top of page

Jalan Tengah di Dalam Batin - bab IV | A Taste of Freedom

Updated: Jul 6, 2022


Diberikan dalam dialek Timur Laut kepada pertemuan para Bhikkhu dan umat awam pada tahun 1970.



Ajaran agama Buddha adalah tentang meninggalkan kejahatan dan mempraktikkan kebaikan. Kemudian, ketika kejahatan ditinggalkan dan kebaikan ditegakkan, kita harus melepaskan kebaikan dan kejahatan. Kita sudah cukup mendengar tentang kondisi-kondisi kebajikan dan tidak bajik untuk memahami sesuatu tentangnya, jadi saya ingin berbicara tentang Jalan Tengah, yaitu, jalan untuk melampaui kedua hal itu. Semua ceramah Dhamma dan ajaran Sang Buddha mempunyai satu tujuan – untuk menunjukkan jalan keluar dari penderitaan kepada mereka yang masih belum lolos. Ajaran-ajaran itu bertujuan untuk memberikan kita pemahaman yang benar. Jika kita tidak memahami dengan benar, maka kita tidak bisa sampai pada ketenangan. Ketika semua Buddha menjadi tercerahkan dan memberikan ajaran pertama mereka, mereka menunjukkan dua ekstrem ini – pemanjaan dalam kesenangan (Kāmasukhalikānuyogo) dan pemanjaan dalam rasa sakit (Attakilamathānuyogo). Kedua jenis kegilaan ini adalah kutub yang berlawanan di mana mereka yang menikmati kesenangan indra harus berfluktuasi, tidak pernah sampai pada ketenangan. Mereka adalah jalan yang berputar-putar dalam saṃsāra. Yang Tercerahkan mengamati bahwa semua makhluk terjebak dalam dua ekstrem ini, tidak pernah melihat Jalan Tengah Dhamma, jadi Beliau menunjukkan kedua ekstrem ini untuk menunjukkan hukuman yang ada di dalam keduanya. Karena kita masih terjebak, karena kita masih menginginkan, kita hidup berulang kali di bawah kekuasaan mereka. Sang Buddha menyatakan bahwa kedua jalan ini adalah jalan kemabukan, mereka bukanlah jalan seorang meditator, bukan jalan menuju ketenangan. Jalan tersebut adalah pemanjaan dalam kesenangan dan pemanjaan dalam rasa sakit, atau, sederhananya, jalan kelambanan dan jalan ketegangan. Jika anda menyelidiki ke dalam batin, momen ke momen, anda akan melihat bahwa jalan ketegangan adalah kemarahan, jalan kesedihan. Menjalani jalan ini hanya ada kesulitan dan kesusahan. Pemanjaan dalam kesenangan – jika anda telah melampaui ini, itu berarti anda telah melampaui kebahagiaan. Kebahagiaan dan ketakbahagiaan bukanlah keadaan tenang. Sang Buddha mengajarkan untuk melepaskan keduanya. Ini adalah praktik benar. Inilah Jalan Tengah. Kata-kata ini, “Jalan Tengah”, tidak merujuk pada tubuh dan ucapan kita, mereka merujuk pada pikiran. Ketika kesan mental yang tidak kita sukai timbul, ia mempengaruhi pikiran dan ada kebingungan. Ketika pikiran bingung, ketika ia “terguncang”, ini bukanlah jalan yang benar. Ketika kesan mental yang kita sukai timbul, pikiran memanjakan diri dalam kesenangan – itu juga bukan jalannya. Kita manusia tidak menginginkan penderitaan, kita ingin kebahagiaan. Tetapi sebenarnya kebahagiaan hanyalah bentuk halus dari penderitaan. Penderitaan itu sendiri adalah bentuk kasarnya. Anda bisa mengibaratkannya dengan seekor ular. Kepala ular adalah ketakbahagiaan, ekor ular adalah kebahagiaan. Kepala ular sangat berbahaya, ia memiliki taring berbisa. Jika anda menyentuhnya, ia akan langsung menggigit. Tapi jangan pikirkan kepalanya; kalaupun anda memegang ekornya, ia akan berbalik dan menggigit anda sama juga, karena baik kepala maupun ekornya berasal dari satu ular. Dengan cara yang sama, baik kebahagiaan maupun ketakbahagiaan, atau kesenangan dan kesedihan, timbul dari induk yang sama – keinginan. Jadi ketika anda bahagia pikiran bukan tenang. Ia benar-benar bukan! Misalnya, ketika kita mendapatkan hal-hal yang kita sukai, seperti kekayaan, prestise, pujian atau kebahagiaan, kita menjadi senang sebagai akibatnya. Tetapi pikiran masih menyimpan sedikit kegelisahan karena kita takut kehilangannya. Ketakutan itu bukanlah keadaan yang tenang. Nantinya kita mungkin benar-benar kehilangan hal itu lalu kita benar-benar menderita.

