top of page

Hidup di Dunia Dengan Dhamma - bab VI | Living Dhamma

Updated: Apr 1, 2023


Ceramah santai yang diberikan setelah undangan untuk menerima pesembahan dana makan di rumah seorang umat awam di Ubon, ibu kota kabupaten, dekat dengan Wat Pah Pong.


Kebanyakan orang masih tidak tahu inti dari latihan meditasi. Mereka pikir bahwa meditasi jalan, meditasi duduk dan mendengarkan ceramah Dhamma adalah latihannya. Itu benar juga, tapi itu hanyalah bentuk luar dari latihan. Latihan yang sesungguhnya terjadi ketika pikiran bertemu dengan objek indra. Di sanalah tempat untuk berlatih, di mana kontak indra terjadi. Ketika orang mengatakan hal-hal yang tidak kita sukai, ada kebencian, jika mereka mengatakan hal-hal yang kita sukai, kita mengalami kesenangan. Nah, inilah tempat untuk berlatih. Bagaimana kita akan berlatih dengan hal-hal ini? Ini adalah poin pentingnya. Jika kita hanya berlari mengejar kebahagiaan dan menghindar dari penderitaan sepanjang waktu, kita bisa berlatih sampai kita mati dan tidak akan pernah melihat Dhamma. Latihannya akan sia-sia. Ketika kesenangan dan penderitaan timbul, bagaimana kita akan menggunakan Dhamma untuk terbebas dari mereka? Ini adalah inti latihannya. Biasanya ketika orang bertemu sesuatu yang tidak menyenangkan, mereka tidak terbuka terhadap hal itu. Misalnya ketika orang dikritik: “Jangan ganggu aku! Kenapa menyalahkan aku?” Ini adalah seseorang yang menutup dirinya sendiri. Tepat di sana adalah tempat untuk berlatih. Ketika orang mengkritik kita, kita harus mendengarkan. Apakah mereka mengatakan yang sebenarnya? Kita harus terbuka dan mempertimbangkan apa yang mereka katakan. Mungkin apa yang mereka katakan ada benarnya, mungkin ada sesuatu yang patut disalahkan di dalam diri kita. Mereka mungkin benar, tetapi kita langsung tersinggung. Jika orang menunjukkan kesalahan kita, kita harus berusaha untuk menyingkirkan kesalahan-kesalahan tersebut dan memperbaiki diri kita sendiri. Beginilah cara orang cerdas berlatih. Tempat di mana ada kebingungan adalah tempat di mana ketenangan bisa timbul. Ketika kebingungan ditembus dengan pemahaman, yang tersisa


