top of page

Ketenangan di Seberang - bab V | A Taste of Freedom

Updated: Jul 8, 2022


Versi ringkas dari ceramah yang diberikan kepada Ketua Dewan Penasihat Thailand, Bapak Sanya Dharmasakti, di Wat Nong Pah Pong, 1978.




Sangatlah penting bagi kita untuk mempraktikkan Dhamma. Jika kita tidak mempraktikkan, maka semua pengetahuan kita hanyalah pengetahuan yang dangkal, hanya kulit terluarnya. Seolah-olah kita memiliki semacam buah tapi kita belum memakannya. Meskipun kita memiliki buah itu di tangan kita, kita tidak mendapatkan manfaatnya. Hanya dengan melalui benar-benar memakan buahnya barulah kita benar-benar tahu rasanya. Sang Buddha tidak memuji mereka yang hanya mempercayai orang lain; Beliau memuji orang yang tahu di dalam dirinya. Sama halnya dengan buah itu, jika kita sudah mencicipinya, kita tidak perlu bertanya kepada orang lain apakah manis atau asam. Masalah kita berakhir. Kenapa mereka berakhir? Karena kita melihat menurut kebenaran. Seseorang yang telah menyadari Dhamma itu seperti seseorang yang telah menyadari manis atau asamnya buah. Semua keraguan berakhir di sini. Ketika kita berbicara mengenai Dhamma, meskipun kita mungkin mengatakan banyak hal, itu biasanya dapat disimpulkan menjadi empat hal. Mereka hanyalah untuk mengetahui penderitaan, untuk mengetahui penyebab penderitaan, untuk mengetahui akhir penderitaan dan untuk mengetahui jalan praktik menuju akhir penderitaan. Hanya ini saja. Semua yang telah kita alami di jalan praktik sejauh ini berakhir pada empat hal ini. Ketika kita mengetahui hal-hal ini, masalah kita selesai. Di manakah keempat hal ini lahir? Mereka lahir di dalam tubuh dan pikiran, tidak di tempat lain. Jadi mengapa ajaran Sang Buddha begitu rinci dan luas? Ini untuk menjelaskan hal-hal ini dengan cara yang lebih halus, untuk membantu kita melihat mereka. Ketika Siddhattha Gotama lahir ke dunia, sebelum Beliau melihat Dhamma, Beliau adalah orang biasa sama seperti kita. Ketika Beliau tahu apa yang harus Beliau ketahui, yaitu kebenaran penderitaan, penyebab, akhir dan jalan menuju akhir penderitaan, Beliau menyadari Dhamma dan menjadi Buddha yang tercerahkan dengan sempurna. Ketika kita menyadari Dhamma, di mana pun kita duduk kita mengetahui Dhamma, di mana pun kita berada kita mendengar ajaran Buddha. Ketika kita memahami Dhamma, Buddha berada di dalam pikiran kita, Dhamma berada di dalam pikiran kita, dan praktik menuju kebijaksanaan berada di dalam pikiran kita sendiri. Memiliki Buddha, Dhamma dan Saṅgha di dalam pikiran kita berarti bahwa apakah tindakan kita baik atau buruk, kita mengetahui sendiri dengan jelas sifat sejati mereka. Begitulah cara Sang Buddha membuang pendapat, pujian dan kritikan duniawi. Ketika orang memuji atau mengkritiknya, Beliau hanya menerimanya apa adanya. Kedua hal ini hanyalah kondisi duniawi jadi Beliau tidak terguncang olehnya. Kenapa tidak? Karena Beliau mengetahui penderitaan. Beliau tahu bahwa jika Beliau percaya pada pujian atau kritikan itu, itu akan membuatnya menderita. Saat penderitaan timbul, itu mengganggu kita, kita merasa tidak nyaman. Apa penyebab penderitaan itu? Itu karena kita tidak mengetahui kebenaran; inilah penyebabnya. Ketika penyebabnya ada, maka penderitaan timbul. Begitu timbul kita tidak tahu bagaimana menghentikannya. Semakin kita berusaha untuk menghentikannya, semakin ia datang. Kita berkata, “Jangan mengkritik aku,” atau “Jangan salahkan aku.” Mencoba menghentikannya seperti ini, penderitaan benar-benar datang, ia tidak akan berhenti. Jadi Sang Buddha