top of page

Membaca Pikiran Alami - Bab VII | Bodhinyana

Updated: Feb 3, 2022


Sebuah ceramah informal yang diberikan kepada sekelompok bhikkhu yang baru ditahbiskan setelah pembacaan malam, di tengah masa vassa, 1978.

Cara latihan kita adalah melihat dengan teliti pada hal-hal dan membuatnya jelas. Kita gigih dan konstan, namun tidak tergesah-gesah atau terburu-buru. Kita juga tidak terlalu lambat. Ini perihal secara bertahap merasakan cara kita dan menyatukannya. Namun, semua penyatuan ini berjalan menuju sesuatu, ada maksud dari latihan kita. Bagi kebanyakan dari kita, ketika kita pertama kali mulai berlatih, itu tidak lain adalah nafsu. Kita mulai berlatih karena keinginan. Pada tahap ini keinginan kita adalah keinginan dengan cara yang salah. Artinya, ini menyesatkan. Ini adalah keinginan bercampur dengan pengertian salah. Jika keinginan tidak bercampur dengan pengertian salah seperti ini, kita katakan bahwa itu adalah keinginan dengan kebijaksanaan (paññā)1. Ini tidak menyesatkan – ini adalah keinginan dengan pengertian benar. Dalam kasus seperti ini kita katakan bahwa itu disebabkan oleh pāramī atau akumulasi masa lalu seseorang. Namun, ini tidak terjadi pada semua orang. Beberapa orang tidak ingin memiliki keinginan, atau mereka ingin tidak memiliki keinginan, karena mereka berpikir bahwa latihan kita diarahkan ke tidak menginginkan. Namun, jika tidak ada keinginan, maka tidak ada cara untuk berlatih. Kita bisa melihat ini sendiri. Sang Buddha dan semua murid-muridnya berlatih untuk mengakhiri kekotoran batin. Kita harus ingin berlatih dan harus ingin mengakhiri kekotoran batin. Kita harus ingin memiliki ketenangan pikiran dan ingin tidak memiliki kebingungan. Namun, jika keinginan ini bercampur dengan pengertian salah, maka ini hanya akan menambah lebih banyak kesulitan bagi kita. Jika kita jujur tentang hal ini, kita benar-benar tidak tahu apa-apa sama sekali. Atau, apa yang kita ketahui tidak ada artinya, karena kita tidak dapat menggunakannya dengan benar. Semua orang, termasuk Sang Buddha, memulai seperti ini, dengan keinginan untuk berlatih – keinginan untuk memiliki ketenangan pikiran dan keinginan untuk tidak memiliki kebingungan dan penderitaan. Dua jenis keinginan ini memiliki nilai yang sama persis. Jika tidak dimengerti, maka keinginan untuk terbebas dari kebingungan dan tidak ingin memiliki penderitaan adalah kekotoran batin. Itu adalah menginginkan dengan cara yang bodoh – nafsu tanpa kebijaksanaan. Dalam latihan kita, kita melihat keinginan ini antara sebagai pemanjaan indra atau penyiksaan diri. Tepat dalam konflik ini, hanya dilema ini, guru kita, Sang Buddha, terjebak. Beliau mengikuti banyak cara latihan yang hanya berakhir di dua ekstrem ini. Akhir-akhir ini kita juga sama persis. Kita masih menderita oleh dualitas ini, dan karenanya kita terus jatuh dari Jalan. Namun, beginilah kita harus memulai. Kita mulai sebagai makhluk duniawi, sebagai makhluk dengan kekotoran batin, dengan keinginan tanpa kebijaksanaan, hasrat tanpa pengertian benar. Jika kita tidak mempunyai pengertian yang benar, maka kedua jenis keinginan itu berjalan menentang kita. Apakah itu keinginan atau tidak menginginkan, itu tetaplah nafsu keinginan (taṇhā). Jika kita tidak memahami kedua hal ini maka kita tidak akan tahu bagaimana menghadapi mereka ketika mereka timbul. Kita akan merasa bahwa maju itu salah dan mundur itu salah, namun kita tidak bisa berhenti. Apa pun yang kita lakukan kita hanya menemukan lebih banyak keinginan. Ini karena kurangnya kebijaksanaan dan karena nafsu keinginan. Tepat di sini, dengan keinginan dan tidak menginginkan ini, kita bisa memahami Dhamma. Dhamma yang kita cari ada tepat di sini, tapi kita tidak melihatnya. Malah kita bersikeras dalam upaya kita untuk berhenti menginginkan. Kita ingin hal-hal berjalan dengan cara tertentu dan bukan dengan cara lain. Atau, kita ingin mereka tidak berjalan dengan cara tertentu, tapi dengan cara lain. Sesungguhnya kedua hal ini sama saja. Mereka adalah bagian dari dualitas yang sama. Mungkin kita tidak menyadari bahwa Sang Buddha dan semua murid-muridnya memiliki keinginan seperti ini. Namun Sang Buddha mengerti tentang keinginan dan tidak menginginkan. Beliau mengerti bahwa itu hanyalah aktivitas pikiran, bahwa hal-hal seperti itu hanya muncul dalam sekejap dan kemudian menghilang. Keinginan-keinginan semacam ini terus berlangsung sepanjang waktu. Ketika ada kebijaksanaan, kita tidak mengidentifikasikannya – kita bebas dari kemelekatan. Apakah keinginan atau tidak menginginkan, kita hanya melihatnya sebagaimana ia adanya. Pada kenyataannya itu hanyalah aktivitas pikiran alami. Ketika kita melihat lebih saksama, kita melihat dengan jelas bahwa memang demikian adanya. Kebijaksanaan Pengalaman Sehari-hari