adalah ketenangan. Beberapa orang tidak bisa menerima kritikan, mereka arogan. Mereka malah berbalik dan berdebat. Ini terutama terjadi ketika orang dewasa berurusan dengan anak-anak. Sebenarnya, anak-anak bisa mengatakan sesuatu yang cerdas tapi jika anda kebetulan adalah ibu mereka, misalnya, anda tidak bisa mengalah kepada mereka. Jika anda adalah seorang guru, murid anda terkadang bisa memberi tahu anda sesuatu yang tidak anda ketahui, tetapi karena anda adalah seorang guru, anda tidak bisa mendengarkannya. Ini bukanlah pemikiran yang benar. Pada zaman Sang Buddha, ada seorang murid yang sangat cerdik. Pada suatu waktu, saat Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma, Beliau berpaling ke bhikkhu ini dan bertanya, “Sāriputta, apakah anda mempercayai ini?” Yang Mulia Sāriputta menjawab, “Tidak, saya belum mempercayainya.” Sang Buddha memuji jawabannya. “Itu bagus sekali, Sāriputta, anda adalah seseorang yang diberkahi dengan kebijaksanaan. Orang yang bijak tidak langsung percaya, dia mendengarkan dengan pikiran terbuka kemudian menimbang kebenaran dari hal tersebut sebelum mempercayai atau tidak mempercayai.” Nah, Sang Buddha di sini telah memberikan contoh yang baik bagi seorang guru. Apa yang dikatakan Y.M. Sāriputta adalah benar, Beliau hanya mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Beberapa orang akan berpikir kalau mengatakan anda tidak mempercayai ajaran itu sama saja dengan mempertanyakan kewibawaan guru, mereka akan takut untuk mengatakan hal tersebut. Mereka akan langsung menyetujuinya saja. Beginilah cara duniawi berjalan. Tetapi Sang Buddha tidak tersinggung. Beliau berkata bahwa anda tidak perlu malu dengan hal-hal yang tidak salah ataupun buruk. Tidaklah salah mengatakan bahwa anda tidak percaya jika anda tidak percaya. Itulah sebabnya Yang Mulia Sāriputta berkata, “Saya belum mempercayainya.” Sang Buddha memujinya. “Bhikkhu ini mempunyai banyak kebijaksanaan. Dia mempertimbangkan dengan hati-hati sebelum mempercayai apa pun.” Tindakan Sang Buddha di sini adalah contoh yang baik untuk seseorang yang menjadi guru bagi orang lain. Kadang-kadang anda bisa belajar sesuatu bahkan dari anak kecil; jangan melekat secara membuta pada posisi yang memiliki kekuasaan. Apakah anda sedang berdiri, duduk, atau berjalan-jalan di berbagai tempat, anda selalu bisa mempelajari hal-hal di sekitar anda. Kita belajar dengan cara yang alami, menerima segala hal, baik itu penglihatan, suara, bau, rasa, perasaan maupun pemikiran. Orang bijak mempertimbangkan mereka semua. Dalam latihan yang sesungguhnya, kita sampai pada titik di mana tidak ada lagi kekhawatiran yang membebani pikiran. Jika kita masih tidak mengetahui rasa suka dan tidak suka saat mereka timbul, masih ada kekhawatiran di dalam pikiran kita. Jika kita mengetahui kebenaran hal-hal ini, kita akan merenungkan, “Oh, tidak ada apa-apanya pada perasaan suka ini. Itu hanyalah perasaan yang timbul dan berlalu. Perasaan tidak suka juga tidak lebih, hanya perasaan yang timbul dan belalu. Mengapa harus menanggapi hal itu?” Jika kita berpikir bahwa kesenangan dan kesakitan adalah milik pribadi, maka kita berada dalam masalah, kita tidak akan pernah melewati titik dari memiliki kekhawatiran atau lainnya dalam rantai tanpa akhir. Beginilah keadaannya bagi kebanyakan orang. Namun akhir-akhir ini para guru tidak sering berbicara tentang pikiran ketika mengajarkan Dhamma, mereka tidak berbicara tentang kebenaran. Jika anda berbicara tentang kebenaran, orang-orang akan mengambil pengecualian. Mereka mengatakan hal-hal seperti, “Dia tidak tahu waktu dan tempat, dia tidak tahu bagaimana berbicara dengan menyenangkan.” Tetapi orang-orang harus mendengarkan kebenaran. Seorang guru sejati tidak hanya berbicara dari ingatan, dia berbicara kebenaran. Orang-orang dalam masyarakat biasanya berbicara dari ingatan, guru berbicara kebenaran. Orang-orang dalam masyarakat biasanya berbicara dari ingatan, dan terlebih lagi mereka biasanya berbicara sedemikian rupa untuk meninggikan diri mereka sendiri. Bhikkhu sejati tidak berbicara seperti itu, dia berbicara kebenaran, sebagaimana hal-hal adanya. Tidak peduli seberapa banyak guru menjelaskan kebenaran, sulit bagi orang untuk memahaminya. Sulit untuk memahami Dhamma. Jika anda memahami Dhamma anda harus berlatih dengan sesuai. Mungkin tidak perlu untuk menjadi seorang bhikkhu, walaupun kehidupan bhikkhu adalah bentuk yang ideal untuk berlatih. Untuk benar-benar berlatih, anda harus meninggalkan kebingungan dunia, meninggalkan keluarga dan harta, dan pergi ke hutan. Ini adalah tempat yang ideal untuk berlatih. Tetapi jika kita masih mempunyai keluarga dan tanggung jawab, bagaimana kita bisa berlatih? Beberapa orang mengatakan mustahil untuk mempraktikkan Dhamma sebagai umat awam. Pertimbangkan, kelompok mana yang lebih besar, bhikkhu atau umat awam? Ada jauh lebih banyak umat awam. Sekarang, jika hanya para bhikkhu yang berlatih dan umat awam tidak, maka itu berarti akan ada banyak kebingungan. Ini adalah pemahaman yang salah. “Aku tidak bisa menjadi bhikkhu.” Menjadi bhikkhu bukanlah intinya! Menjadi bhikkhu tidak berarti apa-apa jika anda tidak berlatih. Jika anda benar-benar memahami praktik Dhamma maka tidak peduli posisi atau profesi apa yang anda pegang dalam hidup, baik itu sebagai guru, dokter, pegawai negeri atau apa pun, anda bisa mempraktikkan Dhamma setiap menit sepanjang hari. Berpikir kalau anda tidak bisa berlatih karena anda seorang umat awam berarti kehilangan jejak jalan sepenuhnya. Kenapa orang-orang bisa menemukan dorongan untuk melakukan hal-hal lain? Jika mereka merasa kekurangan sesuatu, mereka berusaha untuk mendapatkannya. Jika ada kemauan yang cukup, orang bisa melakukan apa saja. Ada yang bilang, “aku tidak punya waktu untuk mempraktikkan Dhamma.” Saya berkata, “Lalu bagaimana bisa anda punya waktu untuk bernapas?” Bernapas sangat penting bagi kehidupan manusia. Jika mereka melihat praktik Dhamma sebagai hal yang sangat penting bagi kehidupan mereka, mereka akan melihatnya sama pentingnya dengan pernapasan mereka. Praktik Dhamma bukanlah sesuatu yang mengharuskan anda untuk berlari ke sana kemari atau melelahkan diri sendiri. Cukup lihat perasaan yang timbul di dalam pikiran anda. Ketika mata melihat bentuk, telinga mendengar suara, hidung mencium bau dan seterusnya, mereka semua datang ke satu pikiran ini, “yang mengetahui.” Sekarang, saat pikiran menanggapi hal-hal ini, apa yang terjadi? Jika kita menyukai objek itu, kita mengalami kesenangan, jika kita tidak menyukainya, kita mengalami ketidaksenangan. Hanya itu saja yang terjadi.


