top of page

Sifat Dhamma - bab III | Bodhinyana

  • Writer: thavariya putta
    thavariya putta
  • Nov 6, 2021
  • 10 min read

Updated: Jan 25, 2022


ree

Ceramah yang berikan kepada para murid Barat di Bung Wai Forest Monastery selama masa Vassa tahun 1977, tepat setelah salah satu bhikkhu senior lepas jubah dan meninggalkan biara.

Terkadang, ketika pohon buah sedang berbunga, angin sepoi-sepoi menggoyangkan dan menghamburkan bunga-bunga ke tanah. Beberapa kuncup tersisa dan tumbuh menjadi buah hijau kecil. Angin berhembus dan beberapa dari mereka, juga, jatuh! Tetapi, yang lain mungkin menjadi buah atau hampir matang, atau beberapa bahkan benar-benar matang sebelum mereka jatuh. Dan begitu juga dengan manusia. Seperti bunga dan buah yang ditiup angin, mereka juga, jatuh di berbagai tahap kehidupan. Beberapa orang mati saat masih di dalam kandungan, yang lain hanya dalam beberapa hari setelah dilahirkan. Beberapa orang hidup selama beberapa tahun lalu mati, tidak pernah mencapai kedewasaan. Pria dan wanita mati di masa muda mereka. Namun yang lain mencapai usia tua yang matang sebelum mereka mati. Ketika merenungkan manusia, pertimbangkan sifat buah yang ditiup angin: keduanya sangat tidak pasti. Sifat ketakpastian dari hal-hal ini juga bisa dilihat dalam kehidupan monastik. Beberapa orang datang ke biara berniat untuk ditahbiskan tetapi berubah pikiran dan pergi, beberapa dengan kepala yang sudah dicukur. Yang lain sudah menjadi sāmaṇera, kemudian mereka memutuskan untuk pergi. Beberapa ditahbiskan hanya untuk satu masa vassa kemudian lepas jubah. Sama seperti buah yang ditiup angin – semuanya sangat tidak pasti! Pikiran kita juga mirip. Sebuah kesan mental timbul, mencabut dan menarik pikiran, kemudian pikiran jatuh – sama seperti buah.