Jadi, jika anda tidak sadar, meskipun anda bahagia, penderitaan sudah dekat. Ini sama saja dengan memegang ekor ular – jika anda tidak melepaskannya ia akan menggigit. Jadi apakah itu ekor ular atau kepalanya, yaitu, kondisi-kondisi kebajikan atau tidak bajik, mereka semua hanyalah karakteristik dari “Roda Kehidupan”, dari perubahan tanpa akhir. Sang Buddha menetapkan moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan sebagai jalan menuju ketenangan, jalan menuju kecerahan. Tapi sebenarnya hal-hal ini bukanlah inti dari agama Buddha. Mereka hanyalah jalan. Sang Buddha menyebut mereka “magga”, yang berarti “jalan”. Inti dari agama Buddha adalah ketenangan, dan ketenangan itu timbul dari benar-benar mengetahui sifat dari segala sesuatu. Jika kita menyelidiki dengan saksama, kita bisa melihat bahwa ketenangan bukanlah kebahagiaan ataupun ketakbahagiaan. Tidak satu pun dari ini adalah kebenaran. Pikiran manusia, pikiran yang Sang Buddha anjurkan untuk kita ketahui dan selidiki, adalah sesuatu yang hanya bisa kita ketahui melalui aktivitasnya. “Pikiran asli” yang sejati tidak memiliki apa pun untuk mengukurnya, tidak ada apa pun yang bisa anda gunakan untuk mengetahuinya. Dalam keadaan alaminya ia tidak bergoyang, tidak bergerak. Saat kebahagiaan timbul, yang terjadi adalah pikiran ini tersesat dalam kesan mental; ada gerakan. Saat pikiran bergerak seperti ini, kemelekatan dan keterikatan pada hal-hal itu muncul. Sang Buddha telah menetapkan jalan praktik secara keseluruhan, tetapi kita masih belum menerapkan, atau jika sudah, kita hanya menerapkannya dalam ucapan. Pikiran kita dan ucapan kita masih belum selaras, kita hanya menikmati pembicaraan kosong. Tetapi dasar agama Buddha bukanlah sesuatu yang dapat dibicarakan atau ditebak. Dasar sesungguhnya dari agama Buddha adalah pengetahuan penuh tentang kebenaran kenyataan. Jika seseorang mengetahui kebenaran ini maka tidak ada ajaran yang diperlukan. Jika seseorang tidak tahu, meskipun dia mendengarkan ajaran, dia tidak benar-benar mendengar. Inilah sebabnya mengapa Sang Buddha berkata, “Yang Tercerahkan hanya menunjukkan jalan.” Beliau tidak dapat melakukan praktiknya untuk anda, karena kebenaran adalah sesuatu yang tidak bisa anda ungkapkan dengan kata-kata atau berikan.