Jadi di sinilah latihan perenungan kita akan membawa kita pada pemahaman. Mari kita ambil sebuah contoh, contoh seorang nelayan yang menarik jalanya dengan ikan besar di dalamnya. Bagaimana menurut anda yang dia rasakan tentang menarik jala itu? Jika dia takut kalau ikannya akan melarikan diri, dia akan tergesah-gesah dan mulai berjuang dengan jalanya, meraih dan menariknya. Sebelum dia menyadarinya, ikan besar itu telah melarikan diri – dia berusaha terlalu keras. Pada zaman dahulu mereka akan berbicara seperti ini. Mereka mengajarkan bahwa kita harus melakukannya secara bertahap, dengan hati-hati mengumpulkannya tanpa kehilangannya. Demikian juga dengan latihan kita; kita secara bertahap merasakannya, dengan hati-hati mengumpulkannya tanpa kehilangannya. Kadang-kadang bisa saja kita tidak ingin melakukannya. Mungkin kita tidak ingin melihat atau mungkin kita tidak ingin tahu, tetapi kita tetap melakukannya. Kita terus merasakannya. Inilah latihan: jika kita merasa ingin melakukannya, kita melakukannya, dan jika kita merasa tidak ingin melakukannya, kita melakukannya sama juga. Kita terus melakukannya. Jika kita antusias dengan latihan kita, kekuatan keyakinan kita akan memberikan energi pada apa yang kita lakukan. Tetapi pada tahap ini kita masih tanpa kebijaksanaan. Meskipun kita sangat energik, kita tidak akan memperoleh banyak manfaat dari latihan kita. Kita mungkin melanjutkannya untuk waktu yang lama kemudian suatu perasaan timbul bahwa kita tidak akan menemukan Jalan. Kita mungkin merasa bahwa kita tidak bisa menemukan kedamaian dan ketenangan, atau kita tidak cukup dibekali untuk melakukan latihan. Atau mungkin kita merasa bahwa Jalan ini tidak mungkin lagi. Jadi kita menyerah! Pada titik ini kita harus sangat, sangat berhati-hati. Kita harus menggunakan kesabaran dan daya tahan yang besar. Seperti menarik ikan besar – kita secara bertahap merasakannya. Kita dengan hati-hati menariknya. Perjuangannya tidak akan terlalu sulit, jadi tanpa henti kita terus menariknya. Pada akhirnya, setelah beberapa waktu, ikan itu menjadi lelah dan berhenti berjuang dan kita bisa menangkapnya dengan mudah. Biasanya beginilah yang terjadi, kita berlatih secara bertahap mengumpulkannya. Dengan cara inilah kita melakukan perenungan kita. Jika kita tidak memiliki pengetahuan atau pelajaran tertentu dalam aspek teoretis dari ajaran, kita merenung sesuai dengan pengalaman kita sehari-hari. Kita menggunakan pengetahuan yang sudah kita miliki, pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman kita sehari-hari. Pengetahuan semacam ini alami bagi pikiran. Sebenarnya, apakah kita mempelajarinya atau tidak, kita sudah memiliki kenyataan pikiran tepat di sini. Pikiran adalah pikiran apakah kita sudah mempelajarinya atau tidak. Inilah kenapa kita katakan bahwa apakah Sang Buddha lahir di dunia atau tidak, semuanya sebagaimana adanya. Semuanya sudah ada sesuai dengan sifatnya sendiri. Kondisi alami ini tidak berubah, juga tidak pergi ke mana-mana. Ini memang demikian. Ini disebut saccadhamma. Namun, jika kita tidak mengerti tentang saccadhamma ini, kita tidak akan mampu mengenalinya. Jadi kita berlatih perenungan dengan cara ini. Jika kita tidak terlalu ahli dalam kitab suci, kita mengambil pikiran itu sendiri untuk belajar dan membaca. Terus-menerus kita merenung2, dan pemahaman mengenai sifat pikiran akan secara bertahap timbul. Kita tidak perlu memaksakan apa pun.

Upaya terus-menerus


Sampai kita mampu menghentikan pikiran kita, sampai kita mencapai ketenangan, pikiran akan terus berjalan seperti sebelumnya. Untuk alasan inilah guru berkata, “Terus lakukan saja, teruslah berlatih!” Mungkin kita berpikir, “Kalau aku masih belum mengerti, bagaimana aku bisa melakukannya?” Sampai kita mampu berlatih dengan benar, kebijaksanaan tidak timbul. Jadi kita katakan teruskan saja. Jika kita berlatih tanpa henti, kita akan mulai berpikir tentang apa yang sedang kita lakukan. Kita akan mulai mempertimbangkan latihan kita. Tidak ada yang terjadi secara instan, jadi pada awalnya kita tidak bisa melihat hasil apa pun dari latihan kita. Ini seperti contoh yang sering saya berikan kepada kalian tentang orang yang mencoba membuat api dengan menggosokkan dua batang kayu bersama-sama. Dia berkata pada dirinya sendiri, “Mereka bilang ada api di sini,” dan dia mulai menggosok dengan penuh semangat. Dia sangat tidak sabaran. Dia menggosok dan terus menggosok tapi ketaksabarannya tidak berakhir. Dia terus ingin memiliki api itu, tapi api itu tidak keluar. Jadi dia patah semangat dan berhenti untuk beristirahat sejenak. Dia mulai lagi tapi usahanya lambat, jadi dia beristirahat lagi. Pada saat itu panasnya pun sudah hilang; dia tidak terus melakukannya cukup lama. Dia menggosok dan menggosok sampai dia lelah kemudian dia berhenti sepenuhnya. Dia tidak hanya lelah, tapi dia menjadi semakin patah semangat sampai dia menyerah sepenuhnya. “Tidak ada api di sini!” Sebenarnya dia sedang melakukannya, tapi tidak ada panas yang cukup untuk menyalakan api. Api itu ada di sana selama ini tapi dia tidak melanjutkannya sampai akhir. Pengalaman semacam ini menyebabkan meditator menjadi patah semangat dalam latihannya, sehingga dia dengan gelisah berpindah dari satu latihan ke latihan lainnya. Dan pengalaman semacam ini juga mirip dengan latihan kita sendiri. Ini sama untuk semua orang. Kenapa? Karena kita masih berpijak pada kekotoran batin. Sang Buddha juga memiliki kekotoran batin, tetapi Beliau memiliki banyak kebijaksanaan dalam hal ini. Selama masih manusia duniawi, Sang Buddha dan para arahat juga sama seperti kita. Jika kita masih manusia duniawi maka kita tidak berpikir dengan benar. Dengan demikian ketika keinginan timbul kita tidak melihatnya, dan ketika tidak menginginkan timbul kita tidak melihatnya. Terkadang kita merasa kacau, dan kadang kita merasa puas. Saat kita memiliki tidak menginginkan kita memiliki semacam kepuasan, tapi kita juga memiliki semacam kebingungan. Saat kita memiliki keinginan, ini bisa berupa kepuasan dan kebingungan jenis lain. Semuanya saling bercampur dengan cara ini. Mengenal Diri Sendiri dan Mengenal Orang Lain