Jadi di mana anda akan menemukan kebahagiaan di dunia ini? Apakah anda mengharapkan semua orang hanya mengatakan hal-hal yang menyenangkan kepada anda sepanjang hidup anda? Apa itu mungkin? Tidak, itu tidak mungkin. Jika itu tidak mungkin, lalu ke mana anda akan pergi? Dunia memang seperti ini, kita harus mengetahui dunia – lokavidū – mengetahui kebenaran dunia ini. Dunia adalah sesuatu yang harus kita pahami dengan jelas. Sang Buddha hidup di dunia ini, Beliau tidak hidup di tempat lain. Beliau merasakan kehidupan berkeluarga, tetapi Beliau melihat keterbatasannya dan melepaskan dirinya dari mereka. Sekarang, bagaimana kalian sebagai umat awam akan berlatih? Jika kalian ingin berlatih, kalian harus berusaha untuk mengikuti jalan. Jika anda tekun berlatih, anda juga akan melihat keterbatasan dunia ini dan mampu melepaskan. Orang yang minum alkohol terkadang mengatakan, “aku tidak bisa berhenti.” Kenapa mereka tidak bisa berhenti? Karena mereka belum melihat kerugian di dalamnya. Jika mereka dengan jelas melihat kerugian di dalamnya, mereka tidak perlu menunggu untuk disuruh berhenti. Jika anda tidak melihat kerugian dari suatu hal, itu berarti anda juga tidak bisa melihat manfaat dari meninggalkan hal tersebut. Latihan anda jadi sia-sia, anda hanya bermain saat latihan. Jika anda dengan jelas melihat kerugian dan manfaat dari sesuatu, anda tidak perlu menunggu orang lain untuk memberi tahu anda tentang hal itu. Pertimbangkan kisah seorang nelayan yang menemukan sesuatu di dalam perangkap ikannya. Dia tahu ada sesuatu di dalam sana, dia bisa mendengarnya menggelepar-gelepar di dalam. Mengira itu adalah ikan, dia mengulurkan tangannya ke dalam perangkap, hanya untuk menemukan jenis hewan yang berbeda. Dia belum bisa melihatnya, jadi dia bimbang. Di satu sisi bisa jadi itu adalah seekor belut1, tapi jika dipikir lagi bisa jadi itu adalah seekor ular. Jika dia melepaskannya, dia mungkin akan menyesalinya, bisa jadi itu adalah belut. Di sisi lain, jika dia terus memegangnya dan ternyata itu adalah seekor ular, ular itu bisa menggigitnya. Dia terjebak dalam keraguan. Keinginannya begitu kuat dia terus memegangnya, seandainya itu adalah seekor belut, tetapi begitu dia mengangkat tangannya dan melihat kulit yang bergaris-garis dia langsung mencampakkannya. Dia tidak perlu menunggu seseorang berteriak, “itu ular, itu ular, lepaskan!” Penampakan seekor ular