Semua ajaran hanyalah perumpamaan dan perbandingan, sarana untuk membantu pikiran melihat kebenaran. Jika kita belum melihat kebenaran kita harus menderita. Misalnya, kita biasanya menggunakan istilah “saṅkhārā1” ketika merujuk pada tubuh. Siapa saja bisa mengatakannya, tetapi sebenarnya kita memiliki masalah hanya karena kita tidak mengetahui kebenaran dari saṅkhārā-saṅkhārā ini, dan dengan demikian melekat pada mereka. Karena kita tidak mengetahui kebenaran tubuh, kita menderita. Berikut ini contohnya. Misalkan suatu pagi anda sedang berjalan ke tempat kerja dan seorang pria meneriakkan caci maki dan menghina anda dari seberang jalan. Begitu anda mendengar cacian ini pikiran anda berubah dari keadaan biasanya. Anda merasa tidak begitu enak, anda merasa marah dan terluka. Pria itu berjalan-jalan mencaci maki anda siang dan malam. Setiap kali anda mendengar cacian itu, anda menjadi marah, dan bahkan ketika anda pulang ke rumah anda masih marah karena anda merasa dendam, anda ingin membalasnya. Beberapa hari kemudian pria lain datang ke rumah anda dan berteriak, “Hey! Pria yang mencaci anda tempo hari, dia sinting, dia gila! Sudah bertahun-tahun! Dia memcaci maki semua orang seperti itu. Tidak ada yang memperhatikan apa pun yang dia katakan.” Segera setelah anda mendengar ini anda tiba-tiba merasa lega. Kemarahan dan rasa sakit itu yang anda pendam di dalam diri anda selama ini mencair sepenuhnya. Kenapa? Karena anda tahu kebenaran masalahnya sekarang. Sebelumnya, anda tidak tahu, anda mengira pria itu normal, jadi anda marah padanya. Berpikir seperti itu menyebabkan anda menderita. Segera setelah anda mengetahui kebenarannya, semuanya berubah: “Oh, dia gila! Itu menjelaskan semuanya!” Ketika anda memahami ini anda merasa baik-baik saja, karena anda tahu sendiri. Setelah tahu, maka anda bisa melepaskan. Jika anda tidak tahu kebenarannya anda melekat tepat di sana. Ketika anda berpikir bahwa pria yang mencaci anda itu normal, anda bisa saja membunuhnya. Tapi saat anda mengetahui kebenarannya, bahwa dia gila, anda merasa jauh lebih baik. Inilah pengetahuan tentang kebenaran. Seseorang yang melihat Dhamma memiliki pengalaman yang serupa. Saat keterikatan (lobha), kebencian (dosa) dan delusi (moha) menghilang, mereka menghilang dengan cara yang sama. Selama kita tidak mengetahui hal-hal ini, kita berpikir, “Apa yang bisa saya lakukan? Saya mempunyai begitu banyak keserakahan dan kebencian.” Ini bukanlah pengetahuan yang jelas. Ini sama seperti ketika kita mengira orang gila itu waras. Ketika kita akhirnya mengetahui bahwa selama ini dia gila, kita terbebas dari kekhawatiran. Tidak ada yang bisa menunjukkan ini kepada anda. Hanya ketika pikiran mengetahui sendiri, barulah ia dapat mencabut dan melepaskan kemelekatan. Sama halnya dengan tubuh ini yang kita sebut “saṅkhārā”. Meskipun Sang Buddha telah menjelaskan bahwa tubuh tidaklah substansial atau suatu makhluk yang nyata seperti itu, kita masih tidak setuju, kita dengan keras kepala melekat padanya. Jika tubuh dapat berbicara, ia akan memberi tahu kita sepanjang hari, “Anda bukan pemilik saya, anda tahu.” Sebenarnya ia memberi tahu kita sepanjang waktu, tapi itu adalah bahasa Dhamma, jadi kita tidak bisa memahaminya. Misalnya, alat indra mata, telinga, hidung, lidah dan tubuh terus-menerus berubah, tapi saya tidak pernah melihat mereka meminta izin kepada kita sekali pun! Seperti saat kita sakit kepala atau sakit perut – tubuh tidak pernah meminta izin terlebih dahulu, ia langsung saja, mengikuti jalan alaminya. Ini menunjukkan bahwa tubuh tidak mengizinkan siapa pun untuk menjadi pemiliknya, ia tidak mempunyai pemilik. Sang Buddha menggambarkannya sebagai objek yang kosong dari substansi. Kita tidak memahami Dhamma sehingga kita tidak memahami “saṅkhārā” ini; kita menganggap mereka sebagai diri kita sendiri, sebagai milik kita atau milik orang lain. Ini menimbulkan kemelekatan. Saat kemelekatan timbul, “menjadi” mengikuti. Begitu menjadi timbul, maka ada kelahiran. Begitu ada kelahiran, maka usia tua, penyakit, kematian… seluruh kumpulan penderitaan timbul. Ini adalah paṭiccasamuppāda1. Kita katakan ketaktahuan menimbulkan aktivitas kehendak, mereka menimbulkan kesadaran dan seterusnya. Semua hal ini hanyalah peristiwa dalam pikiran. Saat kita berkontak dengan sesuatu yang tidak kita sukai, jika kita tidak memiliki perhatian penuh, ketaktahuan ada di sana. Penderitaan langsung timbul. Tetapi pikiran melewati perubahan ini begitu cepat sehingga kita tidak dapat mengikutinya. Sama seperti ketika anda jatuh dari pohon. Sebelum anda menyadarinya – “Buk!” – anda telah menyentuh tanah. Sebenarnya anda telah melewati banyak cabang dan ranting saat jatuh, tapi anda tidak bisa menghitungnya, anda tidak bisa mengingatnya saat anda melewatinya. Anda hanya jatuh, kemudian “Buk!”