Sang Buddha mengajarkan kita untuk merenungkan tubuh kita, sebagai contoh: rambut kepala, rambut tubuh, kuku, gigi, kulit… semuanya tubuh. Perhatikan! Kita disuruh untuk menyelidiki tepat di sini. Jika kita tidak melihat hal-hal ini dengan jelas sebagaimana mereka adanya dalam diri kita sendiri, kita tidak akan mengerti mengenai orang lain. Kita tidak akan melihat orang lain dengan jelas dan kita juga tidak akan melihat diri kita sendiri. Namun, jika kita memang mengerti dan melihat dengan jelas sifat tubuh kita sendiri, keraguan dan keingintahuan kita mengenai orang lain akan hilang. Ini karena tubuh dan pikiran (rūpa dan nāma) sama untuk semua orang. Tidak perlu pergi memeriksa semua tubuh di dunia karena kita tahu bahwa mereka sama seperti kita – kita sama seperti mereka. Jika kita memiliki pemahaman seperti ini maka beban kita menjadi lebih ringan. Tanpa pemahaman seperti ini, yang kita lakukan hanya mengembangkan beban yang lebih berat. Untuk mengetahui tentang orang lain, kita harus pergi dan memeriksa semua orang di seluruh dunia. Itu akan sangat sulit. Kita akan segera menjadi patah semangat. Vinaya kita mirip dengan ini. Ketika kita melihat Vinaya kita, kita merasa kalau ini sangat sulit. Kita harus menjaga setiap aturan, mempelajari setiap aturan, meninjau latihan kita dengan setiap aturan. Jika kita hanya memikirkannya saja, kita berpikir, “Oh, ini mustahil!” Kita membaca arti terjemahan kata demi kata dari semua aturan yang banyak sekali dan, jika kita hanya mengikuti pemikiran kita tentang aturan-aturan itu saja, kita bisa dengan baik memutuskan bahwa itu di luar kemampuan kita untuk menjaga semuanya. Siapapun yang memiliki sikap seperti ini terhadap Vinaya memiliki pendapat yang sama tentangnya – ada begitu banyak aturan! Kitab suci memberi tahu kita bahwa kita harus memeriksa diri kita sendiri mengenai setiap aturan dan menjaga semuanya dengan ketat. Kita harus mengetahui semuanya dan mengamatinya dengan sempurna. Ini sama dengan mengatakan bahwa untuk memahami orang lain kita harus pergi dan benar-benar memeriksa setiap orang. Ini adalah sikat yang sangat berat. Ini seperti ini karena kita menganggap apa yang dikatakan secara harfiah. Jika kita mengikuti buku teks, inilah jalan yang harus kita tempuh. Beberapa guru mengajar dengan cara ini – kepatuhan yang ketat terhadap apa yang dikatakan buku teks. Hal ini tidak bisa berjalan seperti itu3.

Sebenarnya, jika kita mempelajari teori seperti ini, latihan kita tidak akan berkembang sama sekali. Bahkan keyakinan kita akan hilang, keyakinan kita pada Jalan akan hancur. Ini karena kita masih belum mengerti. Ketika ada kebijaksanaan kita akan mengerti bahwa semua orang di seluruh dunia benar-benar sama dengan satu orang ini saja. Mereka sama dengan makhluk ini. Jadi kita mempelajari dan merenungkan tubuh dan pikiran kita sendiri. Dengan melihat dan memahami sifat tubuh dan pikiran kita sendiri, muncul pemahaman tentang tubuh dan pikiran semua orang, sehingga, dengan cara ini, beban latihan kita menjadi lebih ringan. Sang Buddha berkata bahwa kita harus mengajar dan menginstruksikan diri kita sendiri – tidak ada orang lain yang bisa melakukannya untuk kita. Ketika kita mempelajari dan memahami sifat keberadaan kita sendiri, kita akan memahami sifat dari semua keberadaan. Semua orang benar-benar sama. Kita semua adalah “buatan” yang sama dan berasal dari perusahaan yang sama – hanya ada nuansa yang berbeda, itu saja! Sama seperti Bort-hai dan Tum-jai. Mereka berdua adalah obat pereda nyeri dan melakukan hal yang sama, tetapi satu jenis disebut Bort-hai dan satu lagi Tum-jai. Sesungguhnya mereka tidak berbeda. Anda akan merasa bahwa cara melihat hal-hal ini menjadi lebih mudah dan lebih mudah seiring anda secara bertahap menyatukan semuanya. Kita sebut ini “merasakan cara kita”, dan beginilah kita mulai berlatih. Kita akan menjadi mahir dalam melakukannya. Kita terus melakukannya sampai kita tiba pada pemahaman, dan saat pemahaman ini timbul, kita akan melihat kenyataan dengan jelas.

Teori dan Praktik


Jadi kita melanjutkan latihan ini sampai kita merasakannya. Setelah beberapa waktu, tergantung pada kecenderungan dan kemampuan tertentu kita sendiri, sebuah jenis pemahaman baru timbul. Ini kita sebut penyelidikan Dhamma (dhamma vicaya), dan beginilah bagaimana tujuh faktor kecerahan timbul dalam pikiran. Penyelidikan Dhamma adalah salah satunya. Yang lainnya adalah: perhatian penuh (sati), energi atau kegigihan (viriya), kegembiaraan atau sukacita (pīti), ketenangan (passaddhi), konsentrasi (samādhi), dan keseimbangan (upekkhā).


Jika kita telah mempelajari tentang tujuh faktor kecerahan, maka kita akan tahu apa yang dikatakan buku-buku itu, tetapi kita tidak akan melihat faktor-faktor kecerahan yang sebenarnya. Faktor-faktor kecerahan yang sebenarnya timbul di dalam pikiran. Oleh karena itu Sang Buddha datang untuk memberikan kita semua berbagai ajaran. Semua yang tercerahkan telah mengajarkan jalan keluar dari penderitaan dan ajaran-ajaran mereka yang tercatat kita sebut ajaran teoretis. Teori ini awalnya berasal dari praktik, tetapi telah menjadi sekadar buku pelajaran atau kata-kata saja.


Faktor-faktor kecerahan yang sebenarnya telah hilang karena kita tidak mengetahuinya di dalam diri kita sendiri, kita tidak melihatnya di dalam pikiran kita sendiri. Jika mereka muncul, mereka muncul dari latihan. Jika mereka muncul dari latihan, maka mereka adalah faktor-faktor yang menuntun pada kecerahan Dhamma, dan kita bisa menggunakan kemunculannya sebagai indikasi bahwa latihan kita benar. Jika kita tidak berlatih dengan benar, hal-hal seperti itu tidak akan muncul.


