top of page

Membuka Mata Dhamma - bab VI | A Taste of Freedom

Updated: Jul 10, 2022


Diberikan di Wat Pah Pong kepada kumpulan para bhikkhu dan sāmaṇera pada bulan Oktober, 1968.



Beberapa dari kita mulai berlatih, dan bahkan setelah satu atau dua tahun, masih tidak tahu apa itu apa. Kita masih tidak yakin dengan latihannya. Ketika kita masih tidak yakin, kita tidak melihat bahwa segala sesuatu di sekitar kita adalah murni Dhamma, jadi kita beralih ke ajaran-ajaran dari para Ajahn. Tapi sebenarnya, ketika kita mengetahui pikiran kita sendiri, ketika ada sati yang memperhatikan pikiran dengan saksama, ada kebijaksanaan. Semua waktu dan semua tempat menjadi kesempatan bagi kita untuk mendengarkan Dhamma. Kita bisa belajar Dhamma dari alam, dari pepohonan misalnya. Pohon lahir karena penyebab dan ia tumbuh mengikuti jalan alam. Di sini pohon mengajari kita Dhamma, tapi kita tidak memahami ini. Pada waktunya, ia tumbuh dan tumbuh sampai ia berkuncup, berbunga dan buah muncul. Yang kita lihat hanyalah kemunculan bunga dan buah; kita tidak mampu membawa ini ke dalam batin dan merenungkannya. Oleh karena itu kita tidak tahu bahwa pohon sedang mengajari kita Dhamma. Buah muncul dan kita hanya memakannya tanpa menyelidiki; manis, asam atau asin, itu adalah sifat buah. Dan ini adalah Dhamma, ajaran buah. Daunnya kemudian menua. Mereka layu, mati kemudian jatuh dari pohon. Yang kita lihat hanyalah daun-daun yang berguguran. Kita menginjak mereka, kita menyapu mereka, itu saja. Kita tidak menyelidiki secara menyeluruh, jadi kita tidak tahu bahwa alam sedang mengajari kita. Nantinya daun-daun yang baru tumbuh, dan kita hanya melihat itu, tanpa membawanya lebih jauh. Kita tidak membawa hal-hal ini ke dalam pikiran kita untuk direnungkan. Jika kita bisa membawa semua ini ke dalam dan menyelidikinya, kita akan melihat bahwa kelahiran pohon dan kelahiran kita sendiri tidak berbeda. Tubuh kita ini lahir dan hidup bergantung pada kondisi-kondisi, pada unsur-unsur tanah, air, angin dan api. Ia mempunyai makanannya, ia tumbuh dan tumbuh. Setiap bagian tubuh berubah dan mengalir sesuai dengan sifatnya. Ini tidak ada bedanya dengan pohon, rambut, kuku, gigi dan kulit – semua berubah. Jika kita mengetahui hal-hal alam, maka kita akan mengetahui diri kita sendiri. Manusia dilahirkan. Pada akhirnya mereka mati. Setelah mati mereka dilahirkan kembali. Kuku, gigi dan kulit terus-menerus mati dan tumbuh kembali. Jika kita memahami praktiknya maka kita bisa melihat bahwa pohon tidak berbeda dengan diri kita sendiri. Jika kita memahami ajaran para Ajahn, maka kita menyadari bahwa bagian luar dan dalam itu sebanding. Hal-hal yang memiliki kesadaran dan yang tanpa kesadaran tidak berbeda. Mereka sama. Dan jika kita memahami kesamaan ini, maka saat kita melihat sifat pohon, misalnya, kita akan mengetahui bahwa itu tidak berbeda dari lima khandha1 kita sendiri – tubuh (rūpa), perasaan (vedanā), ingatan (sañña), pemikiran (saṅkhāra) dan kesadaran (viññāṇa). Jika kita memiliki pemahaman ini maka kita memahami Dhamma. Jika kita memahami Dhamma kita memahami lima khandha, bagaimana mereka terus-menerus bergeser dan berubah, tidak pernah berhenti. Jadi apakah berdiri, berjalan, duduk atau berbaring kita harus memiliki sati untuk mengawasi dan menjaga pikiran. Saat kita melihat hal-hal eksternal itu seperti melihat hal-hal internal. Saat kita melihat hal-hal internal itu sama dengan melihat eksternal. Jika kita memahami ini kita bisa mendengar ajaran Sang Buddha. Jika kita memahami ini, kita bisa mengatakan bahwa “sifat-Buddha”, “yang mengetahui”, telah terbentuk. Ia mengetahui eksternal. Ia mengetahui internal. Ia memahami semua hal yang timbul. Saat kita memahami seperti ini, maka duduk di kaki pohon, kita mendengar ajaran Sang Buddha. Berdiri, berjalan, duduk atau berbaring, kita mendengar ajaran Sang Buddha. Melihat, mendengar, mencium, mengecap, menyentuh dan berpikir, kita mendengar ajaran Sang Buddha. Sang Buddha hanyalah “yang mengetahui” ini di dalam pikiran ini. Ia mengetahui Dhamma, ia menyelidiki Dhamma. Bukannya Buddha yang hidup di masa lampau datang untuk berbicara kepada kita, tetapi sifat-Buddha ini, “yang mengetahui” ini timbul. Pikiran menjadi bercahaya. Jika kita mendirikan Buddha di dalam pikiran kita maka kita melihat segalanya, kita merenungkan segalanya, sebagai tidak berbeda dari diri kita sendiri. Kita melihat berbagai binatang, pepohonan, pegunungan dan tanaman rambat sebagai tidak berbeda dari diri kita sendiri. Kita melihat orang miskin dan orang kaya – mereka tidak berbeda dari kita. Orang kulit hitam dan kulit putih – tidak berbeda! Mereka semua memiliki karakteristik yang sama. Seseorang yang memahami seperti ini puas di mana pun dia berada. Dia mendengarkan ajaran Sang Buddha di setiap saat. Jika kita tidak memahami ini, maka meskipun kita menghabiskan seluruh waktu kita mendengarkan ajaran dari para Ajahn, kita tetap tidak akan mengerti artinya. Sang Buddha mengatakan bahwa kecerahan Dhamma hanyalah mengetahui alam2, kenyataan yang ada di sekitar kita, alam yang ada di sini. Jika kita tidak memahami alam ini kita mengalami kekecewaan dan kegembiraan, kita tersesat dalam suasana hati, menimbulkan kesedihan dan penyesalan. Tersesat dalam objek-objek mental adalah tersesat di dalam alam. Saat kita tersesat di dalam alam maka kita tidak tahu Dhamma. Yang Tercerahkan hanya menunjukkan alam ini. Setelah timbul, semua hal berubah dan mati. Barang-barang yang kita buat, seperti piring, mangkuk dan peralatan lainnya, semuanya memiliki karakteristik yang sama. Sebuah mangkuk dibentuk menjadi ada karena suatu sebab, dorongan manusia untuk menciptakan, dan saat kita menggunakannya, ia menjadi tua, pecah dan menghilang. Pohon, gunung dan tanaman rambat juga sama, sampai ke hewan dan manusia. Ketika Aññā Kondañña, murid pertama, mendengar ajaran Sang Buddha untuk pertama kalinya, kesadaran yang dia miliki bukanlah sesuatu yang sangat rumit. Dia hanya melihat bahwa hal apa pun yang dilahirkan, hal itu harus berubah dan menua sebagai kondisi alami dan pada akhirnya ia harus mati. Aññā Kondañña tidak pernah memikirkan ini sebelumnya, atau jika sudah itu tidak sepenuhnya jelas, jadi dia belum melepaskan, dia masih melekat pada khandha. Saat dia duduk dengan penuh perhatian mendengarkan ceramah Sang Buddha, sifat-Buddha timbul di dalam dirinya. Dia menerima semacam “transmisi” Dhamma yang merupakan