Paṭiccasamuppāda sama seperti ini. Jika kita membaginya seperti dalam kitab suci, kita katakan ketaktahuan menimbulkan aktivitas kehendak, aktivitas kehendak menimbulkan kesadaran, kesadaran menimbulkan pikiran dan materi, pikiran dan materi menimbulkan enam landasan indra, landasan indra menimbulkan kontak indra, kontak menimbulkan perasaan, perasaan menimbulkan keinginan, keinginan menimbulkan kemelekatan, kemelekatan menimbulkan menjadi, menjadi menimbulkan kelahiran, kelahiran menimbulkan usia tua, penyakit, kematian, dan segala bentuk dukacita. Tetapi sesungguhnya, saat anda berkontak dengan sesuatu yang tidak anda sukai, langsung ada penderitaan! Perasaan derita itu sebenarnya adalah hasil dari keseluruhan rantai paṭiccasamuppāda. Inilah sebabnya mengapa Sang Buddha menganjurkan para muridnya untuk menyelidiki dan mengetahui sepenuhnya pikiran mereka sendiri.


Ketika manusia dilahirkan ke dunia mereka tidak mempunyai nama – begitu lahir kita memberi mereka nama. Ini adalah konvensi. Kita memberi orang nama demi kemudahan, untuk saling memanggil. Kitab suci juga sama. Kita memisahkan semuanya dengan label untuk membuat mempelajari kenyataan menjadi mudah. Dengan cara yang sama, segala sesuatu hanyalah saṅkhārā. Sifat asli mereka hanyalah hal-hal majemuk. Sang Buddha berkata bahwa mereka tidak kekal, tidak memuaskan, dan tiada-diri. Mereka tidak stabil. Kita tidak memahami ini dengan tegas, pemahaman kita tidak lurus, sehingga kita memiliki pandangan salah. Pandangan salah ini adalah bahwa saṅkhārā adalah diri kita sendiri, kita adalah saṅkhārā, atau bahwa kebahagiaan dan ketakbahagiaan adalah diri kita sendiri, kita adalah kebahagiaan dan ketakbahagiaan. Melihat seperti ini bukanlah pengetahuan penuh yang jelas tentang sifat sebenarnya dari segala sesuatu. Sebenarnya kita tidak bisa memaksa semua hal ini untuk mengikuti keinginan kita, mereka mengikuti jalan alam.


Berikut adalah perbandingan yang sederhana: misalkan anda pergi dan duduk di tengah jalan tol dengan mobil dan truk menerjang ke arah anda. Anda tidak boleh marah kepada mobilnya, berteriak, “Jangan mengemudi ke sini! Jangan mengemudi ke sini!” Itu adalah jalan tol, anda tidak bisa menyuruh mereka begitu. Jadi apa yang bisa anda lakukan? Anda keluar dari jalan! Jalan adalah tempat di mana mobil berjalan, jika anda tidak ingin mobil ada di sana, anda menderita.


Sama halnya dengan saṅkhārā. Kita mengatakan mereka mengganggu kita, seperti saat kita duduk bermeditasi dan mendengar suara. Kita berpikir, “Oh, suara itu mengganggu saya.” Jika kita memahami bahwa suara itu mengganggu kita maka kita menderita karenanya. Jika kita menyelidiki sedikit lebih dalam, kita akan melihat bahwa kitalah yang mengganggu suara! Suara hanyalah suara. Jika kita memahami seperti ini maka tidak ada lagi yang lebih dari suara, kita membiarkannya saja. Kita melihat bahwa suara adalah satu hal, kita adalah hal lain. Seseorang yang memahami bahwa suara datang untuk mengganggunya adalah seseorang yang tidak melihat dirinya sendiri. Dia benar-benar tidak! Setelah anda melihat diri anda sendiri, maka anda merasa lega. Suara hanyalah suara, kenapa anda harus menggenggamnya? Anda melihat bahwa sebenarnya andalah yang mengganggu suara.