mengajarkan bahwa jalan menuju akhir penderitaan adalah dengan membuat Dhamma timbul sebagai sebuah kenyataan di dalam pikiran kita sendiri. Kita menjadi mereka yang menyaksikan sendiri Dhamma. Jika seseorang mengatakan kita baik, kita tidak tenggelam di dalamnya; mereka mengatakan kita tidak baik dan kita tidak melupakan diri kita sendiri. Dengan begini kita bisa bebas. “Baik” dan “jahat” hanyalah dhamma duniawi, mereka hanyalah kondisi-kondisi pikiran. Jika kita mengikuti mereka pikiran kita menjadi dunia, kita hanya meraba-raba dalam kegelapan dan tidak tahu jalan keluarnya. Jika sudah seperti ini maka kita masih belum menguasai diri kita sendiri. Kita mencoba mengalahkan orang lain, tetapi dengan melakukan itu kita hanya mengalahkan diri kita sendiri; tetapi jika kita memiliki penguasaan atas diri kita sendiri maka kita memiliki penguasaan atas semuanya – atas semua bentuk-bentuk mental, penglihatan, suara, bau, rasa dan perasaan jasmani. Sekarang saya sedang membicarakan tentang eksternal, mereka seperti itu, tetapi bagian luar juga mencerminkan bagian dalam. Beberapa orang hanya tahu bagian luar, mereka tidak tahu bagian dalam. Seperti saat kita mengatakan untuk “melihat tubuh di dalam tubuh”. Setelah melihat tubuh luar saja tidak cukup, kita harus mengetahui tubuh di dalam tubuh. Maka, setelah menyelidiki pikiran, kita harus mengetahui pikiran di dalam pikiran. Mengapa kita harus menyelidiki tubuh? Apa “tubuh di dalam tubuh” ini? Ketika kita mengatakan untuk mengetahui pikiran, apakah “pikiran” ini? Jika kita tidak mengetahui pikiran maka kita tidak mengetahui hal-hal di dalam pikiran. Ini adalah menjadi seseorang yang tidak mengetahui penderitaan, tidak mengetahui penyebab, tidak mengetahui akhir dan tidak mengetahui jalan menuju akhir penderitaan. Hal-hal yang seharusnya membantu memadamkan penderitaan tidak membantu, karena perhatian kita teralihkan oleh hal-hal yang memperburuknya. Ini seolah-olah kepala kita gatal dan kita menggaruk kaki kita! Jika kepala kita yang gatal maka kita jelas tidak akan merasa lega. Dengan cara yang sama, saat penderitaan timbul kita tidak tahu bagaimana menanganinya, kita tidak tahu praktik yang mengarah pada akhir penderitaan. Misalnya, ambil tubuh ini, tubuh ini yang kita masing-masing bawa ke pertemuan ini. Jika kita hanya melihat bentuk tubuh, tidak akan mungkin kita bisa lepas dari penderitaan. Kenapa tidak? Karena kita masih tidak melihat bagian dalam tubuh, kita hanya melihat bagian luarnya saja. Kita hanya melihatnya sebagai sesuatu yang indah, sesuatu yang substansial. Sang Buddha mengatakan bahwa hanya melihat ini saja tidak cukup. Kita melihat bagian luar dengan mata kita; anak kecil bisa melihatnya, binatang bisa melihatnya, itu tidak sulit. Bagian luar tubuh mudah terlihat, tetapi setelah melihatnya kita melekat padanya, kita tidak mengetahui kebenarannya. Setelah melihatnya kita menggenggamnya dan ia menggigit kita! Jadi kita harus menyelidiki tubuh di dalam tubuh. Apa pun yang ada di dalam tubuh, coba dan lihatlah. Jika kita hanya melihat bagian luarnya saja itu tidak jelas. Kita melihat rambut, kuku dan seterusnya dan mereka hanyalah hal-hal cantik yang memikat kita. Jadi Sang Buddha mengajarkan untuk melihat bagian dalam tubuh, melihat tubuh di dalam tubuh. Apa yang ada di dalam tubuh? Perhatikan dengan saksama ke dalam! Kita akan menemukan banyak kejutan di dalam, karena meskipun mereka ada di dalam diri kita, kita tidak pernah melihat mereka. Ke mana pun kita berjalan kita membawa mereka bersama kita; duduk