Sang Buddha memahami sifat ketakpastian dari hal-hal ini. Beliau mengamati fenomena buah yang ditiup angin dan merenungkan para bhikkhu dan sāmaṇera yang menjadi muridnya. Beliau melihat bahwa mereka juga, pada dasarnya memiliki sifat yang sama – tidak pasti! Bagaimana bisa sebaliknya? Beginilah jalannya segala sesuatu. Dengan demikian, bagi seseorang yang berlatih dengan kesadaran, tidak perlu memiliki seseorang untuk menasihati dan mengajari terlalu banyak untuk dapat melihat dan memahami. Contohnya adalah kasus Sang Buddha yang, di kehidupan sebelumnya, adalah Raja Mahājanaka. Beliau tidak perlu belajar terlalu banyak. Yang harus Beliau lakukan hanyalah mengamati pohon mangga. Suatu hari, saat mengunjungi sebuah taman dengan rombongan menterinya, dari atas gajahnya, Beliau mengintai beberapa pohon mangga yang sarat dengan buah matang. Karena tidak dapat berhenti pada saat itu, Beliau bertekad dalam pikirannya untuk kembali lagi nanti untuk memetik beberapa buah. Tanpa Beliau ketahui, bahwa para menterinya, yang ikut dari belakang, akan dengan rakusnya mengumpulkan semuanya; bahwa mereka akan menggunakan galah untuk menjatuhkan buah-buah itu, memukul dan mematahkan dahan-dahan dan mengoyak dan menghamburkan daun-daun. Pulang di sore hari ke kebun mangga, sang raja, sudah membayangkan dalam pikirannya kelezatan rasa mangga, tiba-tiba menemukan bahwa semuanya hilang, sepenuhnya habis! Dan bukan hanya itu, tetapi cabang-cabang dan daun-daunnya juga benar-benar hancur dan berserakkan. Sang raja, cukup kecewa dan kesal, kemudian menyadari pohon mangga lain di sekitar dengan daun dan cabangnya yang masih utuh. Beliau heran kenapa. Beliau kemudian menyadari, itu karena pohon itu tidak ada buahnya. Jika pohon tidak ada buah, tidak ada orang yang mengganggunya sehingga daun dan cabangnya tidak rusak. Pelajaran ini membuatnya tenggelam dalam pikiran sepanjang perjalanan pulang ke istana: “Tidak menyenangkan, menyusahkan, dan sulit menjadi seorang raja. Hal ini membutuhkan perhatian terus-menerus untuk semua rakyanya. Bagaimana jika ada upaya untuk menyerang, menjarah, dan merebut sebagian kerajaannya?” Beliau tidak bisa beristirahat dengan tenang; bahkan dalam tidurnya Beliau diganggu oleh mimpi. Beliau melihat di dalam pikirannya, sekali lagi, pohon mangga tanpa buah dan daun serta cabangnya yang tidak rusak. “Jika kita menjadi seperti pohon mangga itu”, Beliau berpikir, “‘daun’ dan ‘cabang’ kita juga, tidak akan rusak”. Di dalam kamarnya Beliau duduk dan bermeditasi. Akhirnya, Beliau memutuskan untuk ditahbiskan sebagai seorang bhikkhu, terinspirasi oleh pelajaran pohon mangga ini. Beliau membandingkan dirinya dengan pohon mangga itu dan menyimpulkan bahwa jika seseorang tidak terlibat dalam jalannya dunia, dia akan benar-benar mandiri, bebas dari kekhawatiran dan kesulitan. Pikiran tidak akan terganggu. Merenungkan demikian, Beliau ditahbiskan. Sejak saat itu, ke mana pun Beliau pergi, ketika ditanya siapa gurunya, Beliau akan menjawab, “pohon mangga”. Beliau tidak perlu menerima terlalu banyak ajaran. Pohon mangga adalah penyebab kesadarannya terhadap Opanayiko-Dhamma, ajaran yang menuntun ke tujuan (nibbāna). Dan dengan Kesadaran ini, Beliau menjadi seorang bhikkhu, seseorang yang memiliki sedikit kekhawatiran, puas dengan sedikit, dan yang senang dalam kesendirian. Menyerahkan status kerajaannya, pikirannya akhirnya berada dalam kedamaian. Dalam kisah ini Sang Buddha adalah seorang Bodhisatta yang mengembangkan latihannya dengan cara ini terus-menerus. Seperti Sang Buddha sebagai Raja Mahājanaka, kita, juga, harus melihat ke sekeliling kita dan menjadi jeli karena segala sesuatu yang ada di dunia siap untuk mengajari kita. Bahkan dengan sedikit kebijaksanaan intuitif, kita akan bisa melihat dengan jelas melalui jalannya dunia. Kita akan memahami bahwa segala sesuatu di dunia adalah guru. Pohon dan tanaman merambat, misalnya, semuanya bisa mengungkapkan sifat sejati kenyataan. Dengan kebijaksanaan, tidak perlu menanyai siapa pun, tidak perlu menghafal dari buku. Kita bisa belajar dari alam cukup untuk menjadi tercerahkan, seperti dalam kisah Raja Mahājanaka, karena segala sesuatu mengikuti jalan kebenaran. Ia tidak menyimpang dari kebenaran. Terkait dengan kebijaksanaan adalah ketenangan-diri dan pengendalian diri yang, pada waktunya, dapat menuntun ke wawasan yang lebih jauh ke dalam jalannya alam. Dengan cara ini, kita akan mengetahui kebenaran tertinggi dari segala sesuatu yang adalah “anicca-dukkha-anattā1”. Ambil pohon, sebagai contoh; semua pohon di bumi sama, mereka adalah Satu, ketika dilihat melalui kenyataan “anicca-dukkha-anattā”. Pertama, mereka terbentuk, kemudian tumbuh dan matang, terus berubah, sampai pada akhirnya mereka mati yang merupakan keharusan bagi setiap pohon. Dengan cara yang sama, manusia dan binatang dilahirkan, tumbuh dan berubah selama masa hidupnya sampai mereka pada akhirnya mati. Banyak sekali perubahan yang terjadi selama masa transisi ini dari kelahiran sampai kematian yang menunjukkan Jalan Dhamma. Yaitu, segala sesuatu tidak kekal, mempunyai pembusukan dan penguraian sebagai kondisi alami mereka. Jika kita memiliki kesadaran dan pemahaman, jika kita belajar dengan kebijaksanaan dan perhatian penuh, kita akan melihat Dhamma sebagai kenyataan. Dengan demikian, kita akan melihat manusia sebagai terus-menerus dilahirkan, berubah-ubah dan akhirnya mati. Semua orang tunduk pada siklus kelahiran dan kematian, dan karena ini, semua orang di alam semesta adalah sebagai Satu makhluk. Oleh karena itu, melihat satu orang dengan jelas dan kentara sama dengan melihat setiap orang di dunia. Dengan cara yang sama, semuanya adalah Dhamma. Bukan hanya hal-hal yang kita lihat dengan mata fisik kita, tetapi juga hal-hal yang kita lihat di dalam pikiran kita. Sebuah pikiran timbul, kemudian berubah dan berlalu. Itu adalah “nāma dhamma”, hanya sebuah kesan mental yang timbul dan berlalu. Ini adalah sifat asli pikiran. Secara keseluruhannya, ini adalah kesunyataan mulia Dhamma. Jika seseorang tidak melihat dan mengamati dengan cara ini, dia tidak benar-benar melihat! Jika seseorang benar melihat, dia akan memiliki kebijaksanaan untuk mendengarkan Dhamma seperti yang dibabarkan oleh Sang Buddha.