memberi tahunya apa yang harus dilakukan jauh lebih jelas daripada kata-kata. Kenapa? Karena dia melihat bahaya – ular bisa menggigit! Siapa yang perlu memberi tahunya lagi? Dengan cara yang sama, jika kita berlatih sampai kita melihat hal-hal sebagaimana adanya, kita tidak akan ikut campur dengan hal-hal yang berbahaya. Orang-orang biasanya tidak berlatih dengan cara ini, mereka biasanya melakukan hal-hal lain. Mereka tidak merenungkan hal-hal, mereka tidak merenungkan usia tua, sakit dan kematian. Mereka hanya berbicara mengenai yang bukan penuaan dan bukan kematian, jadi mereka tidak pernah mengembangkan perasaan yang tepat terhadap praktik Dhamma. Mereka pergi dan mendengarkan ceramah Dhamma tetapi mereka tidak benar-benar mendengarkan. Terkadang saya diundang untuk memberikan ceramah di acara-acara penting, tetapi itu sangat merepotkan bagi saya untuk pergi. Kenapa? Karena ketika saya melihat orang-orang yang berkumpul di sana, saya bisa melihat bahwa mereka datang bukan untuk mendengarkan Dhamma. Ada yang bau alkohol, ada yang merokok, ada yang mengobrol; mereka sama sekali tidak terlihat seperti orang yang datang karena keyakinan pada Dhamma. Memberikan ceramah di tempat semacam itu tidak membuahkan banyak manfaat. Orang-orang yang tenggelam dalam kelalaian cenderung memikirkan hal-hal seperti, “Kapan dia akan berhenti berbicara? Tidak boleh melakukan ini, tidak boleh melakukan itu…” Pikiran mereka hanya berkeliaran ke mana-mana. Kadang-kadang mereka bahkan mengundang saya untuk memberikan ceramah hanya demi formalitas: “Mohon berikan kami ceramah Dhamma yang singkat saja, Yang Mulia Tuan.” Mereka tidak ingin saya berbicara terlalu banyak, itu akan menjengkelkan mereka! Begitu saya mendengar orang mengatakan hal ini, saya tahu apa maksud mereka. Orang-orang ini tidak suka mendengarkan Dhamma. Itu menjengkelkan mereka. Jika saya hanya memberikan sedikit ceramah, mereka tidak akan mengerti. Jika anda hanya mengambil sedikit makanan, apakah itu cukup? Tentu saja tidak. Kadang-kadang saya sedang memberikan ceramah, baru saja melakukan persiapan untuk ke topik pembicaraan, dan seorang pemabuk akan berteriak, “Oke, beri jalan, beri jalan untuk Yang Mulia Tuan, dia akan keluar sekarang!” – mencoba mengusir saya pergi! Jika saya bertemu dengan orang semacam ini, saya mendapat banyak sekali bahan untuk perenungan, saya mendapat wawasan ke dalam watak manusia. Seperti seseorang yang memiliki botol yang penuh dengan air kemudian meminta lebih. Tidak ada tempat untuk menampungnya. Tidak ada gunanya menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengajari mereka, karena pikiran mereka sudah penuh. Tuang lagi dan airnya meluap sia-sia. Jika botol mereka kosong, akan ada tempat untuk menampung air, dan pemberi dan penerima keduanya akan mendapat manfaat. Dengan demikian, ketika orang benar-benar tertarik pada Dhamma dan duduk dengan tenang, mendengarkan dengan saksama, saya merasa lebih terinspirasi untuk mengajar. Jika orang-orang tidak memperhatikan, itu seperti orang yang membawa botol penuh dengan air, tidak ada ruang untuk menampung lagi. Hampir tidak ada gunanya saya berbicara kepada mereka. Dalam situasi seperti ini saya tidak menemukan energi yang muncul untuk mengajar. Anda tidak bisa mencurahkan banyak tenaga dalam memberi ketika tidak ada yang mencurahkan banyak tenaga dalam menerima. Akhir-akhir ini, memberikan ceramah cenderung seperti ini, dan ini semakin memburuk dari waktu ke waktu. Orang-orang tidak mencari kebenaran, mereka belajar hanya untuk mencari pengetahuan yang diperlukan untuk mencari nafkah, membesarkan keluarga dan menjaga diri mereka sendiri. Mereka belajar untuk mencari nafkah. Mungkin ada beberapa studi Dhamma, tetapi tidak banyak. Murid zaman sekarang mempunyai lebih banyak pengetahuan dibandingkan murid zaman dahulu. Mereka mempunyai semua kebutuhan yang mereka perlukan, segala sesuatu lebih gampang. Tetapi mereka juga mempunyai lebih banyak kebingungan dan penderitaan daripada sebelumnya. Mengapa demikian? Karena mereka hanya mencari jenis pengetahuan yang bisa digunakan untuk mencari nafkah. Bahkan para bhikkhu juga seperti ini. Kadang saya mendengar mereka berkata, “Aku bukan menjadi bhikkhu untuk mempraktikkan Dhamma, aku hanya menjadi bhikkhu untuk belajar.” Ini adalah kata-kata dari seseorang yang telah sepenuhnya memutuskan jalan latihan. Tidak ada lagi jalan di depan, itu jalan buntu. Ketika bhikkhu-bhikkhu ini mengajar, itu hanya dari ingatan. Mereka mungkin mengajarkan satu hal tetapi pikiran mereka berada di tempat yang sama sekali berbeda. Tidak ada kebenaran dalam ajaran-ajaran seperti itu. Beginilah dunia ini. Jika anda mencoba untuk hidup sederhana, mempraktikkan Dhamma dan hidup dengan damai, mereka bilang anda aneh dan antisosial. Mereka bilang anda menghambat kemajuan masyarakat. Mereka bahkan mengintimidasi anda. Pada akhirnya anda bahkan mungkin mulai mempercayai mereka dan kembali ke jalan duniawi, tenggelam lebih dalam dan lebih dalam ke dalam dunia hingga akhirnya mustahil untuk keluar. Beberapa orang mengatakan, “aku tidak bisa keluar lagi sekarang, aku sudah masuk terlalu dalam.” Beginilah masyarakat biasanya. Masyarakat tidak menghargai nilai Dhamma. Nilai dari Dhamma tidak bisa ditemukan di dalam buku. Itu hanyalah penampilan luar Dhamma, itu bukanlah kesadaran terhadap Dhamma sebagai pengalaman pribadi. Jika anda menyadari Dhamma, anda menyadari pikiran anda sendiri, anda melihat kebenaran di sana. Ketika kebenaran menjadi jelas, ia memutuskan aliran kekelirutahuan. Ajaran Sang Buddha adalah kebenaran yang tidak berubah, baik di masa sekarang maupun di masa yang lain. Sang Buddha mengungkapkan kebenaran ini 2,500 tahun yang lalu dan terus menjadi kebenaran sejak saat itu. Ajaran ini tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Sang Buddha bersabda, “Apa yang telah ditetapkan oleh Tathāgata tidak boleh dibuang, apa yang tidak ditetapkan oleh Tathāgata tidak boleh ditambahkan ke dalam ajaran-ajaran.” Beliau “menyegel” ajaran-ajaran tersebut. Kenapa Sang Buddha menyegelnya? Karena ajaran-ajaran ini adalah kata-kata dari seseorang yang tidak memiliki kekotoran batin. Tidak peduli bagaimana dunia berubah, ajaran-ajaran ini tidak terpengaruh, ajaran-ajaran ini tidak berubah dengan dunia. Jika sesuatu itu salah, meskipun orang-orang mengatakan itu benar, itu tidak membuatnya menjadi kurang salah. Jika sesuatu itu benar, itu tidak akan berubah hanya karena orang-orang mengatakan itu tidak benar. Generasi demi generasi bisa datang dan pergi, tetapi hal-hal ini tidak berubah, karena ajaran-ajaran ini adalah kebenaran.