Jika kita berlatih dengan cara yang benar, kita bisa melihat Dhamma. Jadi kita katakan untuk terus berlatih, merasakan cara anda secara bertahap dan terus menyelidiki. Jangan berpikir bahwa apa yang anda cari bisa ditemukan di mana pun selain di sini.


Salah satu murid senior saya telah mempelajari bahasa Pāli di sebuah kuil belajar sebelum dia datang ke sini. Dia tidak terlalu berhasil dengan studinya jadi dia berpikir bahwa, karena bhikkhu yang berlatih meditasi dapat melihat dan memahami segala sesuatu hanya dengan duduk, dia akan datang dan mencoba cara ini. Dia datang ke sini ke Wat Pah Pong dengan tujuan untuk duduk bermeditasi agar dia dapat menerjemahkan kitab suci bahasa Pāli. Dia memiliki pengertian seperti ini tentang latihan. Jadi saya menjelaskan kepadanya tentang cara kita. Dia telah salah paham sepenuhnya. Dia pikir itu masalah yang mudah hanya duduk dan membuat semuanya jelas.


Jika berbicara tentang memahami Dhamma maka baik bhikkhu belajar dan bhikkhu praktik menggunakan kata yang sama. Tetapi pemahaman sebenarnya yang berasal dari mempelajari teori dan yang berasal dari mempraktikkan Dhamma tidak persis sama. Ini mungkin tampak sama, tapi yang satu lebih mendalam. Yang satu lebih dalam dari yang satunya lagi. Jenis pemahaman yang berasal dari praktik menuntun ke penyerahan, pelepasan. Sampai ada penyerahan penuh kita teguh – kita bertahan dalam perenungan kita. Jika nafsu atau kemarahan dan ketaksukaan timbul di dalam pikiran kita, kita tidak menghiraukannya. Kita tidak meninggalkan mereka begitu saja, melainkan mengambil mereka dan menyelidiki untuk melihat bagaimana dan dari mana mereka timbul. Jika suasana hati seperti itu sudah ada di dalam pikiran kita, maka kita merenung dan melihat bagaimana mereka bekerja melawan kita. Kita melihat mereka dengan jelas dan memahami kesulitan yang kita sebabkan kepada diri kita sendiri dengan mempercayai dan mengikuti mereka. Pemahaman seperti ini tidak ditemukan di mana pun selain di dalam pikiran murni kita sendiri.


Karena inilah mereka yang belajar teori dan mereka yang berlatih meditasi saling salah memahami. Biasanya mereka yang menekankan pada pelajaran mengatakan hal seperti ini, “Bhikkhu yang hanya berlatih meditasi hanya mengikuti opini mereka sendiri. Mereka tidak memiliki dasar dalam Ajaran.” Sebenarnya, dalam satu pengertian, dua cara dari belajar dan berlatih ini adalah hal yang sama persis. Ini dapat membantu kita untuk memahami jika kita menganggapnya seperti telapak dan punggung tangan kita. Jika kita mengulurkan tangan kita, ini seolah-olah punggung tangan kita telah hilang. Sebenarnya punggung tangan kita tidak hilang, ia hanya tersembunyi di bawahnya. Ketika kita mengatakan bahwa kita tidak bisa melihatnya, itu tidak berarti bahwa punggung tangan kita telah hilang sepenuhnya, itu hanya berarti bahwa punggung tangan kita hanya tersembunyi di bawahnya. Saat kita membalikkan tangan kita, hal yang sama terjadi pada telapak tangan kita. Ia tidak pergi ke mana pun, ia hanya tersembunyi di bawahnya.


Kita harus mengingat hal ini ketika kita mempertimbangkan latihan. Jika kita berpikir bahwa ia telah “menghilang”, kita akan pergi belajar, berharap mendapatkan hasil. Tapi tidak peduli seberapa banyak anda belajar tentang Dhamma, anda tidak akan pernah mengerti, karena anda tidak akan tahu sesuai dengan kebenaran. Jika kita memang memahami sifat sejati Dhamma, maka itu menjadi melepaskan. Inilah penyerahan – melenyapkan kemelekatan (upādāna), tidak melekat lagi, atau, jika masih ada kemelekatan, ia menjadi semakin berkurang dan semakin berkurang. Ada perbedaan semacam ini antara kedua cara dari belajar dan berlatih.


Ketika kita berbicara tentang belajar, kita bisa memahaminya seperti ini: mata kita adalah subjek pelajaran, telinga kita adalah subjek pelajaran – semuanya adalah subjek pelajaran. Kita bisa mengetahui bahwa bentuk itu seperti ini dan seperti itu, tapi kita melekat pada bentuk dan tidak tahu jalan keluarnya. Kita bisa membedakan suara-suara, tapi kemudian kita melekat pada mereka. Bentuk, suara, bau, rasa, perasaan tubuh dan kesan mental semuanya seperti jerat untuk menjerat semua makhluk.


Menyelidiki hal-hal ini adalah cara kita mempraktikkan Dhamma. Ketika beberapa perasaan timbul, kita beralih ke pemahaman kita untuk menghargainya. Jika kita mempunyai pengetahuan mengenai teori, kita akan segera beralih ke pengetahuan itu dan melihat bagaimana hal ini dan itu terjadi seperti ini lalu menjadi itu… dan seterusnya. Jika kita belum mempelajari teori dengan cara ini, maka kita hanya memiliki keadaan alami pikiran kita untuk diandalkan. Ini adalah Dhamma kita. Jika kita mempunyai kebijaksanaan maka kita akan mampu memeriksa pikiran alami kita ini dan menggunakannya sebagai subjek pelajaran kita. Ini adalah hal yang sama persis. Pikiran alami kita adalah teori. Sang Buddha mengatakan untuk mengambil pikiran dan perasaan apa pun yang timbul dan menyelidikinya. Gunakan kenyataan pikiran alami kita sebagai teori kita. Kita mengandalkan kenyataan ini.