Dimanakah Sang Buddha berada? Sang Buddha ada di dalam Dhamma. Dimanakah Dhamma berada? Dhamma ada di dalam Sang Buddha. Di sini, di saat ini! Dimanakah Saṅgha berada? Saṅgha ada di dalam Dhamma. Buddha, Dhamma, dan Saṅgha ada di dalam pikiran kita, tetapi kita harus melihatnya dengan jelas. Beberapa orang menganggap ini dengan santai mengatakan, “Oh! Buddha, Dhamma, dan Saṅgha ada di dalam pikiranku”. Namun praktik mereka sendiri tidak cocok atau sesuai. Oleh karena itu, tidak tepat Buddha, Dhamma, dan Saṅgha bisa ditemukan di pikiran mereka, yaitu, karena “pikiran” pertama-tama haruslah pikiran yang mengetahui Dhamma. Membawa semuanya kembali ke titik Dhamma ini, kita akan mengetahui bahwa kebenaran memang ada di dunia, dan dengan demikian adalah mungkin bagi kita untuk berlatih untuk menyadarinya. Sebagai contoh, “nāma-dhamma”, perasaan, pikiran, imajinasi, dan lain sebagainya, semuanya tidak pasti. Ketika kemarahan timbul, ia tumbuh dan berubah dan akhirnya menghilang. Kebahagiaan, juga, timbul, tumbuh dan berubah dan akhirnya menghilang. Mereka kosong. Mereka bukanlah apa-apa. Jalannya segala sesuatu selalu begini, baik secara mental maupun secara materiel. Secara internal, ada tubuh dan pikiran ini. Secara eksternal, ada pepohonan, tanaman merambat dan segala macam hal yang menunjukkan hukum universal ketakpastian ini. Apakah pohon, gunung atau binatang, semua itu Dhamma, segala sesuatu adalah Dhamma. Di manakah Dhamma ini? Sederhananya, yang bukan Dhamma itu tidak ada. Dhamma adalah alam. Ini disebut “saccadhamma”, Dhamma Sejati. Jika seseorang melihat alam, dia melihat Dhamma; jika seseorang melihat Dhamma, dia melihat alam. Melihat alam, seseorang mengetahui Dhamma. Jadi, apa gunanya banyak belajar ketika kenyataan tertinggi hidup, di setiap saatnya, di setiap tindakannya, hanyalah siklus kelahiran dan kematian tanpa akhir? Jika kita penuh perhatian dan dengan jelas sadar ketika di semua postur (duduk, berdiri, berjalan, berbaring), maka pengetahuan-diri siap untuk dilahirkan; yaitu, mengetahui kebenaran Dhamma yang sudah ada di sini dan di saat ini. Saat ini, Sang Buddha, Buddha sejati, masih hidup, karena Dia adalah Dhamma itu sendiri, “saccadhamma”. Dan “saccadhamma”, yang memungkinkan seseorang untuk menjadi Buddha, masih ada. Ia tidak lari ke mana pun! Ia memunculkan dua Buddha: satu di tubuh dan satu lagi di pikiran. “Dhamma sejati”, sang Buddha memberi tahu Ānanda, “hanya bisa disadari melalui latihan”. Siapa saja yang melihat Sang Buddha, melihat Dhamma. Dan bagaimana ini? Sebelumnya, tidak ada Buddha; hanya pada saat Siddhattha Gotama2 menyadari Dhamma barulah Beliau menjadi Buddha. Jika kita menjelaskannya dengan cara ini, maka Beliau sama dengan kita. Jika kita menyadari Dhamma, maka kita juga akan menjadi Buddha. Ini disebut Buddha dalam pikiran atau “nāma-dhamma”. Kita harus penuh perhatian dengan semua yang kita lakukan, karena kita menjadi pewaris dari perbuatan baik atau jahat kita sendiri. Dalam melakukan kebaikan, kita menuai kebaikan. Dalam melakukan kejahatan, kita menuai kejahatan. Yang harus anda lakukan hanyalah melihat ke dalam kehidupan sehari-hari anda untuk mengetahui bahwa memang demikian. Siddhattha Gotama tercerahkan pada kesadaran terhadap kebenaran ini, dan ini menimbulkan kemunculan seorang Buddha di dunia. Demikian juga jika setiap orang berlatih untuk mencapai kebenaran ini, maka mereka juga akan berubah menjadi Buddha. Oleh karena itu, Sang Buddha masih ada. Beberapa orang sangat senang, mengatakan, “Jika Buddha masih ada, maka saya bisa mempraktikkan Dhamma!” begitulah seharusnya anda melihatnya. Dhamma yang Sang Buddha sadari adalah Dhamma yang ada secara permanen di dunia. Hal ini bisa dibandingkan dengan air tanah yang secara permanen ada di dalam tanah. Ketika seseorang ingin menggali sumur, dia harus menggali cukup dalam untuk mencapai air tanah. Air tanahnya sudah ada di sana. Dia tidak menciptakan air, dia hanya menemukannya. Sama halnya, Sang Buddha tidak menciptakan Dhamma, Beliau tidak mendekretkan Dhamma. Beliau