Inilah pengetahuan yang sebenarnya tentang kebenaran. Anda melihat kedua sisi, sehingga anda memiliki ketenangan. Jika anda hanya melihat satu sisi, ada penderitaan. Setelah anda melihat kedua sisi, maka anda mengikuti Jalan Tengah. Ini adalah praktik pikiran yang benar. Inilah apa yang kita sebut meluruskan pemahaman kita.


Dengan cara yang sama, sifat semua saṅkhārā adalah ketidakkekalan dan kematian, tetapi kita ingin menggenggam mereka; kita membawa mereka kemana-mana dan mendambakan mereka. Kita ingin mereka menjadi nyata. Kita ingin menemukan kebenaran di dalam hal-hal yang tidak nyata. Setiap kali seseorang melihat seperti ini dan melekat pada saṅkhārā sebagai dirinya sendiri, dia menderita.


Praktik Dhamma tidak tergantung dari menjadi seorang bhikkhu, sāmaṇera atau umat awam; ini tergantung pada meluruskan pemahaman anda. Jika pemahaman kita benar, kita sampai pada ketenangan. Apakah anda ditahbiskan atau tidak itu sama saja, setiap orang memiliki kesempatan untuk mempraktikkan Dhamma, untuk merenungkannya. Kita semua merenungkan hal yang sama. Jika anda mencapai ketenangan, itu semua ketenangan yang sama; itu adalah jalan yang sama, dengan metode yang sama.


Oleh karena itu Sang Buddha tidak membeda-bedakan antara umat awam dan para bhikkhu, Beliau mengajari semua orang untuk berlatih untuk mengetahui kebenaran saṅkhārā. Ketika kita mengetahui kebenaran ini, kita melepaskan mereka pergi. Jika kita mengetahui kebenaran tidak akan ada lagi menjadi atau kelahiran. Bagaimana tidak ada lagi kelahiran? Tidak mungkin bagi kelahiran untuk terjadi karena kita mengetahui sepenuhnya kebenaran saṅkhārā. Jika kita sepenuhnya mengetahui kebenaran, maka ada ketenangan. Memiliki atau tidak memiliki, semuanya sama. Mendapatkan dan kehilangan adalah satu. Sang Buddha mengajari kita untuk mengetahui ini. Ini adalah ketenangan; ketenangan dari kebahagiaan, ketakbahagiaan, kegembiraan dan kesedihan.


Kita harus melihat bahwa tidak ada alasan untuk dilahirkan. Lahir dengan cara apa? Terlahir dalam kegembiraan; saat kita mendapatkan sesuatu yang kita sukai kita gembira karenanya. Jika tidak ada kemelekatan pada kegembiraan itu, tidak ada kelahiran. Jika ada kemelekatan, ini disebut “kelahiran”. Jadi jika kita mendapatkan sesuatu, kita tidak dilahirkan (ke dalam kegembiraan). Jika kita kehilangan sesuatu, kita tidak dilahirkan (ke dalam kesedihan). Inilah yang tanpa kelahiran dan tanpa kematian. Kelahiran dan kematian keduanya didasarkan pada kemelekatan terhadap dan menyayangi saṅkhārā.


Maka Sang Buddha berkata: “Tidak ada lagi menjadi untukku, selesai adalah kehidupan suci, inilah kelahiranku yang terakhir.” Nah! Beliau tahu yang tanpa kelahiran dan tanpa kematian. Inilah apa yang Sang Buddha anjurkan terus-menerus kepada muridnya untuk diketahui. Ini adalah praktik benar. Jika anda tidak mencapainya, jika anda tidak mencapai Jalan Tengah, maka anda tidak akan melampaui penderitaan.



Diterjemahkan oleh: Jayananda Gotama




1. Saṅkhārā: semua fenomena yang berkondisi. Adalah istilah yang umum digunakan untuk tubuh.


2. Paṭiccasamuppāda: prinsip kemunculan berkondisi, salah satu ajaran terpenting dalam ajaran Buddhis.

bottom of page