top of page

Tanya Jawab Dengan Ajahn Chah - bab III | The Path To Peace


(Kutipan dari percakapan antara Luang Por Chah dan seorang umat awam Buddhis)



Pertanyaan: Ada saat-saat ketika hati kita kebetulan terserap ke dalam hal-hal dan menjadi ternodai atau gelap, tetapi kita masih sadar akan diri kita sendiri; seperti ketika suatu bentuk keserakahan, kebencian atau delusi muncul. Meskipun kita tahu bahwa hal-hal ini tidak menyenangkan, kita tidak dapat mencegahnya untuk timbul. Dapatkah dikatakan bahwa meskipun saat kita menyadarinya, ini memberikan dasar untuk meningkatnya kemelekatan dan keterikatan dan mungkin menarik kita lebih jauh ke belakang ke tempat kita memulai? Jawaban: Itu dia! Seseorang harus terus mengetahuinya pada saat itu, itulah metode latihan. Pertanyaan: Maksud saya bahwa secara bersamaan kita menyadarinya dan tidak menyukainya, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk menahannya, mereka meledak begitu saja. Jawaban: Pada saat itu, itu sudah di luar kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu. Pada saat itu dia harus menyesuaikan diri lagi kemudian melanjutkan perenungan. Jangan langsung menyerah begitu saja. Ketika seseorang melihat hal-hal timbul seperti itu, dia cenderung menjadi kesal atau merasa menyesal, tetapi adalah mungkin untuk mengatakan bahwa mereka tidak pasti dan tunduk pada perubahan. Apa yang terjadi adalah bahwa seseorang melihat hal-hal ini salah, tetapi dia masih belum siap atau mampu untuk menghadapinya. Seolah-olah mereka adalah entitas yang independen, sisa-sisa kecenderungan kamma yang masih menciptakan dan mengondisikan keadaan hati. Seseorang tidak ingin membiarkan hatinya menjadi seperti itu, tetapi hal itu terjadi dan ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan kesadarannya masih belum cukup atau tidak cukup cepat untuk mengikuti perkembangan hal-hal.


Seseorang harus berlatih dan mengembangkan perhatian penuh (sati) sebanyak mungkin agar mendapatkan kesadaran yang lebih besar dan lebih menembus. Apakah hati terkotori atau ternodai dalam beberapa hal, itu tidak masalah, apa pun yang timbul dia harus merenungkan ketidakkekalan dan ketakpastian dari hal tersebut. Dengan mempertahankan perenungan ini di setiap waktu ketika sesuatu timbul, setelah beberapa waktu dia akan melihat sifat tidak kekal yang melekat pada semua objek indra dan keadaan mental. Karena dia melihatnya seperti itu, secara bertahap mereka akan kehilangan kepentingannya, dan kemelekatan dan keterikatannya pada apa yang merupakan noda di hati akan terus berkurang. Setiap kali penderitaan timbul, dia akan mampu mengatasinya dan menyesuaikan dirinya kembali, tetapi dia tidak boleh berhenti dengan upaya ini atau mengesampingkannya. Dia harus menjaga upaya yang berkelanjutan dan berusaha membuat kesadarannya cukup cepat untuk terus mengikuti kondisi mental yang berubah-ubah. Ini bisa dikatakan bahwa sejauh pengembangan Jalan dia masih kekurangan energi yang cukup untuk mengatasi kekotoran-kekotoran batin. Setiap kali penderitaan timbul, hati menjadi keruh, tetapi dia harus terus mengembangkan pengetahuan dan pemahaman tentang hati yang keruh itu; itulah yang direnungkan.


Seseorang harus benar-benar menguasainya dan berulang kali merenungkan bahwa penderitaan dan ketakpuasan ini bukanlah hal yang pasti. Itu adalah sesuatu yang pada akhirnya tidak kekal, tidak memuaskan, dan tiada-diri. Memusatkan perhatian pada ketiga karakteristik ini, setiap kali kondisi-kondisi penderitaan ini timbul lagi dia akan langsung mengetahuinya, setelah mengalaminya sebelumnya.