pengetahuan bahwa semua hal yang berkondisi adalah tidak kekal. Segala sesuatu yang lahir pasti memiliki penuaan dan kematian sebagai akibat yang alami. Perasaan ini berbeda dari apa pun yang pernah dia ketahui sebelumnya. Dia benar-benar menyadari pikirannya, sehingga “Buddha” timbul di dalam dirinya. Pada saat itu Sang Buddha menyatakan bahwa Aññā Kondañña telah menerima “Mata Dhamma”. Apa yang dilihat oleh Mata Dhamma ini? Mata ini melihat bahwa apa pun yang dilahirkan memiliki penuaan dan kematian sebagai akibat yang alami. “Apa pun yang dilahirkan” berarti semuanya! Baik materiel maupun imateriel, semuanya berada dibawah “apa pun yang dilahirkan” ini. Ini mengacu pada semua alam. Seperti tubuh ini misalnya – ia lahir kemudian berlanjut ke kepunahan. Saat ia kecil ia “mati” dari kekecilan ke masa muda. Setelah beberapa waktu ia “mati” dari masa muda dan menjadi paruh baya. Kemudian ia berlanjut ke “mati” dari paruh baya dan mencapai usia tua, pada akhirnya mencapai akhir. Pohon, gunung dan tanaman rambat semuanya mempunyai karakteristik ini. Jadi penglihatan atau pemahaman tentang “yang mengetahui”, dengan jelas memasuki pikiran Aññā Kondañña saat dia duduk di sana. Pengetahuan tentang “apa pun yang dilahirkan” ini menjadi tertanam dengan dalam di dalam pikirannya, memungkinkan dia untuk mencabut kemelekatan terhadap tubuh. Kemelekatan ini adalah sakkāya-diṭṭhi. Ini berarti bahwa dia tidak menganggap tubuh sebagai diri atau makhluk, dia tidak melihatnya dalam istilah “dia” atau “aku”. Dia tidak melekat padanya. Dia melihatnya dengan jelas, dengan demikian mencabut sakkāya-diṭṭhi. Kemudian vicikicchā (keraguan) dihancurkan. Setelah mencabut kemelekatan terhadap tubuh dia tidak meragukan kesadarannya. Sīlabbata parāmāsa3 juga dicabut. Praktiknya menjadi teguh dan lurus. Meskipun tubuhnya berada dalam kesakitan atau demam dia tidak menggenggamnya, dia tidak ragu. Dia tidak ragu karena dia telah mencabut kemelekatan. Menggenggam tubuh ini disebut sīlabbata parāmāsa. Ketika seseorang mencabut pandangan terhadap tubuh sebagai “diri”, kemelekatan dan keraguan akan berakhir. Ketika pandangan terhadap tubuh sebagai “diri” ini timbul di dalam pikiran, kemelekatan dan keraguan mulai tepat di sana. Maka saat Sang Buddha membabarkan Dhamma, Aññā Kondañña membuka mata Dhamma. Mata ini hanyalah “yang mengetahui dengan jelas”. Ia melihat hal-hal dengan berbeda. Ia melihat alam ini. Melihat alam dengan jelas, kemelekatan dicabut dan “yang mengetahui” lahir. Sebelumnya dia tahu tapi dia masih memiliki kemelekatan. Anda dapat mengatakan bahwa dia mengetahui Dhamma tetapi dia masih belum melihatnya, atau dia telah melihat Dhamma tetapi masih belum menyatu dengannya. Pada saat ini Sang Buddha berkata, “Kondañña tahu.” Apa yang dia ketahui? Dia mengetahui alam. Biasanya kita tersesat di dalam alam, seperti halnya tubuh kita ini. Tanah, air, api dan angin bersatu membentuk tubuh ini. Ini adalah aspek alam, objek materiel yang bisa kita lihat dengan mata. Ia hidup bergantung pada makanan, tumbuh dan berubah sampai akhirnya ia mencapai kepunahan. Masuk ke dalam, yang mengawasi tubuh adalah kesadaran – hanya “yang mengetahui” ini, kesadaran tunggal ini. Jika ia menerima melalui mata itu disebut penglihatan. Jika ia menerima melalui telinga itu disebut pendengaran; melalui hidung disebut penciuman; melalui lidah, pengecapan; melalui tubuh, sentuhan; dan melalui pikiran, pemikiran. Kesadaran ini hanya satu tetapi saat ia berfungsi di tempat yang berbeda kita menyebutnya hal yang berbeda. Melalui mata kita menyebutnya satu hal, melalui telinga kita menyebutnya hal lain. Tapi apakah ia berfungsi di mata, telinga, hidung, lidah, tubuh atau pikiran itu hanyalah satu kesadaran. Mengikuti kitab suci kita menyebutnya enam kesadaran, tapi pada kenyataannya hanya ada satu kesadaran yang timbul di enam tempat yang berbeda ini. Ada enam “pintu” tapi satu kesadaran, yaitu pikiran ini. Pikiran ini mampu mengetahui kebenaran alam. Jika pikiran masih memiliki halangan, maka kita katakan ia mengetahui melalui ketaktahuan. Ia mengetahui dengan salah dan ia melihat dengan salah. Mengetahui dengan salah dan melihat dengan salah, atau mengetahui dan melihat dengan benar, itu hanyalah satu kesadaran. Kita menyebutnya pandangan salah dan pandangan benar tapi itu hanya satu hal. Benar dan salah keduanya timbul dari satu tempat ini. Ketika ada pengetahuan salah kita katakan bahwa ketaktahuan menyembunyikan kebenaran. Ketika ada pengetahuan salah maka ada pandangan salah, pikiran salah, perbuatan salah, penghidupan salah – semuanya salah! Dan di sisi lain jalan praktik benar lahir di tempat yang sama ini. Ketika ada yang benar maka yang salah menghilang. Sang Buddha berlatih, menanggung banyak kesulitan dan menyiksa dirinya sendiri dengan berpuasa dan sebagainya, tetapi Beliau menyelidiki dengan mendalam ke dalam pikirannya sampai akhirnya Beliau mencabut ketaktahuan. Semua Buddha tercerahakan dalam pikiran, karena tubuh tidak tahu apa-apa. Anda bisa membiarkannya makan atau tidak, itu tidak masalah, ia bisa mati kapan saja. Semua Buddha berlatih dengan pikiran. Mereka tercerahkan dalam pikiran. Sang Buddha, setelah merenungkan pikirannya, melepaskan dua praktik ekstrem – pemanjaan dalam kesenangan (Kāmasukhalikānuyogo) dan pemanjaan dalam kesakitan (Attakilamathānuyogo) – dan dalam ceramah pertamanya menguraikan Jalan Tengah di antara keduanya. Tetapi kita mendengar ajarannya dan itu bergesekan dengan keinginan kita. Kita tergila-gila dengan kesenangan dan kenyamanan, tergila-gila dengan kebahagiaan, berpikir kita baik, kita bagus – ini adalah pemanjaan dalam kesenangan. Ini bukanlah jalan yang benar. Ketakpuasan, ketaksenangan, ketaksukaan dan kemarahan – ini adalah pemanjaan dalam kesakitan. Ini adalah jalan ekstrem yang harus dihindari oleh seseorang yang berada di jalan praktik. “Jalan” tersebut hanyalah kebahagiaan dan ketakbahagiaan yang timbul. “Yang berada di jalan” adalah pikiran ini, “yang mengetahui”. Jika suasana hati yang baik timbul kita melekat padanya sebagai baik, ini adalah pemanjaan dalam kesenangan. Jika suasana hati yang tidak menyenangkan timbul kita melekat padanya melalui ketaksukaan – ini adalah pemanjaan dalam kesakitan. Ini adalah jalan yang salah, itu bukanlah jalan seorang meditator. Itu adalah jalan duniawi, yang mencari kesenangan dan kebahagiaan dan menghindari ketaknyamanan dan penderitaan.