Sekarang, siapakah yang menciptakan kebenaran ini? Kebenaran sendirilah yang menciptakan kebenaran! Apakah Sang Buddha yang menciptakannya? Tidak, Beliau tidak menciptakannya. Sang Buddha hanya menemukan kebenaran, bagaimana hal-hal adanya, kemudian Beliau berangkat untuk menyatakannya. Kebenaran selalu benar, apakah seorang Buddha muncul di dunia atau tidak. Sang Buddha hanya “memiliki” Dhamma dalam pengertian ini, Beliau tidak benar-benar menciptakannya. Dhamma sudah ada di sini sepanjang waktu. Namun, sebelumnya tidak ada seorang pun yang mencari dan menemukan nibbāna kemudian mengajarkannya sebagai Dhamma. Sang Buddha tidak menciptakannya, Dhamma sudah ada di sana. Pada suatu waktu dalam suatu masa, kebenaran diterangi dan praktik Dhamma berkembang. Seiring berjalannya waktu dan generasi demi generasi berlalu, latihan mengalami kemunduran hingga akhirnya ajaran memudar sepenuhnya. Setelah beberapa waktu, ajaran ditemukan kembali dan berkembang sekali lagi. Seiring berjalannya waktu, para pengikut Dhamma berlipat ganda, kemakmuran terjadi, dan sekali lagi ajaran mulai mengikuti kegelapan dunia. Dan sekali lagi, ajaran mengalami kemunduran hingga pada suatu waktu ajaran tidak bisa lagi bertahan. Kebingungan berkuasa sekali lagi. Kemudian saatnya untuk menegakkan kebenaran lagi. Sesungguhnya, kebenaran tidak pergi ke mana-mana. Ketika para Buddha parinibbāna, Dhamma tidak hilang bersama mereka. Dunia berputar seperti ini. Seperti pohon mangga. Pohon itu tumbuh dewasa, berbunga, dan buah-buah muncul dan tumbuh sampai matang. Buah-buah itu menjadi busuk dan bijinya kembali ke dalam tanah untuk menjadi pohon mangga yang baru. Siklus ini dimulai sekali lagi. Akhirnya ada lebih banyak buah matang yang kemudian jatuh, membusuk, tenggelam ke dalam tanah sebagai benih-benih dan tumbuh sekali lagi menjadi pohon. Beginilah jalannya dunia. Dunia tidak jauh berubah, hanya berputar-putar di sekitar hal-hal lama yang sama2. Kehidupan kita sekarang ini juga sama. Hari ini kita hanya melakukan hal-hal lama yang sama seperti yang selalu kita lakukan. Orang-orang terlalu