Secara bertahap, sedikit demi sedikit, latihan seseorang akan mendapatkan momentum dan seiring berjalannya waktu, objek indra dan kondisi mental apa pun yang timbul akan kehilangan nilainya dengan cara ini. Hatinya akan mengetahui mereka sebagaimana mereka adanya dan dengan demikian meletakkan mereka. Setelah mencapai titik di mana seseorang mampu mengetahui hal-hal dan meletakkannya dengan mudah, dikatakan bahwa jalan telah matang secara internal dan dia akan memiliki kemampuan untuk dengan cepat mengatasi kekotoran­-kekotoran batin. Sejak saat itu hanya akan ada timbul dan berlalu di tempat ini, sama seperti ombak yang menerpa pantai. Ketika ombak datang dan akhirnya mencapai garis pantai, ombak itu hancur dan lenyap begitu saja; ombak baru datang dan terjadi lagi – ombak menerpa tidak lebih dari batas garis pantai. Dengan cara yang sama, tidak akan ada yang mampu melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh kesadaran orang itu sendiri.


Di sanalah tempat di mana seseorang akan bertemu dan memahami ketidakkekalan, ketakpuasan dan tiada-diri. Di sanalah hal-hal akan lenyap – tiga karakteristik ketidakkekalan, ketakpuasan dan tiada-diri sama seperti pantai, dan semua objek indra dan keadaan mental yang dialami berjalan dengan cara yang sama seperti ombak. Kebahagiaan itu tidak pasti, ia sudah muncul berkali-kali sebelumnya. Penderitaan itu tidak pasti, ia sudah muncul berkali-kali sebelumnya; begitulah adanya. Di dalam hati orang itu dia akan tahu bahwa mereka memang seperti itu, mereka “hanya sebatas itu saja”. Hati akan mengalami kondisi-kondisi ini dengan cara ini dan mereka secara bertahap akan terus kehilangan nilai dan kepentingannya. Ini berbicara tentang karakteristik hati, sebagaimana adanya, ini sama untuk semua orang, bahkan Sang Buddha dan semua murid-muridnya juga seperti ini.


Jika latihan Jalan seseorang matang, maka latihan akan menjadi otomatis dan tidak akan lagi bergantung pada sesuatu yang eksternal. Ketika kekotoran batin timbul, dia akan segera menyadarinya dan dengan demikian mampu menolaknya. Namun, tahap itu ketika mereka mengatakan bahwa Jalan masih belum cukup matang atau belum cukup cepat untuk mengatasi kekotoran batin adalah sesuatu yang harus dialami setiap orang – hal ini tidak dapat dihindari. Tetapi pada saat itulah orang itu harus menggunakan perenungan yang terampil. Jangan menyelidiki di tempat lain atau mencoba menyelesaikan masalah di tempat lain. Sembuhkan tepat di sana. Terapkan obatnya di tempat itu di mana hal-hal timbul dan berlalu. Kebahagiaan timbul kemudian berlalu, bukan? Penderitaan timbul kemudian berlalu, bukan? Orang itu akan terus-menerus mampu melihat proses timbul dan berlalu, dan melihat apa yang baik dan buruk di dalam hati. Ini adalah fenomena yang ada dan merupakan bagian dari alam. Jangan melekat erat pada mereka atau menciptakan apa pun dari mereka sama sekali.


Jika seseorang memiliki kesadaran seperti ini, maka meskipun orang itu akan berkontak dengan hal-hal, tidak akan ada keributan apa pun. Dengan kata lain, dia akan melihat timbul dan berlalunya fenomena dengan cara yang sangat alami dan biasa. Orang itu hanya akan melihat hal-hal timbul kemudian berakhir. Dia akan memahami proses timbul dan berakhir dari sudut pandang ketidakkekalan, ketakpuasan dan tanpa-diri.


Sifat alami Dhamma adalah seperti ini. Ketika seseorang bisa melihat hal-hal sebagai “hanya sebatas itu saja”, maka mereka akan tetap sebagai “hanya sebatas itu saja”. Tidak akan ada kemelekatan atau keterikatan– segera setelah seseorang menyadari kemelekatan, kemelekatan akan hilang. Hanya akan ada timbul dan berakhir dan itu adalah ketenangan. Bahwa itu merupakan ketenangan bukan karena orang itu tidak mendengar apa-apa; ada pendengaran, tetapi dia memahami sifat alaminya dan tidak melekat atau terikat pada apa pun. Inilah apa yang mereka maksud dengan ketenangan – hati masih mengalami objek-objek indra, tapi ia tidak mengikuti atau terjebak di dalamnya. Sebuah pembagian dibuat antara objek-objek indra hati dan kekotoran-kekotoran batin. Ketika hati seseorang berkontak dengan suatu objek indra dan ada reaksi emosional suka, ini menimbulkan kekotoran batin; tetapi jika seseorang memahami proses timbul dan berakhir, maka tidak ada yang bisa benar-benar timbul dari hal itu – hal itu akan berakhir di situ saja.