Orang bijak mengetahui jalan yang salah tetapi mereka melepaskannya, mereka meninggalkannya. Mereka tidak tergerak oleh kesenangan dan kesakitan, kebahagiaan dan penderitaan. Hal-hal ini timbul tapi mereka yang mengetahui tidak melekat padanya, mereka melepaskannya sesuai dengan sifatnya. Ini adalah pandangan benar. Ketika seseorang mengetahui ini sepenuhnya, ada pembebasan. Kebahagiaan dan ketakbahagiaan tidak mempunyai arti bagi Yang Tercerahkan. Sang Buddha mengatakan bahwa Yang Tercerahkan jauh dari kekotoran batin. Ini tidak berarti bahwa mereka lari dari kekotoran batin, mereka tidak lari ke mana pun. Kekotoran batin ada di sana. Dia membandingkannya dengan daun teratai di kolam air. Daun dan air hidup bersama-sama, mereka berkontak namun daun tidak menjadi lembab. Airnya seperti kekotoran batin dan daun teratai adalah pikiran yang tercerahkan. Pikiran orang yang berlatih juga sama; ia tidak lari ke mana pun, ia tetap di sana. Kebaikan, kejahatan, kebahagiaan dan ketakbahagiaan, benar dan salah timbul, dan dia mengetahui semuanya. Meditator hanya mengetahui mereka, mereka tidak memasuki pikirannya. Artinya, dia tidak memiliki kemelekatan. Dia hanyalah yang mengalami. Mengatakan dia hanya mengalami adalah bahasa umum kita. Dalam bahasa Dhamma kita katakan dia membiarkan pikirannya mengikuti Jalan Tengah. Kegiatan-kegiatan kebahagiaan, ketakbahagiaan dan sebagainya ini terus-menerus timbul karena mereka adalah karakteristik dunia. Sang Buddha tercerahkan di dunia, Beliau merenungkan dunia. Jika Beliau tidak merenungkan dunia, jika Beliau tidak melihat dunia, Beliau tidak mungkin naik di atasnya. Kecerahan Sang Buddha adalah kecerahan dunia ini. Dunia masih ada: untung dan rugi, pujian dan kritik, ketenaran dan kehinaan, kebahagiaan dan ketakbahagiaan semuanya masih ada. Jika tidak ada hal-hal ini, tidak akan ada apa pun untuk menjadi tercerahkan! Apa yang Beliau ketahui hanyalah dunia, yang mengelilingi hati manusia. Jika orang mengikuti hal-hal ini, mencari pujian dan ketenaran, untung dan kebahagiaan, dan berusaha menghindari kebalikannya, mereka tenggelam di bawah beban dunia. Untung dan rugi, pujian dan kritikan, ketenaran dan kehinaan, kebahagiaan dan ketakbahagiaan – ini adalah dunia. Orang yang tersesat di dalam dunia tidak mempunyai jalan untuk melarikan diri, dunia menguasainya. Dunia ini mengikuti Hukum Dhamma sehingga kita menyebutnya dhamma duniawi. Dia yang hidup dalam dhamma duniawi disebut makhluk duniawi. Dia hidup dikelilingi oleh kebingungan. Oleh karena itu Sang Buddha mengajarkan kita untuk mengembangkan jalan. Kita bisa membaginya menjadi moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan. Kita harus mengembangkannya sampai sempurna. Ini adalah jalan praktik yang menghancurkan dunia. Di manakah dunia ini? Itu ada di dalam pikiran makhluk yang tergila-gila padanya! Tindakan melekat pada pujian, keuntungan, ketenaran, kebahagiaan dan ketakbahagiaan disebut “dunia”. Ketika hal-hal ini ada di dalam pikiran, maka dunia timbul, makhluk duniawi lahir. Dunia lahir karena hasrat. Hasrat adalah tempat kelahiran dari semua dunia. Untuk mengakhiri hasrat berarti mengakhiri dunia. Praktik moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan kita tidak lain disebut jalan utama berunsur delapan. Jalan utama berunsur delapan ini dan delapan dhamma duniawi adalah sepasang. Bagaimana bisa mereka adalah sepasang? Jika kita berbicara menurut kitab suci, kita katakan bahwa untung dan rugi, pujian dan kritikan, ketenaran dan kehinaan, kebahagiaan dan ketakbahagiaan adalah delapan dhamma duniawi. Pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, daya upaya benar, perhatian benar dan konsentrasi benar: ini adalah jalan utama berunsur delapan. Dua jalan berunsur delapan ini ada di tempat yang sama. Delapan dhamma duniawi ada di dalam pikiran ini, bersama dengan “yang mengetahui”; tetapi “yang mengetahui” ini memiliki penghalang, sehingga ia mengetahui secara salah dan dengan demikian menjadi dunia. Hanya yang satu ini “yang mengetahui”, tidak ada yang lain. Sifat-Buddha masih belum timbul dalam pikiran ini, ia masih belum menarik dirinya keluar dari dunia. Pikiran seperti ini adalah dunia. Ketika kita menerapkan jalan, ketika kita melatih tubuh dan ucapan kita, semua itu dilakukan dalam pikiran yang sama itu. Itu di tempat yang sama sehingga mereka melihat satu sama lain; jalan melihat dunia. Jika kita berlatih dengan pikiran kita ini kita menemukan kemelekatan ini pada pujian, ketenaran, kesenangan dan kebahagiaan, kita melihat keterikatan pada dunia. Sang Buddha berkata, “Anda harus mengetahui dunia. Ia berkilau seperti kereta kerajaan raja. Orang bodoh terpesona, tapi orang bijak tidak tertipu.” Bukannya Beliau ingin kita pergi ke seluruh dunia untuk melihat semuanya, mempelajari segala sesuatu tentangnya. Beliau hanya ingin kita memperhatikan pikiran ini yang melekat pada dunia. Ketika Sang Buddha menyuruh kita untuk melihat dunia Beliau tidak ingin kita terjebak di dalamnya, Beliau ingin kita menyelidikinya, karena dunia lahir tepat di dalam pikiran ini. Duduk di bawah naungan pohon anda bisa melihat dunia. Ketika ada hasrat, dunia menjadi ada tepat di sana. Keinginan adalah tempat kelahiran dunia. Memadamkan keinginan berarti memadamkan dunia. Saat kita duduk bermeditasi kita ingin pikiran menjadi tenang, tapi ia tidak tenang. Kenapa begini? Kita tidak ingin berpikir tapi kita berpikir. Ini seperti seseorang yang pergi duduk di atas sarang semut: semutnya