banyak berpikir. Ada begitu banyak hal yang digemari, tetapi tidak satu pun dari hal itu yang membawa ke penyelesaian. Ada ilmu pengetahuan seperti matematika, fisika, psikologi, dan sebagainya. Anda bisa mendalami setiap pelajaran itu, tetapi anda hanya bisa menyelesaikan hal-hal dengan kebenaran.


Misalkan ada sebuah gerobak yang di tarik oleh seekor lembu. Rodanya tidak panjang, tetapi jejaknya panjang. Selama lembu itu menarik gerobak, jejaknya akan mengikuti. Rodanya bulat namun jejaknya panjang; jejaknya panjang tetapi rodanya hanya berbentuk lingkaran. Hanya dengan melihat gerobak yang tidak bergerak, anda tidak bisa melihat apa pun yang panjang mengenainya, tetapi begitu lembu itu mulai bergerak, anda melihat jejak yang terbentang di belakang anda. Selama lembu itu menarik, roda terus berputar, tetapi akan tiba saatnya ketika lembu merasa lelah dan melepaskan tali kekangnya. Lembu itu berjalan pergi dan meninggalkan gerobak kosong terbengkalai di sana. Roda tidak lagi berputar. Pada waktunya, gerobak itu akan rusak, komponen-komponennya kembali menjadi empat unsur – tanah, air, angin, dan api.


Mencari ketenangan di dalam dunia, jejak roda gerobak terbentang tak berujung di belakang anda. Selama anda mengikuti dunia, tidak ada penghentian, tidak ada istirahat. Jika anda berhenti mengikutinya saja, gerobak akan berhenti, roda tidak lagi berputar. Mengikuti dunia akan memutar roda tanpa henti. Menciptakan kamma buruk itu seperti ini. Selama anda mengikuti kebiasaan-kebiasaan lama3, tidak ada penghentian. Jika anda berhenti, ada penghentian. Beginilah cara kita mempraktikkan Dhamma.

Diterjemahkan oleh: Jayananda Gotama 1. Dianggap sebagai hidangan yang lezat di beberapa bagian negara Thailand.


2. catatan penerjemah: Ajahn menyatakan bahwa meskipun waktu terus berjalan dan bangkit jatuhnya peradaban manusia, sifat dasar dari keberadaan manusia tetap sama, terperangkap dalam siklus penderitaan (samsāra), terus berputar di sekitar keinginan dan kekhawatiran dasar yang sama.


3. catatan penerjemah: mengikuti kebiasaan lama berarti terus melakukan perbuatan-perbuatan tidak bajik yang menyebabkan penderitaan, daripada berusaha untuk mengubah kebiasaan dan mempraktikkan Dhamma, yang melibatkan pengembangan kebijaksanaan dan memurnikan pikiran.

bottom of page