di dalam mobil kita membawa mereka bersama kita, tetapi kita masih tidak mengetahui mereka sama sekali! Seolah-olah kita mengunjungi beberapa kerabat di rumah mereka dan mereka memberi kita hadiah. Kita mengambilnya dan memasukkannya ke dalam tas kita kemudian pergi tanpa membukanya untuk melihat apa yang ada di dalam. Ketika akhirnya kita membukanya – penuh dengan ular berbisa! Tubuh kita seperti ini. Jika kita hanya melihat cangkangnya kita mengatakan itu bagus dan indah. Kita melupakan diri kita sendiri. Kita melupakan ketidakkekalan, penderitaan dan tiada-aku. Jika kita melihat ke dalam tubuh ini, itu benar-benar menjijikkan. Jika kita melihat sesuai dengan kenyataan, tanpa mencoba mempermanis hal-hal, kita akan melihat bahwa itu benar-benar menyedihkan dan melelahkan. Kejemuan akan timbul. Perasaan “tidak tertarik” ini bukan karena kita merasakan kebencian terhadap dunia atau apa pun; itu hanya pikiran kita yang menjadi jelas, pikiran kita melepaskan. Kita melihat hal-hal sebagai tidak substansial atau dapat diandalkan, melainkan bahwa semua hal secara alami terbentuk sebagaimana mereka adanya. Bagaimanapun kita ingin mereka seperti apa, mereka hanya berjalan dengan cara mereka sendiri. Apakah kita tertawa atau menangis, mereka hanyalah sebagaimana mereka adanya. Hal-hal yang tidak stabil, tidak stabil; hal-hal yang tidak indah, tidak indah. Jadi Sang Buddha berkata bahwa ketika kita mengalami penglihatan, suara, rasa, bau, perasaan jasmani atau kondisi mental, kita harus melepaskan mereka. Saat telinga mendengar suara, lepaskanlah. Ketika hidung mencium bau, lepaskan, biarkan saja di hidung! Saat perasaan jasmani timbul, lepaskan suka atau tidak suka yang mengikuti, biarkan mereka kembali ke tempat kelahiran mereka. Begitu juga untuk kondisi mental. Semua hal ini, biarkan saja mereka pergi ke jalan mereka. Inilah mengetahui. Apakah itu kebahagiaan atau ketakbahagiaan, semuanya sama. Ini disebut meditasi. Meditasi berarti membuat pikiran tenang agar kebijaksanaan timbul. Ini mengharuskan kita berlatih dengan tubuh dan pikiran untuk melihat dan mengetahui kesan-kesan indra dari bentuk, suara, rasa, bau, sentuhan dan bentuk-bentuk mental. Singkatnya, ini hanyalah masalah kebahagiaan dan ketakbahagiaan. Kebahagiaan adalah perasaan menyenangkan di dalam pikiran, ketakbahagiaan hanyalah perasaan tidak menyenangkan. Sang Buddha mengajarkan untuk memisahkan kebahagiaan dan ketakbahagiaan ini dari pikiran. Pikiran adalah yang mengetahui. Perasaan1 adalah karakteristik dari kebahagiaan atau ketakbahagiaan, suka atau tidak suka. Ketika pikiran memanjakan diri dalam hal-hal ini kita katakan bahwa ia melekat pada atau menganggap kebahagiaan dan ketakbahagiaan itu layak untuk digenggam. Kemelekatan itu adalah tindakan pikiran; kebahagiaan atau ketakbahagiaan itu adalah perasaan. Ketika kita mengatakan bahwa Sang Buddha menyuruh kita untuk memisahkan pikiran dari perasaan, Maksud Beliau bukan secara harfiah membuang mereka ke tempat berbeda. Maksud Beliau bahwa pikiran harus mengetahui kebahagiaan dan mengetahui ketakbahagiaan. Saat duduk dalam samādhi, misalnya, dan ketenangan memenuhi pikiran, kebahagiaan datang tetapi itu tidak mencapai kita, ketakbahagiaan datang tetapi tidak mencapai kita. Beginilah cara seseorang memisahkan perasaan dari pikiran. Kita bisa membandingkannya dengan minyak dan air dalam botol. Mereka tidak bergabung. Meskipun anda berusaha untuk mencampurnya, minyak tetaplah minyak dan air tetaplah air, karena mereka memiliki kepadatan yang berbeda.