Meditasi Pandangan Terang (Vipassanā)


Jika anda mempunyai keyakinan tidak penting apakah anda sudah mempelajari teori atau tidak. Jika pikiran percaya kita menuntun kita untuk mengembangkan latihan, jika ia menuntun kita untuk terus-menerus mengembangkan energi dan kesabaran, maka belajar tidaklah penting. Kita memiliki perhatian penuh sebagai pondasi untuk latihan kita. Kita penuh perhatian dalam semua postur tubuh, apakah duduk, berdiri, berjalan atau berbaring. Jika ada perhatian penuh, akan ada pemahaman jelas yang menyertainya. Perhatian penuh dan pemahaman jelas akan timbul bersama. Namun, mereka mungkin timbul dengan sangat cepat sehingga kita tidak bisa membedakannya. Tetapi, ketika ada perhatian penuh, akan ada juga pemahaman jelas.


Ketika pikiran kita kukuh dan stabil, perhatian penuh akan timbul dengan cepat dan mudah dan di sini juga di mana kita memiliki kebijaksanaan. Namun, terkadang kebijaksanaan tidak cukup atau tidak timbul pada waktu yang tepat. Mungkin ada perhatian penuh dan pemahaman jelas, tapi ini saja tidak cukup untuk mengendalikan situasi. Umumnya, jika perhatian penuh dan pemahaman jelas adalah pondasi pikiran, maka kebijaksanaan akan ada untuk membantu. Namun, kita harus terus-menerus mengembangkan kebijaksanaan ini melalui latihan meditasi pandangan terang. Ini berarti bahwa apa pun yang timbul dalam pikiran bisa menjadi objek perhatian penuh dan pemahaman jelas. Tapi kita harus melihat menurut anicca, dukkha, anattā. Ketidakkekalan (anicca) adalah dasarnya. Dukkha mengacu pada kualitas ketakpuasan, dan anattā mengatakan bahwa itu tanpa entitas individu. Kita melihat bahwa itu hanyalah sebuah sensasi yang telah timbul, bahwa ia tidak memiliki diri, tidak ada entitas dan bahwa ia menghilang dengan sendirinya. Hanya itu! Seseorang yang tertipu, seseorang yang tidak mempunyai kebijaksanaan, akan melewatkan kesempatan ini, dia tidak akan bisa menggunakan hal-hal ini untuk dimanfaatkan.


Jika kebijaksanaan hadir maka perhatian penuh dan pemahaman jelas akan ada di sana bersamanya. Namun, pada tahap awal ini kebijaksanaan mungkin tidak sepenuhnya jelas. Jadi, perhatian penuh dan pemahaman jelas tidak dapat menangkap setiap objek, tapi kebijaksanaan datang untuk membantu. Ia bisa melihat kualitas perhatian penuh apa yang ada dan jenis sensasi apa yang telah timbul. Atau, dalam aspeknya yang paling umum, perhatian penuh apa pun yang ada atau sensasi apa pun yang ada, semua itu adalah Dhamma.


Sang Buddha mengambil latihan meditasi pandangan terang sebagai pondasinya. Beliau melihat bahwa perhatian penuh dan pemahaman jelas ini keduanya tidak pasti dan tidak stabil. Apa pun yang tidak stabil, dan yang kita inginkan stabil, menyebabkan kita menderita. Kita ingin hal-hal menjadi sesuai dengan keinginan kita sendiri, tapi kita menderita karena hal-hal tidaklah seperti itu. Ini adalah pengaruh dari pikiran yang tidak bersih, pengaruh pikiran yang kekurangan kebijaksanaan.


Ketika kita berlatih, kita cenderung terjebak dalam menginginkannya mudah, menginginkannya menjadi seperti yang kita suka. Kita tidak perlu jauh-jauh untuk memahami sikap seperti ini. Lihat saja tubuh ini! Apakah ia pernah benar-benar seperti yang kita inginkan? Satu menit kita ingin ia begini dan menit berikutnya kita ingin ia begitu. Pernahkah kita benar-benar memilikinya seperti yang kita sukai? Sifat tubuh dan pikiran kita persis sama dalam hal ini. Ia hanyalah sebagaimana ia adanya.


Poin ini dalam latihan kita bisa dengan mudah terlewatkan. Biasanya, jika apa pun yang kita rasakan tidak cocok dengan kita, kita buang; apa pun yang tidak menyenangkan kita, kita buang. Kita tidak berhenti untuk berpikir apakah cara kita menyukai dan tidak menyukai hal-hal benar-benar cara yang benar atau tidak. Kita hanya berpikir bahwa hal-hal yang kita rasakan tidak menyenangkan pastilah salah, dan hal-hal yang kita rasa menyenangkan pasti benar.


Di sinilah di mana keinginan berasal. Saat kita menerima rangsangan melalui mata, telinga, hidung, lidah, tubuh atau pikiran, suatu perasaan suka atau tidak suka timbul. Ini menunjukkan bahwa pikiran penuh dengan kemelekatan. Jadi Sang Buddha memberikan kita ajaran ketidakkekalan ini. Beliau memberikan kita cara untuk merenungkan hal-hal. Jika kita melekat pada sesuatu yang tidak kekal, kita akan mengalami penderitaan. Tidak ada alasan mengapa kita harus menginginkan hal-hal tersebut sesuai dengan kesukaan dan ketaksukaan kita. Tidak mungkin bagi kita untuk membuat hal-hal menjadi seperti itu. Kita tidak mempunyai kewenangan dan kekuatan semacam itu. Terlepas dari bagaimana kita menginginkan hal-hal menjadi seperti apa, semuanya sudah sebagaimana adanya. Menginginkan seperti ini bukanlah jalan keluar dari penderitaan.


Di sini kita bisa melihat bagaimana pikiran yang tertipu memahami dengan satu cara, dan pikiran yang tidak tertipu memahami dengan cara lain. Saat pikiran yang mempunyai kebijaksanaan menerima beberapa sensasi, misalnya, ia melihatnya sebagai sesuatu yang tidak boleh dilekati atau diidentifikasi. Inilah yang mengindikasikan kebijaksanaan.


Jika tidak ada kebijaksanaan sama sekali kita hanya mengikuti kebodohan kita. kebodohan ini tidak melihat ketidakkekalan, ketakpuasan dan tiada-aku. Apa yang kita sukai kita lihat sebagai baik dan benar. Apa yang kita tidak sukai kita lihat sebagai tidak baik. Kita tidak bisa mencapai Dhamma dengan cara ini – kebijaksanaan tidak bisa timbul. Jika kita bisa melihat ini, maka kebijaksanaan timbul.