hanya mengungkapkan apa yang sudah ada. Melalui perenungan, Sang Buddha melihat Dhamma. Oleh karena itu, dikatakan bahwa Sang Buddha telah tercerahkan, karena kecerahan adalah mengetahui Dhamma. Dhamma adalah kebenaran dunia ini. Melihat ini, Siddhattha Gotama disebut “Sang Buddha”. Dan Dhamma adalah apa yang memungkinkan orang lain untuk menjadi Buddha, “Yang Mengetahui”, orang yang mengetahui Dhamma. Jika suatu makhluk memiliki perilaku yang baik dan setia pada Buddha-Dhamma, maka makhluk itu tidak akan pernah kekurangan kebajikan dan kebaikan. Dengan pemahaman, kita akan melihat bahwa kita sebenarnya tidak jauh dari Sang Buddha, tetapi duduk berhadapan dengannya. Ketika kita memahami Dhamma, maka pada saat itu juga kita akan melihat Sang Buddha. Jika seseorang benar-benar berlatih, dia akan mendengar Buddha-Dhamma baik duduk di akar pohon, berbaring atau dalam postur apa pun. Ini bukanlah sesuatu untuk dipikirkan saja. Ia timbul dari pikiran murni. Hanya mengingat kata-kata ini saja tidak cukup, karena ini tergantung pada melihat Dhamma itu sendiri, tidak ada selain daripada ini. Maka dari itu kita harus bertekad untuk berlatih untuk bisa melihat ini, kemudian latihan kita akan benar-benar sempurna. Apakah kita duduk, berdiri, berjalan atau berbaring, kita akan mendengar Dhamma Sang Buddha. Untuk menerapkan ajarannya, Sang Buddha mengajari kita untuk hidup di tempat yang tenang agar kita bisa belajar untuk menenangkan dan mengendalikan indra mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan pikiran. Ini adalah pondasi untuk latihan kita karena hanya di tempat-tempat inilah di mana semua hal timbul. Oleh karena itu kita menenangkan dan mengendalikan keenam indra ini untuk mengetahui kondisi-kondisi yang timbul di sana. Semua kebaikan dan kejahatan timbul melalui keenam indra ini. Mereka adalah pancaindra utama pada tubuh. Mata berperan dalam melihat, telinga dalam mendengar, hidung dalam penciuman, lidah dalam pengecapan, tubuh dalam merasakan panas, dingin, keras dan lembut, dan pikiran dalam timbulnya kesan-kesan mental. Yang tersisa untuk kita lakukan adalah membangun latihan kita di sekitar hal-hal ini. Latihannya mudah karena semua yang diperlukan telah ditetapkan oleh Sang Buddha. Ini bisa disamakan dengan Sang Buddha menanam pohon buah-buahan dan mengundang kita untuk mengambil bagian dari buahnya. Kita sendiri tidak perlu menanamnya. Apakah mengenai moralitas, meditasi atau kebijaksanaan, tidak perlu menciptakan, memutuskan atau berspekulasi, karena yang perlu kita lakukan hanyalah mengikuti hal-hal yang sudah ada di dalam ajaran Sang Buddha. Oleh karena itu, kita adalah makhluk yang memiliki banyak pahala dan keberuntungan karena telah mendengar ajaran Sang Buddha. Kebun sudah ada, buah sudah matang. Semuanya sudah lengkap dan sempurna. Yang kurang hanyalah seseorang untuk memakan buahnya, seseorang dengan keyakinan yang cukup untuk berlatih! Kita harus pertimbangkan bahwa pahala dan keberuntungan kita sangat berharga. Yang perlu kita lakukan hanyalah melihat ke sekeliling untuk mengetahui seberapa banyak makhluk lain yang memiliki nasib buruk; ambil anjing, babi, ular dan makhluk lain sebagai contoh. Mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mempelajari Dhamma, tidak ada kesempatan untuk memahami Dhamma, tidak ada kesempatan untuk mempraktikkan Dhamma. Makhluk-makhluk yang mempunyai nasib buruk ini sedang menerima ganjaran karma. Ketika seseorang tidak mempunyai kesempatan untuk belajar, untuk memahami, untuk mempraktikkan Dhamma, maka dia tidak memiliki kesempatan untuk terbebas dari penderitaan. Sebagai manusia kita tidak seharusnya membiarkan diri kita menjadi korban nasib buruk, kehilangan sopan santun dan disiplin. Jangan menjadi korban nasib buruk! Yaitu, seseorang tanpa harapan untuk mencapai jalan kebebasan menuju Nibbāna, seseorang tanpa harapan untuk mengembangkan keluhuran. Jangan berpikir bahwa kita sudah tanpa harapan! Dengan berpikiran seperti itu, kita kemudian jadi memiliki nasib buruk yang sama seperti makhluk lain.