Keadaan alami pikiran bukanlah kebahagiaan ataupun ketakbahagiaan. Saat perasaan memasuki pikiran maka lahirlah kebahagiaan atau ketakbahagiaan. Jika kita memiliki perhatian penuh (sati) maka kita mengetahui perasaan menyenangkan sebagai perasaan menyenangkan. Pikiran yang tahu tidak akan mengambilnya. Kebahagiaan ada tapi itu “di luar” pikiran, tidak terkubur di dalam pikiran. Pikiran hanya mengetahuinya dengan jelas. Jika kita memisahkan ketakbahagiaan dari pikiran, apakah itu berarti tidak ada penderitaan, bahwa kita tidak mengalaminya? Ya, kita mengalaminya, tapi kita mengetahui pikiran sebagai pikiran, perasaan sebagai perasaan. Kita tidak melekat pada perasaan itu atau membawanya ke mana-mana. Sang Buddha memisahkan hal-hal ini melalui pengetahuan. Apakah Beliau memiliki penderitaan? Beliau tahu keadaan penderitaan tetapi Beliau tidak melekat padanya; jadi kita katakan bahwa Beliau memotong penderitaan. Dan ada kebahagiaan juga, tapi Beliau tahu kebahagiaan itu; jika tidak diketahui, itu seperti racun. Beliau tidak menganggapnya sebagai dirinya sendiri. Kebahagiaan ada di sana melalui pengetahuan, tetapi itu tidak ada di dalam pikirannya. Jadi kita katakan bahwa Beliau memisahkan kebahagiaan dan ketakbahagiaan dari pikirannya. Ketika kita mengatakan bahwa Sang Buddha dan Yang Tercerahkan membunuh kekotoran batin, itu bukan berarti mereka benar-benar membunuhnya. Jika mereka telah membunuh semua kekotoran batin maka kita mungkin tidak akan memilikinya! Mereka tidak membunuh kekotoran batin; ketika mereka mengetahui kekotoran batin sebagaimana adanya, mereka melepaskannya. Seseorang yang bodoh akan menggenggamnya, tetapi Yang Tercerahkan mengetahui kekotoran batin di dalam pikiran mereka sendiri sebagai racun, jadi mereka menyapunya. Mereka menyapu bersih hal-hal yang menyebabkan mereka menderita, mereka tidak membunuhnya. Seseorang yang tidak mengetahui hal ini akan melihat beberapa hal, seperti kebahagiaan, sebagai sesuatu yang baik, kemudian menggenggamnya, tetapi Sang Buddha hanya mengetahuinya dan menyapunya begitu saja. Tapi saat perasaan timbul untuk kita, kita menikmatinya; yaitu, pikiran membawa kebahagiaan dan ketakbahagiaan itu ke mana-mana. Sebenarnya mereka adalah dua hal yang berbeda. Aktivitas pikiran, perasaan menyenangkan, perasaan tidak menyenangkan dan seterusnya, adalah kesan-kesan mental, mereka adalah dunia. Jika pikiran mengetahui hal ini, ia dapat melakukan pekerjaan yang melibatkan kebahagiaan atau ketakbahagiaan dengan sama. Mengapa? Karena ia mengetahui kebenaran hal-hal ini. Seseorang yang tidak mengetahui mereka melihat mereka memiliki nilai yang berbeda, tetapi seseorang yang mengetahui melihat mereka sebagai sama. Jika anda melekat pada kebahagiaan itu akan menjadi tempat kelahiran ketakbahagiaan nantinya, karena kebahagiaan tidak stabil, ia berubah-ubah sepanjang waktu. Saat kebahagiaan menghilang, ketakbahagiaan timbul. Sang Buddha tahu itu karena kebahagiaan dan ketakbahagiaan keduanya tidak memuaskan, mereka memiliki nilai yang sama. Saat kebahagiaan timbul Beliau melepaskannya. Beliau memiliki praktik yang benar, melihat bahwa kedua hal ini memiliki nilai dan kekurangan yang sama. Mereka berada di bawah Hukum Dhamma, yaitu, mereka tidak stabil dan tidak memuaskan. Setelah lahir, mereka mati. Ketika Beliau melihat ini, pandangan benar timbul, cara latihan yang benar menjadi jelas. Tidak peduli perasaan atau pemikiran seperti apa yang timbul di pikirannya, Beliau mengetahuinya hanya sebagai permainan kebahagiaan dan ketakbahagiaan yang berkelanjutan. Beliau tidak melekat pada mereka. Ketika Sang Buddha baru tercerahkan, Beliau memberikan ceramah tentang pemanjaan dalam kesenangan (Kāmasukhalikānuyogo) dan pemanjaan dalam kesakitan (Attakilamathānuyogo). “Para bhikkhu! Pemanjaan dalam kesenangan adalah jalan yang lengah, pemanjaan dalam kesakitan adalah jalan yang menegangkan.” Dua hal inilah yang mengganggu latihannya sampai hari Beliau mencapai kecerahan, karena pada awalnya Beliau tidak melepaskannya. Ketika Beliau mengetahuinya, Beliau melepaskannya, dan dengan demikian Beliau dapat memberikan ceramah pertamanya. Jadi kita katakan bahwa seorang meditator seharusnya tidak menempuh jalan kebahagiaan atau ketakbahagiaan, melainkan dia harus mengetahuinya. Mengetahui kebenaran penderitaan, dia akan mengetahui penyebab penderitaan, akhir penderitaan dan jalan menuju akhir penderitaan. Dan jalan keluar dari penderitaan adalah meditasi itu sendiri. Sederhananya, kita harus sadar.