terus saja menggigitnya. Ketika pikiran adalah dunia maka bahkan duduk diam dengan mata kita tertutup, yang kita lihat hanyalah dunia. Kesenangan, kesedihan, kecemasan, kebingungan – semuanya timbul. Kenapa begini? Itu karena kita masih belum menyadari Dhamma. Jika pikiran seperti ini, meditator tidak bisa menanggung dhamma duniawi, dia tidak menyelidiki. Itu sama saja seolah-olah dia sedang duduk di atas sarang semut. Semut akan menggigit karena dia berada di atas rumah mereka! Jadi apa yang harus dia lakukan? Dia harus mencari racun atau menggunakan api untuk mengusir mereka. Tapi kebanyakan praktisi Dhamma tidak melihatnya seperti itu. Jika mereka merasa puas mereka hanya mengikuti kepuasan, merasa tidak puas mereka hanya mengikuti itu. Mengikuti dhamma duniawi pikiran menjadi dunia. Terkadang kita mungkin berpikir, “Oh, aku tidak bisa melakukannya, itu di luar kemampuanku,” jadi kita bahkan tidak mencoba. Ini karena pikiran penuh dengan kekotoran batin; dhamma duniawi mencegah jalan untuk timbul. kita tidak dapat bertahan dalam pengembangan moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan. Ini sama seperti orang itu yang duduk di atas sarang semut. Dia tidak bisa berbuat apa-apa, semut menggigit dan merayap di sekujur tubuhnya, dia tenggelam dalam kebingungan dan kegelisahan. Dia tidak bisa membebaskan tempat duduknya dari bahaya, jadi dia hanya duduk saja di sana, menderita. Begitu pula dengan latihan kita. dhamma duniawi ada di dalam pikiran makhluk duniawi. Saat makhluk-makhluk itu ingin menemukan ketenangan, dhamma duniawi timbul tepat di sana. Ketika pikiran bodoh, hanya ada kegelapan. Ketika pengetahuan timbul, pikiran tercerahkan, karena ketaktahuan dan pengetahuan lahir di tempat yang sama. Ketika ketaktahuan telah timbul, pengetahuan tidak bisa masuk, karena pikiran telah menerima ketaktahuan. Ketika pengetahuan telah timbul, ketaktahuan tidak bisa tinggal. Maka Sang Buddha menasihati murid-muridnya untuk berlatih dengan pikiran, karena dunia lahir di dalam pikiran ini, delapan dhamma duniawi ada di sana. Delapan jalan utama berunsur delapan, yaitu, penyelidikan melalui meditasi samatha dan vipassanā, usaha kita yang tekun dan kebijaksanaan yang kita kembangkan, semua hal ini melonggarkan cengkeraman dunia. Kemelekatan, kebencian dan delusi (lobha, dosa dan moha) menjadi semakin ringan dan semakin ringan, kita mengetahui mereka seperti itu. Jika kita mengalami ketenaran, keuntungan materi, pujian, kebahagiaan atau penderitaan, kita menyadarinya. Kita harus mengetahui hal-hal ini sebelum kita bisa melampaui dunia, karena dunia ada di dalam diri kita. Ketika kita terbebas dari hal-hal ini, itu seperti meninggalkan rumah. Saat kita memasuki sebuah rumah, perasaan seperti apa yang kita miliki? Kita merasa bahwa kita datang melalui pintu dan memasuki rumah. Ketika kita meninggalkan rumah, kita merasa bahwa kita telah meninggalkannya, kita datang ke dalam sinar matahari yang cerah, tidak gelap seperti di dalam. Tindakan pikiran memasuki dhamma duniawi itu seperti memasuki rumah. Pikiran yang telah menghancurkan dhamma duniawi itu seperti orang yang telah meninggalkan rumah. Jadi praktisi Dhamma harus menjadi orang yang menyaksikan sendiri Dhamma. Dia mengetahui sendiri apakah dhamma duniawi telah pergi atau belum, apakah jalan telah dikembangkan atau belum. Ketika jalan telah dikembangkan dengan baik, ia membersihkan dhamma duniawi. Ia menjadi semakin kuat dan semakin kuat. Pandangan benar tumbuh saat pandangan salah berkurang, sampai akhirnya jalan menghancurkan kekotoran batin – antara itu atau kekotoran batin akan menghancurkan jalan! Pandangan benar dan pandangan salah, hanya ada dua cara ini. Pandangan salah mempunyai triknya juga, anda tahu. Ia mempunyai kebijaksanaannya – tetapi itu adalah kebijaksanaan yang menyesatkan. Meditator yang mulai mengembangkan jalan mengalami keterpisahan. Pada akhirnya seolah-olah dia adalah dua orang: satu di dunia dan yang lain di jalan. Mereka terbagi, mereka terpisah. Setiap kali dia menyelidiki, ada keterpisahan ini, dan itu berlanjut dan terus berlanjut sampai pikiran mencapai pandangan terang, vipassanā. Atau mungkin itu adalah vipassanū4! Setelah berusaha untuk membangun hasil yang bermanfaat dalam latihan kita, melihatnya, kita melekat padanya. Jenis kemelekatan ini berasal dari keinginan kita untuk mendapatkan sesuatu dari latihan. Ini adalah vipassanū, kebijaksanaan kekotoran batin (yaitu “kebijaksanaan yang tercemar”). Beberapa orang mengembangkan kebaikan dan melekat padanya, mereka mengembangkan kemurnian dan melekat pada itu, atau mereka mengembangkan pengetahuan dan melekat pada itu. Tindakan melekat pada kebaikan atau pengetahuan itu adalah vipassanū, menyusup ke dalam latihan kita. Jadi saat anda mengembangkan vipassanā, berhati-hatilah! Waspadalah terhadap vipassanū, karena mereka sangat dekat kadang anda tidak dapat membedakannya. Tetapi dengan pandangan benar kita bisa melihat mereka berdua denga jelas. Jika itu adalah vipassanū kadang kala akan ada penderitaan yang timbul sebagai akibatnya. Jika itu benar-benar vipassanā, tidak ada penderitaan. Ada ketenangan. Baik kebahagiaan dan ketakbahagiaan dibungkam. Ini bisa anda lihat sendiri. Latihan ini membutuhkan daya tahan. Beberapa orang, ketika mereka datang untuk berlatih, tidak ingin diganggu oleh apa pun, mereka tidak ingin gesekan. Tapi ada gesekan sama seperti sebelumnya. Kita harus berusaha untuk menemukan akhir dari gesekan melalui gesekan itu sendiri.