Pertanyaan: Apakah seseorang harus berlatih dan memperoleh samādhi sebelum dia bisa merenungkan Dhamma?


Jawaban: Di sini seseorang bisa mengatakan itu benar dari satu sudut pandang, tetapi membicarakannya dari aspek latihan, maka paññā harus terlebih dulu, tetapi mengikuti rangka konvensional haruslah silā, samādhi kemudian paññā. Jika seseorang benar-benar berlatih Dhamma, maka paññā adalah yang pertama. Jika paññā sudah ada sejak awal, itu berarti bahwa orang itu mengetahui mana yang benar dan mana yang salah; dan orang itu mengetahui hati yang tenang dan hati yang terganggu dan gelisah. Berbicara dari dasar kitab suci, seseorang harus mengatakan bahwa latihan pengendalian diri dan ketenangan akan menimbulkan rasa malu dan takut terhadap segala bentuk perbuatan salah yang berpotensi timbul. Begitu seseorang telah membangun rasa takut terhadap apa yang salah dan tidak lagi bertindak atau berperilaku salah, maka apa yang salah tidak akan ada di dalam dirinya. Ketika tidak ada lagi sesuatu yang salah di dalam diri, ini memberikan kondisi di mana ketenangan akan timbul sebagai gantinya. Ketenangan itu membentuk pondasi yang darinya samādhi akan tumbuh dan berkembang seiring waktu.


Ketika hati tenang, pengetahuan dan pemahaman yang timbul dari dalam ketenangan itu disebut vipassanā. Ini berarti bahwa dari waktu ke waktu ada pengetahuan yang sesuai dengan kebenaran, dan di dalam ini terkandung sifat-sifat yang berbeda. Jika seseorang menuliskan sifat-sifat ini di atas kertas, itu adalah silā, samādhi dan paññā. Membicarakan mereka, seseorang bisa menyatukan mereka dan mengatakan bahwa ketiga dhamma ini membentuk satu massa dan tidak dapat dipisahkan. Tetapi jika seseorang membicarakannya sebagai sifat-sifat yang berbeda, maka adalah benar untuk mengatakan silā, samādhi dan paññā.


Akan tetapi, jika seseorang bertindak dengan cara yang tidak bajik, akan mustahil bagi hati untuk menjadi tenang. Jadi akan lebih tepat untuk melihat silā, samādhi dan paññā berkembang bersama-sama dan akan tepat untuk mengatakan bahwa beginilah caranya agar hati menjadi tenang. Berbicara tentang latihan samādhi, itu melibatkan penjagaan silā, yang mencakup menjaga lingkup tindakan tubuh dan ucapan seseorang, agar tidak melakukan apa pun yang tidak bajik atau akan membawa seseorang pada penyesalan atau penderitaan. Hal Ini memberikan landasan bagi latihan ketenangan (samatha bhāvanā) dan setelah seseorang memiliki landasan dalam ketenangan, ini kemudian akan memberikan landasan yang mendukung kemunculan paññā.


Dalam pengajaran formal mereka menekankan pentingnya silā. Adikalyānam, majjhekalyānam, pariyosānakalyānam – latihan harus indah di awal, indah di tengah dan indah di akhir. Beginilah adanya. Apakah anda pernah berlatih samādhi?


Pertanyaan: Saya masih belajar. Sehari setelah saya pergi menemui Tan Ajahn di Wat Keu-an, bibi saya membawakan buku yang berisi beberapa ajaran anda untuk saya baca. Pagi itu di tempat kerja saya mulai membaca beberapa bagian yang berisi pertanyaan dan jawaban untuk berbagai masalah. Di dalamnya anda mengatakan bahwa hal yang paling penting adalah bagi hati untuk mengawasi dan mengamati proses sebab dan akibat yang terjadi di dalam diri. Hanya mengawasi dan mempertahankan pengetahuan tentang berbagai hal yang timbul.