Sang Buddha dengan kukuh menetapkan latihan meditasi pandangan terang di dalam pikirannya dan menggunakannya untuk menyelidiki semua berbagai kesan mental. Apa pun yang timbul di dalam pikirannya Beliau menyelidikinya seperti ini: meskipun kita menyukainya, ia tidak pasti. Ia adalah penderitaan, karena hal-hal yang terus-menerus timbul dan tenggelam ini tidak mengikuti pengaruh pikiran kita. Semua hal ini bukanlah makhluk atau diri, mereka bukan milik kita. Sang Buddha mengajarkan kita untuk melihat mereka sebagaimana mereka adanya. Kita berdiri di atas prinsip ini dalam latihan kita.


Kita kemudian mengerti, bahwa kita tidak bisa begitu saja menghadirkan berbagai suasana hati seperti yang kita inginkan. Baik suasana hati yang baik dan suasana hati yang buruk akan muncul. Beberapa dari mereka bermanfaat dan beberapa dari mereka tidak. Jika kita tidak mengerti dengan benar mengenai hal-hal ini, kita tidak akan bisa menilai dengan benar. Sebaliknya, kita akan berlari mengejar keinginan – berlari mengikuti nafsu kita.


Terkadang kita merasa bahagia dan terkadang kita merasa sedih, tapi ini wajar. Terkadang kita akan merasa senang dan di saat lain kecewa. Apa yang kita suka kita anggap baik, dan apa yang kita tidak suka kita anggap buruk. Dengan cara inilah kita memisahkan diri kita semakin jauh dan semakin jauh dari Dhamma. Ketika ini terjadi, kita tidak dapat memahami atau mengenali Dhamma, dan dengan demikian kita menjadi bingung. Nafsu meningkat karena pikiran kita tidak mempunyai apa-apa selain delusi.


Beginilah bagaimana kita berbicara tentang pikiran. Tidak perlu pergi terlalu jauh dari diri kita untuk menemukan pemahaman. Kita cukup melihat bahwa keadaan-keadaan pikiran ini tidak kekal. Kita melihat bahwa mereka tidak memuaskan dan bahwa mereka bukanlah diri yang kekal. Jika kita terus mengembangkan latihan kita dengan cara ini, kita menyebutnya latihan vipassanā atau meditasi pandangan terang. Kita katakan bahwa ini mengenali isi pikiran kita dan dengan cara ini kita mengembangkan kebijaksanaan.


Meditasi Samatha (Ketenangan)


Latihan samatha kita adalah seperti ini: kita membangun latihan perhatian penuh pada napas masuk dan napas keluar, misalnya, sebagai pondasi atau sarana untuk mengendalikan pikiran. Dengan membuat pikiran mengikuti aliran napas ia menjadi kukuh, tenang dan hening. Latihan menenangkan pikiran ini disebut “meditasi samatha”. Penting untuk melakukan banyak latihan semacam ini karena pikiran penuh dengan banyak gangguan – ia sangat bingung. Kita tidak bisa mengatakan berapa tahun atau berapa banyak kehidupan ia sudah seperti ini. Jika kita duduk dan merenung, kita akan melihat bahwa ada banyak hal yang tidak membantu menghasilkan kedamaian dan ketenangan dan banyak hal yang mengarah pada kebingungan!


Untuk alasan inilah Sang Buddha mengajarkan bahwa kita harus menemukan subjek meditasi yang cocok dengan kecenderungan tertentu kita, suatu cara latihan yang tepat untuk karakter kita. Sebagai contoh, berulang-ulang kali memeriksa bagian-bagian tubuh: rambut kepala, rambut tubuh, kuku, gigi dan kulit, bisa sangat menenangkan. Pikiran bisa menjadi sangat tenang dari latihan ini. Jika merenungkan lima hal ini membawa ke ketenangan, itu karena mereka adalah objek yang tepat untuk perenungan sesuai dengan kecenderungan kita. Apa pun yang kita rasa cocok dengan cara ini, kita bisa pertimbangkan sebagai latihan kita dan menggunakannya untuk menaklukkan kekotoran batin.


Contoh lain adalah perenungan terhadap kematian. Bagi mereka yang masih mempunyai keserakahan, kebencian dan delusi yang kuat dan merasa sulit untuk menahannya, sangat berguna untuk mengambil subjek kematian pribadi ini sebagai meditasi. Kita akan menyadari bahwa semua orang harus mati, apakah kaya atau miskin. Kita akan melihat orang baik dan orang jahat mati. Semua orang harus mati! Ketika kita mengembangkan latihan ini kita merasa bahwa sebuah sikap kejemuan timbul. Semakin banyak kita berlatih semakin mudah meditasi kita menghasilkan ketenangan. Ini karena ini adalah latihan yang cocok dan tepat untuk kita. Jika latihan meditasi tenang ini tidak cocok dengan kecenderungan tertentu kita, latihan ini tidak akan menghasilkan sikap kejemuan ini. Jika objek itu benar-benar cocok untuk kita, kita akan merasakannya timbul dengan teratur, tanpa kesulitan yang besar, dan kita akan mendapati diri kita sering memikirkannya.


Kita bisa melihat contoh ini dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika umat awam membawa nampan dengan berbagai jenis makanan untuk dipersembahkan kepada para bhikkhu, kita mencicipi semuanya untuk melihat mana yang kita suka. Ketika kita sudah mencoba satu-satu, kita bisa mengetahui mana yang paling cocok untuk kita. Ini hanyalah sebuah contoh. Apa yang menurut kita sesuai dengan selera kita, kita akan makan. Kita tidak akan menghiraukan tentang berbagai hidangan lainnya.


Latihan memusatkan perhatian kita pada napas masuk dan napas keluar adalah sebuah contoh dari jenis meditasi yang cocok untuk kita semua. Tampaknya ketika kita pergi berkeliling melakukan berbagai latihan yang berbeda, kita tidak merasa begitu baik. Tapi segera setelah kita duduk dan mengamati napas kita, kita memiliki perasaan yang baik, kita bisa melihatnya dengan jelas. Tidak perlu jauh-jauh mencari, kita bisa menggunakan apa yang dekat dengan kita dan ini akan lebih baik bagi kita. Cukup perhatikan napas. Ia keluar dan masuk, keluar dan masuk – kita melihatnya seperti ini. Untuk waktu yang lama kita terus memperhatikan napas masuk dan keluar kita dan perlahan-lahan pikiran kita tenang. Aktivitas lain akan timbul tetapi kita merasa seperti ia jauh dari kita. Sama seperti saat kita hidup terpisah dari satu sama lain dan merasa tidak begitu dekat lagi. Kita tidak memiliki hubungan kuat yang sama lagi atau mungkin tidak ada hubungan sama sekali.