Jadi, jika ada gesekan dalam latihan anda, maka itu benar. Jika tidak ada gesekan, itu tidak benar, anda hanya makan dan tidur sebanyak yang anda mau. Ketika anda ingin pergi ke mana pun atau mengatakan apa pun, anda hanya mengikuti keinginan anda. Ajaran Sang Buddha menggesek. Yang melampaui duniawi bertentangan dengan duniawi. Pandangan benar menentang pandangan salah, kemurnian menentang ketakmurnian. Ajaran bergesekan dengan hasrat kita. Ada sebuah cerita dalam kitab suci mengenai Sang Buddha, sebelum Beliau tercerahkan. Pada saat itu, setelah menerima sepiring nasi, Beliau mengapungkan piring itu di atas aliran air, dengan tekad di dalam pikirannya, “Jika saya bisa menjadi tercerahkan, semoga piring ini mengapung melawan arus air.” Piring itu mengapung melawan arus! Piring itu adalah pandangan benar Sang Buddha, atau sifat-Buddha yang membuatnya sadar. Ia tidak mengikuti hasrat makhluk biasa. Ia mengapung melawan arus pikirannya, ia bertentangan dalam segala hal. Akhir-akhir ini, dengan cara yang sama, ajaran Sang Buddha bertentangan dengan hati kita. Orang-orang ingin menikmati keserakahan dan kebencian tetapi Sang Buddha tidak membiarkannya. Mereka ingin teperdaya tetapi Sang Buddha menghancurkan delusi. Jadi pikiran Sang Buddha bertentangan dengan pikiran makhluk duniawi. Dunia menyebut tubuh indah, Beliau mengatakan itu tidak indah. Mereka bilang tubuh milik kita, Beliau mengatakan tidak. Mereka bilang itu substansial, Beliau mengatakan tidak. Pandangan benar berada di atas dunia. Makhluk duniawi hanya mengikuti arus aliran. Melanjutkan, saat Sang Buddha bangkit dari tempat itu, Beliau menerima delapan genggam rumput dari seorang Brahmin. Arti sebenarnya dari ini adalah bahwa delapan genggam rumput adalah delapan dhamma duniawi – untung dan rugi, pujian dan kritikan, ketenaran dan kehinaan, kebahagiaan dan ketakbahagiaan. Sang Buddha, setelah menerima rumput ini, bertekad untuk duduk di atasnya dan memasuki samādhi. Tindakan duduk di atas rumput itu sendiri adalah samādhi, artinya, pikirannya berada di atas dhamma duniawi, menaklukkan dunia sampai ia menyadari transenden.