Sore itu saya sedang berlatih meditasi dan selama duduk, karakteristik yang muncul adalah saya merasa seolah-olah tubuh saya telah menghilang. Saya tidak dapat merasakan tangan atau kaki dan tidak ada sensasi tubuh. Saya tahu kalau tubuh masih ada, tapi saya tidak bisa merasakannya. Pada malam harinya saya mempunyai kesempatan untuk pergi dan memberi hormat kepada Tan Ajahn Tate dan saya menjelaskan kepada Beliau detail pengalaman saya. Beliau mengatakan bahwa ini adalah karakteristik hati yang muncul ketika hati menyatu dalam samādhi, dan bahwa saya harus terus berlatih. Saya mengalami pengalaman ini hanya sekali; pada kesempatan berikutnya saya menemukan bahwa terkadang saya tidak bisa merasakan hanya bagian-bagian tertentu di tubuh, seperti tangan, sedangkan di bagian lain masih ada rasa. Terkadang selama latihan saya, saya mulai bertanya-tanya apakah hanya duduk dan membiarkan hati melepaskan segalanya adalah cara latihan yang benar; atau haruskah saya memikirkan dan menyibukkan diri dengan berbagai masalah atau pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab mengenai Dhamma, yang masih saya miliki.


Jawaban: Tidak perlu terus mengulang atau menambahkan apa pun pada tahap ini. Inilah apa yang dimaksud oleh Tan Ajahn Tate; seseorang tidak boleh mengulang-ulang atau menambahkan apa pun pada apa yang sudah ada. Ketika pengetahuan semacam itu hadir, itu berarti bahwa hati sedang tenang dan keadaan tenang itulah yang harus diamati. Apa pun yang dirasakan seseorang, apakah terasa seperti ada tubuh atau diri atau tidak, ini bukanlah hal yang penting. Itu semua harus berada dalam bidang kesadaran seseorang. Kondisi-kondisi ini menunjukkan bahwa hati sedang tenang dan telah menyatu dalam samādhi.


Ketika hati telah menyatu dalam jangka waktu yang lama, selama beberapa kali, maka akan ada perubahan pada kondisi-kondisi dan mereka mengatakan bahwa seseorang menarik diri. Keadaan itu disebut appanā samādhi (penyerapan konsentrasi) dan setelah memasuki, hati selanjutnya akan menarik diri. Sebenarnya, meskipun tidak salah untuk mengatakan bahwa hati menarik diri, namun sebenarnya hati tidak benar-benar menarik diri. Cara lain adalah dengan mengatakan bahwa ia berbalik, atau ia berubah, tetapi gaya bahasa yang digunakan oleh sebagian besar guru adalah mengatakan bahwa begitu hati telah mencapai keadaan tenang, maka ia akan menarik diri. Namun, orang bisa terjebak dalam perselisihan pendapat atas penggunaan bahasa. Hal ini bisa menyebabkan kesulitan dan orang mungkin mulai bertanya-tanya, “bagaimana mungkin hati bisa menarik diri?” Persoalan menarik diri ini membingungkan!” Hal ini dapat menyebabkan banyak kebodohan dan kesalahpahaman hanya karena bahasanya.


Apa yang harus dipahami orang adalah bahwa cara berlatih adalah dengan mengamati kondisi-kondisi ini dengan sati-sampajañña. Sesuai dengan karakteristik ketidakkekalan, hati akan berbalik dan menarik diri ke tingkat upacāra samādhi (konsentrasi akses, tingkat konsentrasi tepat sebelum memasuki penyerapan atau jhāna). Jika hati menarik diri ke tingkat ini maka seseorang bisa memperoleh pengetahuan dan pemahaman, karena pada tingkat yang lebih dalam tidak ada pengetahuan dan pemahaman. Jika ada pengetahuan dan pemahaman pada titik ini maka itu akan menyerupai saṅkhāra.


Ini akan mirip dengan dua orang yang sedang berbicara dan mendiskusikan Dhamma bersama. Seseorang yang memahami hal ini mungkin akan merasa kecewa karena hatinya tidak benar-benar tenang, tetapi pada kenyataannya dialog ini terjadi dalam batas-batas ketenangan dan pengendalian diri yang telah berkembang. Ini adalah karakteristik hati setelah ia menarik diri ke tingkat upacāra – akan ada kemampuan untuk mengetahui dan memahami berbagai hal.