Perhatian penuh (sati) adalah mengetahui, atau kehadiran pikiran. Saat ini apa yang sedang kita pikirkan, apa yang sedang kita lakukan? Apa yang kita miliki bersama dengan kita sekarang? Kita mengamati seperti ini, kita menyadari bagaimana kita hidup. Berlatih seperti ini, kebijaksanaan bisa timbul. Kita mempertimbangkan dan menyelidiki di setiap saat, di semua postur. Ketika kesan mental yang kita sukai timbul kita mengetahuinya saja, kita tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang substansial. Itu hanyalah kebahagiaan. Ketika ketakbahagiaan timbul kita tahu bahwa itu adalah pemanjaan dalam rasa sakit, itu bukanlah jalan seorang meditator.


Inilah apa yang kita sebut memisahkan pikiran dari perasaan. Jika kita pintar, kita tidak melekat, kita membiarkannya saja. Kita menjadi “yang mengetahui”. Pikiran dan perasaan mirip seperti minyak dan air; mereka berada dalam botol yang sama tapi mereka tidak bercampur. Meskipun kita sakit atau kesakitan, kita masih mengetahui perasaan sebagai perasaan, pikiran sebagai pikiran. Kita tahu keadaan kesakitan atau kenyamanan tapi kita tidak mengidentifikasi mereka. Kita tinggal hanya dengan ketenangan; ketenangan di luar kenyamanan dan rasa sakit.