dhamma duniawi menjadi seperti sampah baginya, mereka kehilangan semua makna. Beliau duduk di atas mereka tetapi mereka tidak menghalangi pikirannya sama sekali. Iblis datang untuk mencoba mengalahkannya, tetapi Beliau duduk saja di sana dalam samādhi, menaklukkan dunia, sampai akhirnya Beliau menjadi tercerahkan pada Dhamma dan sepenuhnya mengalahkan Māra5. Artinya, Beliau mengalahkan dunia. Jadi praktik mengembangkan jalan adalah yang membunuh kekotoran batin. Orang akhir-akhir ini mempunyai sedikit keyakinan. Setelah berlatih satu atau dua tahun mereka ingin sampai di sana, dan mereka ingin pergi dengan cepat. Mereka tidak mempertimbangkan bahwa Sang Buddha, guru kita, meninggalkan rumah selama enam tahun penuh sebelum Beliau menjadi tercerahkan. Inilah kenapa kita mempunyai “kebebasan dari ketergantungan6”. Menurut kitab suci, seorang bhikkhu harus melewati setidaknya lima masa vassa sebelum dia dianggap mampu hidup sendiri. Pada saat ini dia telah belajar dan berlatih dengan cukup, dia memiliki pengetahuan yang memadai, dia memiliki keyakinan, perilakunya baik. Saya katakan seseorang yang berlatih selama lima tahun itu kompeten. Tetapi dia harus benar-benar berlatih, bukan hanya “nongkrong” dalam jubah selama lima tahun. Dia harus benar-benar menjaga latihan, benar-benar melakukannya. Sampai anda mencapai lima masa vassa, anda mungkin bertanya-tanya, “Apakah “kebebasan dari ketergantungan” yang Sang Buddha bicarakan ini?” Anda harus benar-benar berusaha berlatih selama lima tahun kemudian anda akan mengetahui sendiri kualitas-kualitas yang Beliau maksudkan. Setelah masa itu anda seharusnya kompeten, kompeten dalam pikiran, seseorang yang pasti. Setidaknya, setelah lima masa vassa, dia seharusnya berada pada tahap pertama kecerahan. Ini bukan hanya lima masa vassa di tubuh tapi lima masa vassa dalam pikiran juga. Bhikkhu itu memiliki rasa takut akan kesalahan, rasa malu dan kerendahan hati. Dia tidak berani berbuat salah baik di depan orang atau di belakang mereka, di tempat terang ataupun gelap. Kenapa tidak? Karena dia telah mencapai Buddha, “yang mengetahui”. Dia mengambil perlindungan dalam Buddha, Dhamma dan Saṅgha.


