top of page

Pikiran Melepaskan Dirinya Sendiri - bab IV | The Path To Peace


(Selanjutnya adalah kutipan percakapan antara Y.M. Ajahn Chah dengan sekelompok murid bhikkhu Barat. Percakapan ini direkam di biara Gor Nork di timur laut Thailand pada 14 Agustus 1979. Kutipan lain dari percakapan yang sama (diterjemahkan oleh penerjemah yang berbeda) sebelumnya telah diterbitkan dengan judul “What is Contemplation?” atau “Apa itu Perenungan?”)



Pertanyaan: Apa yang harus kita lakukan untuk mencapai pikiran sejati (citta)? Ajahn Chah: Pertama-tama kita ikuti pikiran yang mengembara ini. Ikuti pikiran ini sampai kita melihatnya sebagai sesuatu yang tidak pasti dan berubah-ubah. Pikiran harus dengan jelas melihat dirinya sendiri, melihat bahwa ia tidak memiliki apa pun yang bisa digenggam. Maka ia akan melepaskan sepenuhnya. Pikiran melepaskan pikiran ini. Dengan sepenuhnya memahami pikiran ini, pikiran akan meninggalkan pikiran. Ia menghabiskan kemampuan pikiran untuk menciptakan pemikiran. Ia menjadi tidak bingung dengan semua ini. Sang Buddha enggan untuk menggambarkan keadaan ini (Kecerahan), karena kata-kata apa pun yang diberikan pada keadaan ini, itu hanyalah label konvensional. Kata-kata digunakan untuk menggambarkannya agar orang bisa mengerti. Secara alamiah, keadaan ini tetap seperti apa adanya. (Ajahn Chah mengetuk-ngetuk tanah dan melanjutkan:) Seperti tanah dibandingkan dengan apa yang berjalan di atasnya. Seperti itu. Apa yang merupakan tanah tidak timbul atau berakhir. Ia tetap seperti apa adanya. Apa yang timbul dan berjalan di atasnya termasuk pikiran (citta), persepsi (sañña), serta pemikiran (saṅkhāra).

Dengan cara apa pun keadaan (Kecerahan) dijelaskan – tubuh (rūpa), perasaan (vedanā), persepsi (sañña), pemikiran (saṅkhāra) dan kesadaran (viññāṇa) tidak ada. Mereka benar-benar berakhir. Mereka hanya ada dengan menempatkan sebutan konvensional pada mereka. Tubuh, perasaan, persepsi, pemikiran dan kesadaran timbul, kemudian berakhir. Tidak ada apa pun! Semua berakhir!


Pernahkah anda membaca percakapan di mana Y.M. Sariputta bertanya kepada muridnya, Y.M. Yamaka, yang akan pergi mengembara melewati pedesaan?


Y.M. Sariputta bertanya kepada muridnya, “Y.M. Yamaka, seandainya dalam pengembaraan anda, seseorang bertanya kepada anda, “Y.M. Yamaka, ke manakah Sang Buddha pergi setelah mati?” Bagaimana anda akan menjawabnya?”

“Saya akan menjawab bahwa tubuh, perasaan, persepsi, pemikiran dan kesadaran, setelah timbul, berakhir tanpa sisa. Berakhir sepenuhnya. Hanya itu saja.” Y.M. Sariputta berseru, “Benar! Anda telah lulus ujian!”


Ini adalah pertanyaan untuk menguji seorang murid sebelum dia bisa pergi mengembara sendirian. Di sini saya bertanya kepada kalian apakah kalian mengerti. Pahami hal ini saja dan semuanya akan berakhir. Tubuh, perasaan, persepsi, pemikiran dan kesadaran setelah timbul, berakhir tanpa sisa. Mengetahui hal ini, pergilah dan selidiki, buatlah menjadi sangat jelas. Bukan hanya melihat kemunculan dan kelenyapan secara dangkal, bukan seperti itu. Anda harus melihat sampai jalan (magga) dan buah (phala) (dari Kecerahan) terwujud di dalam pikiran. Kemudian, meskipun kita mengalami bahwa kemunculan dan kelenyapan adalah fenomena – tidak ada kebahagiaan ataupun penderitaan yang mengikutinya. Tidak ada kemelekatan dan keterikatan yang terus-menerus seperti sebelumnya. Pikiran harus benar-benar menjadi seperti ini. Ini harus terlihat di dalam hati anda seperti ini. Jangan hanya omong kosong! Maka, di mana pun kita berada kita tidak memiliki apa-apa. Apa pun yang timbul berakhir, timbul kemudian berakhir, itu saja, tidak ada lagi ketergantungan pada pikiran spekulatif yang bekerja setelah ini.


Pertanyaan: Ini adalah pikiran yang asli atau paling dasar, kan?


Ajahn Chah: Hah?


Pertanyaan: Pikiran asli?


Ajahn Chah: Apa?


Pertanyaan: Apakah ada sesuatu di luar lima kelompok ini (yaitu tubuh, perasaan, persepsi, pemikiran dan kesadaran)? Apakah ada sesuatu yang bisa disebut sebagai pikiran sejati?


Ajahn Chah: Mereka bisa menyebutnya “asli”, tetapi semuanya sudah hilang. Hanya di sini, semuanya hilang.


Pertanyaan: Anda tidak bisa menyebutnya sebagai pikiran asli, bukan?


Ajahn Chah: Labelilah itu jika anda suka. Anda bisa menyebutnya demikian. Jika kita tidak memberikan kata-kata pada hal-hal maka kita harus berhenti berbicara. Kita tidak memiliki kata-kata untuk berkomunikasi tentang hal ini. Tidak akan ada apa pun yang bisa dibicarakan.

(Ajahn Chah mengangkat sebuah cangkir dan memindahkannya, menunjuk ke posisi aslinya:) Nah, sekarang tidak ada cangkir ini di sana. Tempat ini tidak berisi apa-apa. Apa yang bisa dibicarakan semuanya adalah bagian dari kenyataan konvensional, itu saja. “Sejati”, “asli” itu hanyalah cara bicara, tanpa deskripsi konvensional seperti itu, tidak akan ada komunikasi yang bisa dimengerti. Kita hanya akan duduk di sini tidak bisa berkata-kata dan saling menatap satu sama lain, tidak mengerti apa pun. Tetapi kita bisa mulai mengerti sesuatu dengan memberinya kata penentu.


Pertanyaan: Untuk sampai ke tahap ini, berapa banyak samādhi (konsentrasi benar) yang dibutuhkan?


Ajahn Chah: Eh? Untuk memperoleh ini, sudah harus ada pengendalian dan kesadaran yang meliputi pikiran secara terus-menerus. Tanpa samādhi, konsentrasi benar, apakah anda dapat melakukan sesuatu? Tanpa samādhi, sama sekali tidak mungkin hal ini bisa dicapai, terlepas dari apa yang anda pikirkan.


Tingkat samādhi harus cukup agar fenomena dapat dilihat. Cukup sehingga kebijaksanaan bisa timbul. Bagaimana anda bisa memenuhi syarat seberapa banyak itu, atau bertanya harus seberapa tenangkah pikiran? Cobalah kembangkan cukup sampai pada tingkat mengatasi semua keraguan anda! Maka semuanya akan selesai. Pikiran akan sampai pada kebenaran.


Diterjemahkan oleh : Jayananda Gotama

bottom of page