Kita adalah makhluk yang telah datang dalam lingkup pengaruh Sang Buddha. Kita sebagai manusia sudah memiliki pahala dan sumber daya yang cukup. Jika kita mengoreksi dan mengembangkan pemahaman, pendapat dan pengetahuan kita di saat ini, maka itu akan menuntun kita untuk berperilaku dan berlatih sedemikian rupa untuk melihat dan mengetahui Dhamma dalam kehidupan sekarang ini sebagai manusia.


Kita adalah makhluk yang seharusnya tercerahkan pada Dhamma dan dengan demikian kita berbeda dari makhluk lain. Sang Buddha mengajarkan bahwa pada saat ini, Dhamma ada di sini di depan kita. Sang Buddha duduk menghadap kita tepat di sini dan pada saat ini! Di waktu atau tempat lain apa lagi anda akan melihat?


Jika kita tidak berpikir dengan benar, jika kita tidak berlatih dengan benar, kita akan jatuh kembali menjadi binatang atau makhluk di Neraka atau hantu kelaparan atau setan3. Bagaimana bisa begini? Lihat saja di dalam pikiran anda. Ketika kemarahan timbul, apa itu? Itu dia, lihat saja! Ketika delusi timbul, apa itu? Itu dia, tepat di sana! Ketika keserakahan timbul, apa itu? Lihatlah ia tepat di sana!


Dengan tidak mengenali dan memahami dengan jelas keadaan-keadaan mental ini, pikiran berubah dari pikiran manusia. Semua kondisi sedang berada dalam keadaan menjadi. Menjadi menimbulkan kelahiran atau keberadaan sebagaimana ditentukan oleh kondisi saat ini. Oleh karena itu kita menjadi dan ada saat pikiran kita mengondisikan kita.


ree

Diterjemahkan oleh: Jayananda Gotama 1 anicca-dukkha-anattā: tiga karakteristik kehidupan, yaitu: ketidakkekalan/ketidakstabilan, penderitaan/ketidakpuasan, dan tiada-aku/impersonalitas

2 Siddhatta Gotama: nama asli dari Buddha masa lampau. (Buddha, “Yang Mengetahui”, juga mewakili keadaan pencerahan atau kesadaran) 3 Menurut pemikiran Buddhis, makhluk dilahirkan di salah satu dari delapan kondisi keberadaan tergantung pada kamma mereka. Ini termasuk tiga keadaan surgawi (di mana kebahagiaan mendominasi), keadaan manusia, dan empat keadaan menyedihkan atau neraka yang disebutkan di atas (di mana penderitaan mendominasi). Y.M. Ajahn selalu menekankan bahwa kita harus melihat keadaan-keadaan ini di dalam pikiran kita sendiri setiap saat. Sehingga tergantung pada kondisi pikiran, kita bisa katakan bahwa kita terus-menerus dilahirkan dalam keadaan-keadaan yang berbeda ini. Misalnya, pikiran sedang terbakar oleh kemarahan maka kita telah jatuh dari keadaan manusia dan telah lahir di neraka pada saat itu juga.

 
 
 

Comments


bottom of page