Anda harus memahaminya seperti ini, karena jika tidak ada diri yang permanen maka tidak ada perlindungan. Anda harus hidup seperti ini, yaitu, tanpa kebahagiaan dan tanpa ketakbahagiaan. Anda tinggal hanya dengan yang mengetahui, anda tidak membawa hal-hal ke mana-mana.


Selama kita masih belum tercerahkan semua ini mungkin terdengar aneh tapi itu tidak masalah, kita tetapkan saja tujuan kita di arah ini. Pikiran adalah pikiran. Ia bertemu kebahagiaan dan ketakbahagiaan dan kita melihat mereka hanya sebagai itu, tidak ada yang lebih. Mereka dibagi, tidak dicampur. Jika mereka semua bercampur maka kita tidak mengenali mereka. Ini seperti tinggal di sebuah rumah; rumah dan penghuninya terkait, tetapi terpisah. Jika ada bahaya di rumah kita, kita tertekan karena kita harus melindunginya, tapi jika rumahnya terbakar kita keluar darinya. Jika perasaan menyakitkan timbul, kita keluar darinya, sama seperti rumah itu. Saat rumahnya penuh dengan api dan kita mengetahuinya, kita berlari keluar darinya. Mereka adalah hal-hal yang terpisah; rumah adalah satu hal, penghuninya adalah hal lain.


Kita mengatakan bahwa kita memisahkan pikiran dan perasaan dengan cara ini tetapi sebenarnya mereka pada dasarnya sudah terpisah. Realisasi kita hanyalah untuk mengetahui keterpisahan alami ini menurut kenyataan. Ketika kita mengatakan mereka tidak terpisah, itu karena kita melekat pada mereka melalui ketaktahuan akan kebenaran.


Dengan demikian Sang Buddha menyuruh kita untuk bermeditasi. Latihan meditasi ini sangat penting. Mengetahui hanya dengan akal saja tidak cukup. Pengetahuan yang timbul dari praktik dengan pikiran tenang dan pengetahuan yang berasal dari belajar sangatlah jauh berbeda. Pengetahuan yang berasal dari belajar bukanlah pengetahuan yang sebenarnya dari pikiran kita. Pikiran mencoba untuk memegang dan menyimpan pengetahuan ini. Mengapa kita mencoba untuk menyimpannya? Hanya untuk kehilangannya! Kemudian saat ia hilang kita menangis.


Jika kita benar-benar tahu, maka ada pelepasan, meninggalkan hal-hal. Kita tahu bagaimana hal-hal dan tidak melupakan diri kita sendiri. Jika kita sakit, kita tidak tersesat dalam hal itu. Beberapa orang berpikir, “Tahun ini aku sakit sepanjang waktu, aku tidak bisa bermeditasi sama sekali.” Ini adalah kata-kata dari orang yang sangat bodoh. Seseorang yang sedang sakit atau sekarat harus benar-benar tekun dalam latihannya. Seseorang mungkin mengatakan dia tidak punya waktu untuk bermeditasi. Dia sakit, dia menderita, dia tidak mempercayai tubuhnya, jadi dia merasa bahwa dia tidak bisa bermeditasi. Jika kita berpikir seperti ini maka hal-hal menjadi sulit. Sang Buddha tidak mengajarkan seperti itu. Beliau mengatakan bahwa di sini adalah tempat untuk bermeditasi. Saat kita sakit atau hampir sekarat saat itulah kita benar-benar dapat mengetahui dan melihat kenyataan.


Orang lain mengatakan mereka tidak memiliki kesempatan untuk bermeditasi karena mereka terlalu sibuk. Terkadang guru sekolah datang menemui saya. Mereka bilang mereka memiliki banyak tanggung jawab sehingga tidak ada waktu untuk bermeditasi. Saya bertanya kepada mereka, “Ketika anda mengajar apakah anda punya waktu untuk bernapas?” Mereka menjawab, “Ya.” “Jadi bagaimana anda bisa punya waktu untuk bernapas jika pekerjaannya begitu padat dan memusingkan? Di sini anda jauh dari Dhamma.”