Saat kita memiliki suatu perasaan terhadap latihan perhatian penuh pada napas ini, ini menjadi lebih mudah. Jika kita terus melakukan latihan ini, kita memperoleh pengalaman dan menjadi terampil dalam mengetahui sifat napas. Kita akan tahu seperti apa saat napas panjang dan seperti apa saat napas pendek.


Kita bisa berbicara tentang makanan napas. Saat duduk atau berjalan kita bernapas, saat tidur kita bernapas, saat bangun kita bernapas. Jika kita tidak bernapas, maka kita mati. Jika kita memikirkannya, kita melihat bahwa kita ada hanya dengan bantuan makanan. Jika kita tidak makan makanan biasa selama sepuluh menit, satu jam atau bahkan satu hari, itu tidak masalah. Ini adalah jenis makanan yang kasar. Namun, jika kita tidak bernapas bahkan untuk waktu yang singkat kita akan mati. Jika kita tidak bernapas selama lima atau sepuluh menit kita akan mati. Cobalah!


Seseorang yang berlatih perhatian penuh terhadap pernapasan harus memiliki pengertian seperti ini. Ilmu yang datang dari latihan ini memang luar biasa. Jika kita tidak merenungkan maka kita tidak akan melihat napas sebagai makanan; tapi sebenarnya kita sedang “makan” udara setiap saat, masuk, keluar, masuk, keluar… setiap saat. Juga anda akan merasakan bahwa semakin anda merenungkan dengan cara ini, semakin besar manfaat yang diperoleh dari latihan dan napas menjadi semakin halus. Bahkan mungkin terjadi kalau napas berhenti. Ini tampak seolah-olah kita tidak bernapas sama sekali. Sebenarnya, napas keluar masuk melalui pori-pori kulit. Ini disebut “napas halus”. Saat pikiran kita benar-benar tenang, pernapasan normal bisa berhenti dengan cara ini. Kita sama sekali tidak perlu kaget ataupun takut. Jika tidak ada pernapasan apa yang harus kita lakukan? Cukup ketahui saja! Ketahui bahwa tidak ada pernapasan, itu saja. Inilah latihan yang benar.


Di sini kita berbicara tentang cara latihan samatha, latihan mengembangkan ketenangan. Jika objek yang kita gunakan tepat dan sesuai untuk kita, itu akan menuntun kita ke pengalaman semacam ini. Ini adalah permulaan, tapi latihan ini cukup untuk membawa kita sepanjang jalan, atau setidaknya ke tempat di mana kita bisa melihat dengan jelas dan melanjutkan dengan keyakinan yang kuat. Jika kita terus melakukan perenungan dengan cara ini, energi akan datang kepada kita. Ini mirip dengan air di dalam guci. Kita memasukkan air dan menjaganya tetap penuh. Kita terus mengisi guci itu dengan air dan dengan demikian serangga yang hidup di dalam air tidak mati. Berusaha dan melakukan latihan sehari-hari kita adalah seperti ini. Semuanya kembali ke latihan. Kita merasa sangat baik dan damai.


Kedamaian ini berasal dari keadaan pikiran terpusat kita. Namun, keadaan pikiran terpusat ini, bisa sangat menyusahkan, karena kita tidak ingin keadaan mental lain mengganggu kita. Sebenarnya, keadaan mental lain ada datang dan, jika kita memikirkannya, itu sendiri bisa menjadi keadaan pikiran terpusat. Seperti saat kita melihat berbagai pria dan wanita, tetapi kita tidak memiliki perasaan yang sama terhadap mereka seperti perasaan kita terhadap ibu dan ayah kita. Kenyataannya, semua pria adalah laki-laki sama seperti ayah kita dan semua wanita adalah perempuan sama seperti ibu kita, tapi kita tidak mempunyai perasaan yang sama terhadap mereka. Kita merasa bahwa orang tua kita lebih penting. Mereka memiliki nilai yang lebih besar bagi kita.


Beginilah bagaimana seharusnya dengan keadaan pikiran terpusat kita. Kita harus memiliki sikap yang sama terhadapnya seperti yang kita miliki terhadap ibu dan ayah kita sendiri. Semua aktivitas lain yang timbul kita hargai dengan cara yang sama seperti yang kita rasakan terhadap pria dan wanita pada umumnya. Kita tidak berhenti melihat mereka, kita hanya mengakui kehadiran mereka dan tidak menganggap mereka sama nilainya dengan orang tua kita.


Melepaskan Simpul


Ketika latihan samatha kita mencapai ketenangan, pikiran akan menjadi jernih dan cerah. Aktivitas pikiran akan menjadi semakin berkurang dan semakin berkurang. Berbagai kesan mental yang timbul akan menjadi lebih sedikit. Ketika ini terjadi, kedamaian dan kebahagiaan besar akan timbul, tetapi kita mungkin melekat pada kebahagiaan itu. Kita harus merenungkan kebahagiaan itu sebagai tidak pasti. Kita juga harus merenungkan ketakbahagiaan sebagai tidak pasti dan tidak kekal. Kita akan mengerti bahwa semua berbagai perasaan tidak bertahan lama dan karena itu tidak boleh dilekati. Kita melihat hal-hal dengan cara ini karena ada kebijaksanaan. Kita akan mengerti bahwa hal-hal memang seperti ini sesuai dengan sifat mereka.


Jika kita memiliki pemahaman seperti ini, ini seperti memegang seutas tali yang membentuk simpul. Jika kita menariknya ke arah yang benar, simpulnya akan mengendur dan mulai terurai. Ia tidak akan lagi terlalu ketat atau telalu tegang. Ini mirip dengan memahami bahwa hal-hal tidak harus selalu seperti ini. Sebelumnya, kita merasa bahwa hal-hal akan selalu seperti sebagaimana mereka adanya, dan dengan melakukan itu, kita menarik simpulnya semakin erat dan semakin erat. Keeratan ini adalah penderitaan. Hidup seperti itu sangat menegangkan. Jadi kita mengendurkan simpulnya sedikit dan santai. Kenapa kita mengendurkannya? Karena ketat! Jika kita tidak melekat padanya maka kita bisa mengendurkannya. Itu bukanlah kondisi permanen yang harus selalu seperti itu.