Untuk benar-benar bergantung pada Buddha, Dhamma dan Saṅgha kita harus melihat Buddha. Apa gunanya mengambil perlindungan tanpa mengetahui Buddha? Jika kita masih belum mengetahui Buddha, Dhamma dan Saṅgha, kita mengambil perlindungan dalam mereka hanyalah tindakan tubuh dan ucapan, pikiran masih belum mencapai mereka. Setelah pikiran mencapai mereka, kita tahu seperti apa Buddha, Dhamma dan Saṅgha. Kemudian kita benar-benar bisa berlindung pada mereka, karena hal-hal ini timbul di dalam pikiran kita. Di mana pun kita berada kita akan memiliki Buddha, Dhamma dan Saṅgha di dalam diri kita.


Seseorang yang seperti ini tidak berani melakukan perbuatan jahat. Inilah mengapa kita katakan bahwa seseorang yang telah mencapai tahap pertama kecerahan tidak akan lagi dilahirkan di keadaan-keadaan menyedihkan. Pikirannya pasti, dia telah memasuki Arus, tidak ada keraguan baginya. Jika dia tidak mencapai kecerahan penuh hari ini, itu pasti akan terjadi suatu hari di masa depan. Dia mungkin melakukan kesalahan tetapi tidak cukup untuk mengirimnya ke Neraka, artinya, dia tidak mundur ke tindakan tubuh dan ucapan yang jahat, dia tidak mampu melakukannya. Jadi kita katakan orang itu telah memasuki Kelahiran Mulia. Dia tidak bisa kembali. Ini adalah sesuatu yang harus anda lihat dan ketahui sendiri dalam kehidupan ini juga.


Akhir-akhir ini, kita yang masih memiliki keraguan mengenai latihan mendengar hal-hal ini dan berkata, “Oh, bagaimana aku bisa melakukannya?” Terkadang kita merasa bahagia, kadang susah, senang atau tidak senang. Untuk alasan apa? Karena kita tidak mengetahui Dhamma. Dhamma apa? Hanya Dhamma alam, kenyataan di sekitar kita, tubuh dan pikiran.


Sang Buddha berkata, “Jangan melekat pada lima khandha, lepaskan mereka, tinggalkan mereka!” Kenapa kita tidak bisa melepaskan mereka? Karena kita tidak melihat mereka atau mengetahui mereka sepenuhnya. Kita melihat mereka sebagai diri kita, kita melihat diri kita di dalam khandha. Kita melihat kebahagiaan dan penderitaan sebagai diri kita, kita melihat diri kita dalam kebahagiaan dan penderitaan. Kita tidak bisa memisahkan diri kita dari mereka. Itu artinya kita tidak bisa melihat Dhamma, kita tidak bisa melihat alam.


Kebahagiaan, ketakbahagiaan, kesenangan dan kesedihan – tidak satu pun dari mereka adalah kita tapi kita menganggapnya begitu. Hal-hal ini berkontak dengan kita dan kita melihat gumpalan attā, atau diri. Di mana saja ada diri, di sana anda akan menemukan kebahagiaan, ketakbahagiaan dan semua yang lainnya. Jadi Sang Buddha mengatakan untuk menghancurkan “gumpalan” diri ini, yaitu menghancurkan sakkāya-diṭṭhi. Ketika attā (diri) dihancurkan, anattā (tiada-diri) secara alami timbul.


Kita menganggap alam sebagai kita dan diri kita sebagai alam, sehingga kita tidak benar-benar mengetahui alam. Jika baik kita tertawa, jika buruk kita menangisinya. Tetapi alam hanyalah saṅkhārā. Seperti yang kita ucapkan dalam rapalan, “Tesaṃ vūpasamo sukho” – menenangkan saṅkhārā adalah kebahagiaan sejati. Bagaimana kita menenangkan mereka? Kita cukup menyingkirkan kemelekatan dan melihat mereka sebagai mana mereka adanya.


Jadi ada kebenaran di dunia ini. Pohon, gunung dan tanaman rambat semuanya hidup sesuai dengan kebenarannya masing-masing, mereka lahir dan mati mengikuti sifat mereka. Hanya kita manusia yang tidak benar. Kita melihatnya dan membuat keributan tentangnya, tetapi alam itu tanpa perasaan, ia hanya sebagaimana ia adanya. Kita tertawa, kita menangis, kita membunuh, tetapi alam tetap dalam kebenaran, ia adalah kebenaran. Tidak peduli seberapa bahagia atau sedihnya kita, tubuh ini hanya mengikuti sifatnya sendiri. Ia lahir, ia tumbuh dan menua, berubah dan bertambah tua setiap waktu. Ia mengikuti alam dengan cara ini. Siapa pun yang menganggap tubuh sebagai dirinya sendiri dan membawanya ke mana-mana bersama dengannya akan menderita.