Sebenarnya latihan ini hanya tentang pikiran dan perasaannya. Ini bukanlah sesuatu yang harus anda kejar atau perjuangkan. Pernapasan berlanjut saat bekerja. Alam mengurus proses alami – yang harus kita lakukan hanyalah berusaha untuk sadar. Cukup terus berusaha, masuk ke dalam batin untuk melihat dengan jelas. Meditasi adalah seperti ini.


Jika kita memiliki kehadiran pikiran itu maka apa pun pekerjaan yang kita lakukan akan menjadi sarana yang memungkinkan kita untuk mengetahui yang benar dan yang salah secara terus-menerus. Ada banyak waktu untuk bermeditasi; kita hanya tidak sepenuhnya memahami latihannya, itu saja. Saat tidur kita bernapas, saat makan kita bernapas, bukan? Kenapa kita tidak punya waktu untuk bermeditasi? Di mana pun kita berada kita bernapas. Jika kita berpikir seperti ini maka hidup kita sama berharganya dengan napas kita; di mana pun kita berada kita punya waktu.


Semua jenis pemikiran adalah kondisi mental, bukan kondisi tubuh, jadi kita hanya perlu memiliki kehadiran pikiran. Maka kita akan tahu benar dan salah setiap saat. Berdiri, berjalan, duduk dan berbaring, ada banyak waktu. Kita hanya tidak tahu bagaimana menggunakannya dengan benar. Tolong pertimbangkan ini.


Kita tidak bisa lari dari perasaan, kita harus mengetahuinya. Perasaan hanyalah perasaan, kebahagiaan hanyalah kebahagiaan, ketakbahagiaan hanyalah ketakbahagiaan. Mereka hanya sebatas itu. Jadi kenapa kita harus melekat pada mereka? Jika pikiran pintar, hanya dengan mendengar ini saja cukup untuk memungkinkan kita untuk memisahkan perasaan dari pikiran.


Jika kita menyelidiki seperti ini terus menerus, pikiran akan menemukan pelepasan, tapi itu bukan melarikan diri melalui ketaktahuan. Pikiran melepaskan, tapi ia tahu. Ia tidak melepaskan melalui kebodohan atau karena ia tidak ingin hal-hal menjadi sebagaimana mereka adanya. Ia melepaskan karena ia tahu menurut kebenaran. Inilah melihat alam, kenyataan yang ada di sekitar kita.


Ketika kita mengetahui ini kita adalah seseorang yang terampil dengan pikiran, kita terampil dengan kesan-kesan mental. Ketika kita terampil dengan kesan-kesan mental kita terampil dengan dunia. Ini untuk menjadi “yang mengetahui dunia”. Sang Buddha adalah seseorang yang dengan jelas mengetahui dunia dengan segala kesulitannya. Beliau tahu yang merepotkan, dan apa yang tidak merepotkan ada di sana. Dunia ini sangat membingungkan; bagaimana Sang Buddha bisa mengetahuinya? Di sini kita harus memahami bahwa Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha tidak berada di luar kemampuan kita. Di semua postur kita harus memiliki kehadiran pikiran (sati) dan kesadaran diri (sampajañña) – dan saat tiba waktunya untuk duduk bermeditasi kita melakukannya.


Kita duduk bermeditasi untuk membangun ketenangan dan mengembangkan energi mental. Kita bukan melakukannya untuk bermain-main pada sesuatu yang istimewa. Meditasi pandangan terang (vipassanā) adalah duduk dalam samādhi itu sendiri. Di beberapa tempat mereka mengatakan, “Sekarang kita akan duduk dalam samādhi, setelah itu kita akan melakukan meditasi vipassanā.” Jangan memisahkan mereka seperti ini! Ketenangan adalah landasan yang menimbulkan kebijaksanaan; kebijaksanaan adalah buah dari ketenangan. Mengatakan kalau sekarang kita akan melakukan meditasi ketenangan (samatha), kemudian kita akan melakukan vipassanā – anda tidak bisa melakukan itu! Anda hanya bisa memisahkannya dalam ucapan. Sama seperti pisau, bilahnya ada di satu sisi, bagian belakang bilah ada di sisi lain. Anda tidak bisa memisahkannya. Jika anda mengambil satu sisi, anda mendapatkan kedua sisi. Ketenangan menimbulkan kebijaksanaan seperti ini.