Kita menggunakan ajaran ketidakkekalan sebagai dasar kita. Kita melihat bahwa baik kebahagiaan dan ketakbahagiaan tidaklah permanen. Kita melihat mereka sebagai tidak bisa diandalkan. Tidak ada apa pun yang permanen. Dengan pemahaman semacam ini kita secara bertahap berhenti mempercayai berbagai suasana hati dan perasaan yang timbul dalam pikiran. Pengertian salah akan berkurang ke tingkat yang sama sampai kita berhenti mempercayainya. Demikianlah yang dimaksud dengan melepaskan simpul. Ia terus mengendur. Kemelekatan akan secara bertahap tercabut.


Kekecewaan


Ketika kita melihat ketidakkekalan, ketakpuasan dan tiada-aku di dalam diri kita, di dalam tubuh dan pikiran ini, di dunia ini, maka kita akan merasakan bahwa semacam kebosanan akan timbul. Ini bukanlah kebosanan biasanya yang membuat kita merasa seperti tidak ingin tahu atau melihat atau mengatakan apa pun, atau tidak ingin berhubungan sama sekali dengan siapa pun. Itu bukanlah kebosanan yang sebenarnya, itu masih mempunyai kemelekatan, kita masih belum mengerti. Kita masih mempunyai perasaan iri dan dendam dan masih melekat pada hal-hal yang menyebabkan kita menderita.


Jenis kebosanan yang Sang Buddha bicarakan adalah suatu kondisi tanpa kemarahan atau nafsu. Ia timbul dari melihat segala sesuatu sebagai tidak kekal. Saat perasaan menyenangkan timbul di dalam pikiran kita, kita melihat perasaan itu tidak bertahan lama. Inilah jenis kebosanan yang kita miliki. Kita menyebutnya nibbidā atau kekecewaan. Itu berarti bahwa ia jauh dari keinginan sensual dan gairah. Kita tidak melihat apa pun sebagai sesuatu yang layak untuk diinginkan. Apakah hal-hal sesuai dengan kesukaan dan ketaksukaan kita, itu tidak masalah bagi kita, kita tidak mengidentifikasikan mereka. Kita tidak memberikan mereka nilai khusus apa pun.


Berlatih seperti ini kita tidak memberikan hal-hal alasan untuk membuat kita kesulitan. Kita telah melihat penderitaan dan telah melihat bahwa mengidentifikasikan suasana hati tidak bisa menimbulkan kebahagiaan sejati. Ia menyebabkan kemelekatan pada kebahagiaan dan ketakbahagiaan dan melekat pada suka dan tidak suka, yang hal itu sendiri adalah penyebab penderitaan. Ketika kita masih melekat seperti ini kita tidak memiliki sikap pikiran yang seimbang terhadap hal-hal. Beberapa keadaan pikiran kita suka dan beberapa keadaan pikiran lain kita tidak suka. Jika kita masih suka dan tidak suka, maka kebahagiaan dan ketakbahagiaan adalah penderitaan. Kemelekatan semacam inilah yang menyebabkan penderitaan. Sang Buddha mengajarkan bahwa apa pun yang membuat kita menderita hal itu sendiri tidak memuaskan.


Empat Kesunyataan Mulia


Karena itu kita memahami bahwa ajaran Sang Buddha adalah untuk mengetahui penderitaan dan untuk mengetahui apa yang menyebabkannya timbul. Selanjutnya, kita harus tahu kebebasan dari penderitaan dan cara latihan yang menuntun pada kebebasan. Beliau mengajari kita untuk mengetahui hanya empat hal ini saja. Ketika kita memahami empat hal ini kita akan mampu mengenali penderitaan saat ia timbul dan akan tahu bahwa ia mempunyai sebab. Kita akan tahu bahwa ia tidak melayang masuk begitu saja! Saat kita ingin terbebas dari penderitaan ini, kita akan mampu melenyapkan penyebabnya.


Mengapa kita memiliki perasaan penderitaan ini, perasaan ketakpuasan ini? Kita akan melihat bahwa itu karena kita melekat pada berbagai kesukaan dan ketaksukaan kita. Kita menyadari bahwa kita menderita karena tindakan kita sendiri. Kita menderita karena kita memberikan nilai pada hal-hal. Jadi kita katakan, ketahui penderitaan, ketahui penyebab penderitaan, ketahui kebebasan dari penderitaan dan ketahui Jalan menuju kebebasan ini. Saat kita mengetahui tentang penderitaan kita terus melepaskan simpul itu. Tapi kita harus memastikan untuk melepaskannya dengan menarik ke arah yang benar. Artinya, kita harus tahu bahwa beginilah hal-hal adanya. Kemelekatan akan tercabut. Inilah latihan yang mengakhiri penderitaan kita.


Ketahui penderitaan, ketahui penyebab penderitaan, ketahui kebebasan dari penderitaan dan ketahui jalan yang menuntun keluar dari penderitaan. Inilah magga (jalan). Bunyinya seperti ini: pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar. Ketika kita memiliki pengertian benar mengenai hal-hal ini, maka kita memiliki jalan. Hal-hal ini bisa mengakhiri penderitaan. Mereka menuntun kita pada moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan (sīla, samādhi, paññā).


Kita harus dengan jelas memahami empat hal ini. Kita harus ingin mengerti. Kita harus ingin melihat hal-hal ini dari segi kenyataan. Ketika kita melihat empat hal ini kita sebut ini saccadhamma. Apakah kita melihat ke dalam atau ke depan atau ke kanan atau ke kiri, yang kita lihat hanyalah saccadhamma. Kita hanya melihat bahwa segala sesuatu sebagaimana adanya. Bagi seseorang yang telah tiba di Dhamma, seseorang yang benar-benar memahami Dhamma, ke mana pun dia pergi, semuanya akan menjadi Dhamma.



Diterjemahkan oleh: Jayananda Gotama




1. Paññā: memiliki cakupan makna yang luas dari akal sehat umum ke pengertian yang berpengetahuan, hingga ke wawasan mendalam terhadap Dhamma. Meskipun setiap pengunaan kata tersebut mungkin memiliki arti yang berbeda, tersirat di dalam semuanya adalah peningkatan pengertian tentang Dhamma berpuncak pada wawasan yang mendalam dan kecerahan.


2. secara harfiah: berbicara dengan diri kita sendiri.


3. Di kesempatan lain Yang Mulia Ajahn melengkapi analogi dengan mengatakan bahwa jika kita tahu bagaimana menjaga pikiran kita sendiri, maka itu sama dengan mematuhi semua aturan Vinaya yang sangat banyak.


bottom of page