Jadi Aññā Kondañña mengenali “apa pun yang lahir” ini dalam segala hal, baik itu materiel atau imateriel. Pandangannya tentang dunia berubah. Dia melihat kebenaran. Setelah bangkit dari tempat duduknya dia membawa kebenaran itu bersamanya. Aktivitas kelahiran dan kematian berlanjut tapi dia hanya melihat saja. Kebahagiaan dan ketakbahagiaan timbul dan berlalu tetapi dia hanya memperhatikan mereka saja. Pikirannya konstan. Dia tidak lagi jatuh ke dalam keadaan-keadaan menyedihkan. Dia tidak terlalu senang atau terlalu kesal tentang hal-hal ini. Pikirannya berdiri dengan kukuh dalam aktivitas perenungan.


Nah! Aññā Kondañña telah menerima Mata Dhamma. Dia melihat alam, yang kita sebut saṅkhārā, menurut kebenaran. Kebijaksanaan adalah yang mengetahui kebenaran saṅkhārā. Ini adalah pikiran yang mengetahui dan melihat Dhamma, pikiran yang telah melepaskan.


Sebelum kita melihat Dhamma kita harus memiliki kesabaran dan pengendalian diri. Kita harus bertahan, kita harus melepaskan! Kita harus memupuk ketekunan dan daya tahan. Kenapa kita harus memupuk ketekunan? Karena kita malas! Kenapa kita harus mengembangkan daya tahan? Karena kita tidak tahan! Begitulah adanya. Tapi ketika kita sudah mantap dalam praktik kita, sudah selesai dengan kemalasan, maka kita tidak perlu menggunakan ketekunan. Jika kita sudah mengetahui kebenaran dari semua keadaan mental, jika kita tidak menjadi bahagia atau tidak bahagia karenanya, kita tidak perlu melatih ketahanan, karena pikiran sudah menjadi Dhamma. “Yang mengetahui” telah melihat Dhamma, dia adalah Dhamma.

Ketika pikiran adalah Dhamma, ia berhenti. Ia telah mencapai ketenangan. Tidak perlu lagi melakukan sesuatu yang istimewa, karena pikiran sudah menjadi Dhamma. Bagian luar adalah Dhamma, bagian dalam adalah Dhamma. “Yang mengetahui” adalah Dhamma. Keadaan adalah Dhamma dan yang mengetahui keadaan adalah Dhamma. Ia satu. Ia bebas.


Alam ini tidak lahir, ia tidak menua atau sakit. Alam ini tidak mati. Alam ini tidak bahagia atau sedih, tidak besar atau kecil, berat atau ringan; tidak pendek atau panjang, hitam atau putih. Tidak ada apa pun yang dapat anda bandingkan. Tidak ada konvensi yang dapat menjangkaunya. Inilah kenapa kita katakan Nibbāna tidak memiliki warna. Semua warna hanyalah konvensi. Keadaan yang berada di luar dunia berada di luar jangkauan konvensi duniawi.


Jadi Dhamma adalah apa yang berada di luar dunia. Ini adalah apa yang harus dilihat sendiri oleh setiap orang. Itu di luar bahasa. Anda tidak bisa menuangkannya ke dalam kata-kata. Anda hanya bisa berbicara mengenai cara-cara dan sarana untuk menyadarinya. Orang yang telah melihatnya sendiri telah menyelesaikan pekerjaannya.



Diterjemahkan oleh: Jayananda Gotama




1. Khanda: lima “kelompok” yang membentuk apa yang kita sebut “seseorang"


2. Alam mengacu pada semua hal, mental dan fisik, bukan hanya pohon, hewan, dll.


3. Sīlabbata parāmāsa secara tradisional diterjemahkan sebagai kemelekatan pada ritus dan ritual. Di sini Yang Mulia Ajahn menghubungkannya, bersama dengan keraguan, khususnya dengan tubuh. Tiga hal ini, sakkāya-diṭṭhi, vicikicchā, dan sīlabbata parāmāsa, adalah tiga pertama dari sepuluh “belenggu” yang dilepaskan pada pandangan sekilas pertama pada Kecerahan, dikenal sebagai “Pemasuk Arus”. Pada Kecerahan penuh, semua sepuluh “belenggu” telah terlampaui.


4. Vipassanūpakkilesa – ketidaksempurnaan pandangan terang; Kekotoran batin halus yang muncul dari latihan meditasi dan bisa membuat seseorang percaya bahwa dia telah menyelesaikan jalan. Daftar tanda-tanda yang umum mencakup sepuluh: cahaya, pengetahuan psikis, kegembiraan, ketenteraman, kesenangan, keyakinan ekstrem, usaha berlebihan, obsesi, ketidakpeduliaan, dan kepuasan.


5. Māra (Sang Penggoda), personifikasi Buddhis dari kejahatan. Bagi meditator itu adalah semua yang menghalangi pencarian kecerahan.


6. Seorang bhikkhu junior diharapkan untuk mengambil “ketergantungan”, yaitu, dia hidup di bawah bimbingan seorang bhikkhu senior, setidaknya selama lima tahun.

bottom of page