Moralitas adalah ayah dan ibu dari Dhamma. Pada awalnya kita harus memiliki moralitas. Moralitas adalah kedamaian. Ini berarti bahwa seseorang tidak melakukan perbuatan salah dalam tubuh maupun ucapan. Ketika kita tidak melakukan kesalahan maka kita tidak gelisah; ketika kita tidak menjadi gelisah maka kedamaian dan ketenangan timbul di dalam pikiran.


Jadi kita katakan bahwa moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan adalah jalan yang telah dilalui oleh semua Yang Mulia menuju ke kecerahan. Mereka semua adalah satu. Moralitas adalah konsentrasi, konsentrasi adalah moralitas. Konsentrasi adalah kebijaksanaan, kebijaksanaan adalah konsentrasi. Ini seperti mangga. Ketika masih bunga kita menyebutnya bunga. Ketika menjadi buah kita menyebutnya mangga. Ketika matang kita menyebutnya mangga matang. Itu semua satu mangga tetapi terus-menerus berubah. Mangga besar tumbuh dari mangga kecil, mangga kecil menjadi mangga besar. Anda dapat menyebutnya buah yang berbeda atau semua satu buah. Moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan terkait seperti ini. Pada akhirnya itu semua adalah jalan yang menuntun ke kecerahan.


Mangga, sejak pertama kali ia muncul sebagai bunga, tumbuh begitu saja sampai matang. Ini sudah cukup; kita harus melihatnya seperti ini. Apa pun yang disebutkan orang lain, itu tidak masalah. Setelah ia lahir, ia tumbuh sampai tua, lalu ke mana? Kita harus merenungkan ini.


Beberapa orang tidak ingin menjadi tua. Saat mereka menjadi tua mereka menjadi depresi. Orang-orang ini tidak boleh makan mangga matang! Kenapa kita ingin mangga menjadi matang? Jika mereka tidak matang pada waktunya, kita mematangkannya secara buatan, bukan? Tetapi ketika kita menjadi tua kita dipenuhi dengan penyesalan. Beberapa orang menangis; mereka takut menjadi tua atau mati. Jika seperti ini maka mereka tidak boleh makan mangga yang sudah matang – lebih baik makan bunganya saja! Jika kita bisa melihat ini maka kita bisa melihat Dhamma. Semuanya menjadi jelas, kita damai. Tetapkan saja untuk berlatih seperti itu.


Hari ini Ketua Dewan Penasihat dan kelompoknya sudah berkumpul untuk mendengarkan Dhamma. Kalian harus mengambil apa yang sudah saya katakan dan merenungkannya. Jika ada yang tidak benar, mohon dimaafkan. Tetapi bagi anda untuk mengetahui apakah itu benar atau salah tergantung pada latihan anda dan melihat sendiri. Apa pun yang salah, buanglah. Jika itu benar maka ambil dan gunakanlah. Tapi sebenarnya kita berlatih demi melepaskan benar dan salah. Pada akhirnya kita hanya membuang semuanya. Jika benar, buang; salah, buang! Biasanya jika benar kita melekat pada kebenaran, jika salah kita menganggapnya salah, kemudian argumen mengikuti. Tetapi Dhamma adalah tempat di mana tidak ada apa-apa – tidak ada apa-apa sama sekali.



Diterjemahkan oleh: Jayananda Gotama


1. Perasaan adalah terjemahan dari kata Pali “vedanā”, dan harus dipahami dalam pengertian yang dijelaskan Ajahn Chah di sini: sebagai keadaan mental kesenangan dan kesakitan.




bottom of page