliki perlindungan. Ketika orang baru menikah, mereka dapat hidup bersama dengan baik, tetapi setelah berusia 50 atau lebih mereka tidak bisa saling mengerti. Apa pun yang dikatakan oleh istri tidak dapat diterima oleh suami. Apa pun yang dikatakan oleh suami, istri tidak akan mendengarkan. Mereka saling membalikkan punggung mereka. Sekarang saya hanya berbicara demikian karena saya tidak pernah berumah tangga. Kenapa saya tidak berumah tangga? Hanya dengan melihat kata “household (rumah tangga)”3 ini, saya tahu tentang apa semua itu. Apa itu “household”? Ini adalah “hold (tahan)”: Jika seseorang mengambil tali dan mengikat kita saat kita sedang duduk di sini, bagaimana rasanya? Itulah yang disebut “being held (sedang ditahan)”. Seperti apa pun itu, begitulah “sedang ditahan”. Ada sebuah lingkaran kurungan. Pria hidup di dalam lingkaran kurungannya, dan wanita hidup di dalam lingkaran kurungannya. Ketika saya membaca kata “household” ini, ini adalah suatu hal yang berat. Kata ini bukanlah hal yang sepele, ini benar-benar mematikan. Kata “hold” adalah simbol penderitaan. Anda tidak bisa pergi ke mana-mana, anda harus tetap berada di dalam lingkaran kurungan anda. Sekarang kita sampai pada kata “house (rumah).” Ini berarti “sesuatu yang merepotkan.” Pernahkah anda memanggang cabai? Seisi rumah sesak napas dan bersin-bersin. Kata “household” ini menyiratkan kebingungan, tidak sepadan dengan masalahnya. Karena kata ini saya bisa menjadi bhikkhu dan tidak melepas jubah. “Household” itu menakutkan. Anda terjebak dan tidak bisa pergi ke mana pun. Masalah dengan anak-anak, dengan uang, dan semua yang lainnya. Tetapi ke mana anda bisa pergi? Anda terikat. Ada putra dan putri, argumen yang berlimpah sampai hari kematian anda, dan tidak ada tempat lain untuk dituju tidak peduli seberapa banyak penderitaannya. Air mata mengalir dan terus mengalir. Air mata tidak akan pernah bisa selesai dengan “household” ini, anda tahu. Jika tidak ada household, anda mungkin bisa mengakhiri air mata tapi tidak sebaliknya.
Pertimbangkanlah hal ini. Jika anda masih belum mengalaminya, anda mungkin akan mengalaminya di kemudian hari. Beberapa orang sudah mengalaminya sampai batas tertentu. Beberapa sudah mencapai batas, “Apakah saya akan tinggal ataukah saya akan pergi?” Di Wat Pah Pong ada sekitar 70-80 kuṭi.Ketika kuṭi-kuṭi itu hampir penuh saya memberi tahukan bhikkhu pengurus untuk menjaga beberapa agar tetap kosong, berjaga-jaga jika seseorang bertengkar dengan pasangannya. Benar saja, tak lama kemudian seorang wanita datang dengan tasnya. “Saya muak dengan dunia ini, Luang Por.” “Wah! Jangan berkata begitu. Kata-kata itu sangat berat.” Kemudian sang suami datang dan mengatakan bahwa dia juga muak. Setelah dua atau tiga hari di vihāra, kelelahan duniawi mereka hilang.
Mereka bilang mereka muak tetapi mereka hanya membodohi diri mereka sendiri. Ketika mereka pergi ke kuṭi dan duduk tenang sendirian, setelah beberapa saat muncul pikiran: “Kapan istri akan datang dan memintaku untuk pulang ke rumah?” Mereka tidak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi. Apa “kelelahan duniawi” mereka ini? Mereka kesal karena sesuatu dan berlari datang ke vihāra. Di rumah semuanya tampak salah; suami salah, istri salah, tapi setelah tiga hari berpikir dengan tenang, “Hmm, ternyata istri yang benar, sayalah yang salah.” “Suami yang benar, saya tidak seharusnya terlalu kesal.” Mereka bertukar posisi. Beginilah adanya, itulah sebabnya saya tidak menganggap dunia terlalu serius. Saya sudah tahu seluk-beluknya, karena itulah saya memilih untuk hidup sebagai seorangbhikkhu.
Saya ingin mempersembahkan ceramah hari ini kepada kalian semua sebagai pekerjaan rumah. Apakah anda bekerja di ladang atau bekerja di kota, ambillah kata-kata ini dan renungkan: “Mengapa saya dilahirkan? Apa yang bisa saya bawa bersama saya?” Tanyalah pada diri anda berulang-ulang. Jika anda sering bertanya pada diri anda pertanyaan-pertanyaan ini, anda akan menjadi bijaksana. Jika anda tidak merenungkan hal-hal ini, anda akan tetap bodoh. Mendengarkan ceramah hari ini, anda mungkin akan mendapatkan pemahaman, jika tidak sekarang, maka mungkin saat anda sampai di rumah. Mungkin malam ini. Ketika andamendengarkan ceramah semuanya menjadi tenang, tetapi mungkin ada hal-hal yang sedang menunggu anda di dalam mobil. Saat anda masuk ke dalam mobil, hal tersebut mungkin ikut masuk bersama anda. Ketika anda sampai di rumah, semuanya mungkin menjadi jelas. “Oh, itulah yang dimaksud Luang Por. Saya tidak bisa memahaminya sebelumnya.”
Saya rasa sudah cukup untuk hari ini. Jika saya berbicara terlalu lama, tubuh tua ini menjadi lelah.

Diterjemahkan oleh: Jayananda Gotama 1 Tape rekorder
2. catatan penerjemah: ungkapan ini berarti bahwa segala sesuatu sering kali tidak berjalan seperti yang kita harapkan atau rencanakan. Bahkan jika anda memiliki rumah mewah atau harta benda lainnya, anda mungkin masih merasa tidak bahagia. Faktor eksternal saja tidak menjamin kebahagiaan ataupun kepuasan. Mengembangkan kebijaksanaan adalah hal yang sangat penting.
3. Ada permainan kata dalam bahasa Thai di sini berdasarkan kata untuk household – krorp krua – yang secara harfiah berarti “rangka dapur” atau “lingkaran pemanggangan”. Dalam terjemahan bahasa Inggris kami memilih kata bahasa Inggris yang sesuai daripada mencoba menerjemahkan secara harfiah dari bahasa Thai.
Comments