Hati akan tinggal dalam keadaan ini selama beberapa waktu kemudian ia akan berbalik ke dalam lagi. Dengan kata lain, ia akan berbalik dan kembali ke keadaan tenang yang lebih dalam seperti sebelumnya; atau bahkan mungkin saja ia akan memperoleh tingkat energi terkonsentrasi yang lebih murni dan lebih tenang daripada yang dialami sebelumnya. Jika ia mencapai tingkat konsentrasi seperti itu, orang itu hanya perlu memperhatikan kenyataan tersebut dan terus mengamati sampai ketika hati menarik diri lagi. Setelah hati menarik diri, orang itu akan mampu mengembangkan pengetahuan dan pemahaman saat berbagai masalah timbul. Di sinilah di mana seseorang harus menyelidiki dan memeriksa berbagai masalah dan persoalan yang mempengaruhi hati untuk memahami dan menembusnya. Setelah masalah-masalah ini terselesaikan, maka hati secara bertahap akan bergerak ke dalam menuju ke tingkat konsentrasi yang lebih dalam lagi. Hati akan tinggal di sana dan matang, terbebas dari pekerjaan lain atau benturan eksternal. Hanya akan ada pengetahuan yang terpusat dan ini akan mempersiapkan dan memperkuat perhatian penuh (sati) seseorang sampai waktunya tiba untuk muncul kembali.


Kondisi-kondisi masuk dan keluar ini akan muncul di hati seseorang selama latihan, tetapi ini adalah sesuatu yang sulit untuk dibicarakan. Hal ini tidak berbahaya atau merusak latihan seseorang. Setelah beberapa waktu, hati akan menarik diri dan dialog batin akan dimulai di tempat itu, dalam bentuk saṅkhāra atau bentukan-bentukan mental yang mengondisikan hati. Jika seseorang tidak tahu bahwa aktivitas ini adalah saṅkhāra, dia mungkin berpikir bahwa itu adalah paññā, atau paññā sedang timbul. Seseorang harus melihat bahwa aktivitas ini membentuk dan mengondisikan hati dan hal yang terpenting tentang ini adalah bahwa aktivitas ini tidak kekal. Seseorang harus terus-menerus menjaga kendali dan tidak membiarkan hati mulai mengikuti dan mempercayai semua ciptaan dan cerita-cerita yang dibuatnya. Semua itu hanyalah saṅkhāra, itu tidak menjadi paññā.


Cara paññā berkembang adalah saat seseorang mendengarkan dan mengetahui hati ketika proses penciptaan dan pengondisian membawanya ke arah yang berbeda kemudian merenungkan ketidakstablian dan ketakpastian dari hal ini. Kesadaran akan ketidakkekalannya akan memberikan sebab yang dengannya seseorang dapat melepaskan hal-hal pada saat itu. Setelah hati melepaskan hal-hal dan meletakkannya pada titik itu, maka hati secara bertahap akan menjadi lebih tenang dan mantap. Seseorang harus terus masuk dan keluar dari samādhi seperti ini dan paññā akan timbul pada saat itu. Di sana seseorang akan memperoleh pengetahuan dan pemahaman.


Ketika seseorang lanjut berlatih, berbagai macam masalah dan kesulitan akan cenderung timbul di dalam hati; tetapi apa pun masalah yang mungkin dimunculkan oleh dunia atau bahkan alam semesta, orang itu akan mampu mengatasi semuanya. Kebijaksanaan orang itu akan mengikuti mereka dan menemukan jawaban untuk setiap pertanyaan dan keraguan. Di mana pun seseorang bermeditasi, pemikiran apa pun yang muncul, apa pun yang terjadi, semuanya akan memberikan sebab bagi munculnya paññā. Ini adalah proses yang akan terjadi dengan sendirinya, bebas dari pengaruh eksternal. Paññā akan timbul seperti ini, tetapi ketika timbul, orang itu harus berhati-hati agar tidak tertipu dan melihatnya sebagai saṅkhāra. Kapan pun seseorang merenungkan hal-hal dan melihatnya sebagai tidak kekal dan tidak pasti, maka dia tidak boleh melekat atau terikat pada hal itu dengan cara apa pun juga. Jika seseorang terus mengembangkan keadaan ini, ketika paññā hadir di dalam hati, maka paññā akan menggantikan cara berpikir dan reaksi seseorang yang normal dan hati akan menjadi lebih penuh dan lebih cerah di tengah-tengah segalanya. Ketika hal ini terjadi – seseorang mengetahui dan memahami segala sesuatu sebagaimana adanya – hati orang itu akan mampu berkembang dengan meditasi dengan cara yang benar dan tanpa tertipu. Begitulah seharusnya.


Diterjemahkan oleh : Jayananda Gotama

bottom of page