top of page

Tempat Kesejukan - bab IX | A Taste of Freedom

  • Writer: thavariya putta
    thavariya putta
  • Jun 29, 2022
  • 6 min read

ree

Diberikan kepada kumpulan para bhikkhu dan sāmaṇera di Wat Pah Nanachat, selama masa vassa, 1978.

N.b: Ceramah ini telah diterbitkan di tempat lain dengan judul: “Pandangan benar – Tempat Kesejukan”




Praktik Dhamma bertentangan dengan kebiasaan kita, kebenaran bertentangan dengan keinginan kita; sehingga ada kesulitan dalam praktiknya. Beberapa hal yang kita anggap salah mungkin adalah benar, sementara hal-hal yang kita anggap benar mungkin adalah salah. Kenapa begini? Karena pikiran kita berada dalam kegelapan, kita tidak melihat kebenaran dengan jelas. Kita tidak benar-benar tahu apa-apa sehingga tertipu oleh kebohongan orang. Mereka menunjukkan apa yang benar sebagai salah dan kita mempercayainya; apa yang salah, mereka bilang benar, dan kita percaya itu. Ini karena kita belum menjadi tuan bagi diri kita sendiri. Suasana hati kita membohongi kita terus-menerus. Kita tidak boleh mengambil pikiran ini dan pendapatnya sebagai pemandu kita, karena ia tidak mengetahui kebenaran. Beberapa orang sama sekali tidak ingin mendengarkan orang lain, tapi ini bukanlah cara orang yang bijaksana. Orang bijak mendengarkan semuanya. Seseorang yang mendengarkan Dhamma harus mendengarkan dengan sama, apakah dia menyukainya atau tidak, dan tidak secara membuta percaya atau tidak percaya. Dia harus berada di tengah jalan, titik tengah, dan tidak lengah. Dia hanya mendengarkan kemudian merenungkan, menimbulkan hasil yang benar sesuai dengan itu. Orang bijak harus merenungkan dan melihat sendiri sebab dan akibat sebelum dia mempercayai apa yang dia dengar. Meskipun guru mengatakan yang sebenarnya, jangan percaya begitu saja, karena anda belum mengetahui kebenarannya sendiri.


Ini sama untuk kita semua, termasuk saya sendiri. Saya telah berlatih lebih lama dari anda, saya telah melihat banyak kebohongan sebelumnya. Misalnya, “latihan ini sangat sulit, benar-benar susah.” Mengapa latihannya sulit? Itu karena kita berpikir secara salah, kita mempunyai pandangan salah. Sebelumnya saya hidup bersama dengan bhikkhu lain, tapi saya merasa tidak benar. Saya lari ke hutan dan gunung, melarikan diri dari kerumunan, para bhikkhu dan sāmaṇera. Saya berpikir bahwa mereka tidak seperti saya, mereka tidak berlatih sekeras saya. Mereka ceroboh. Orang itu seperti ini, orang ini seperti itu. Ini adalah sesuatu yang benar-benar membuat saya merasa kacau, itu adalah penyebab saya terus melarikan diri. Tapi apakah saya hidup sendiri atau bersama orang lain, saya masih tidak memiliki ketenangan. Hidup sendiri saya tidak puas, dalam kelompok besar saya tidak puas. Saya pikir ketakpuasan ini dikarenakan rekan-rekan saya, dikarenakan suasana hati saya, dikarenakan tempat tinggal saya, makanan, cuaca, karena ini dan itu. Saya terus-menerus mencari sesuatu yang sesuai dengan pikiran saya. Sebagai seorang bhikkhu dhutaṅga1, saya pergi berkeliling, tetapi keadaan masih belum benar. Jadi saya merenungkan, “apa yang bisa saya lakukan untuk memperbaikinya? Apa yang bisa saya lakukan?” Hidup dengan banyak orang saya tidak puas, dengan sedikit orang saya tidak puas. Untuk alasan apa? Saya tidak bisa melihatnya. Kenapa saya tidak puas? Karena saya mempunyai pandangan salah, hanya itu; karena saya masih melekat pada Dhamma yang salah. Ke mana pun saya pergi saya merasa tidak puas, berpikir, “Di sini tidak bagus, di sana tidak bagus,” terus menerus seperti itu. Saya menyalahkan orang lain. Saya menyalahkan cuaca, panas dan dingin, saya menyalahkan semuanya! Sama seperti anjing gila. Ia menggigit apa pun yang ditemuinya, karena ia gila. Ketika pikiran seperti ini, latihan kita tidak pernah mapan. Hari ini kita merasa baik, besok tidak baik. Selalu seperti itu. Kita tidak mencapai kepuasan atau ketenangan. Sang Buddha suatu kali melihat jakal, seekor anjing liar, berlari keluar dari hutan tempat di mana ia tinggal. Ia berdiri diam untuk sementara, lalu berlari ke dalam semak-semak, lalu keluar lagi. Kemudian ia berlari ke lubang pohon, lalu keluar lagi. Kemudian ia masuk ke dalam gua, hanya untuk berlari keluar lagi. Satu menit ia berdiri, berikutnya ia berlari, kemudian ia berbaring, lalu melompat. Jakal itu menderita penyakit kudis. Ketika ia berdiri kudis itu akan memakan kulitnya, jadi ia akan lari. Berlari ia masih tidak nyaman, jadi ia akan berhenti. Berdiri masih tidak nyaman, jadi ia akan berbaring. Lalu ia akan melompat lagi, berlari ke dalam semak-semak, lubang pohon, tidak pernah diam.


Sang Buddha berkata, “Para bhikkhu, apakah kalian melihat jakal tadi siang? Berdiri ia menderita, berlari ia menderita, duduk ia menderita, berbaring ia menderita. Di semak-semak, lubang pohon atau gua, ia menderita. Ia menyalahkan berdiri karena ketidaknyamanannya, ia menyalahkan duduk, ia menyalahkan berlari dan berbaring; ia menyalahkan pohon, semak-semak dan gua. Sebenarnya masalahnya tidak pada hal-hal itu. Jakal itu menderita penyakit kudis. Masalahnya ada pada kudis.”


Kita para bhikkhu sama saja dengan jakal itu. Ketakpuasan kita dikarenakan oleh pandangan salah. Karena kita tidak melatih pengendalian indra kita menyalahkan penderitaan kita pada hal-hal eksternal. Apakah kita tinggal di Wat Pah Pong, di Amerika atau London kita tidak puas. Tinggal di Bung Wai atau di cabang biara mana pun kita masih tidak puas. Kenapa tidak? Karena kita masih mempunyai pandangan salah di dalam diri kita. Ke mana pun kita pergi kita tidak puas.


Tapi sama seperti anjing itu, jika kudisnya disembuhkan, ia puas ke mana pun ia pergi, begitu juga dengan kita. Saya sering merenungkan ini, dan saya sering mengajarkan anda ini, karena ini sangat penting. Jika kita mengetahui kebenaran dari berbagai suasana hati kita, kita sampai pada kepuasan. Baik panas maupun dingin kita puas, hidup dengan banyak orang atau dengan sedikit orang kita puas. Kepuasan tidak bergantung pada berapa banyak orang yang bersama kita, ia datang hanya dari pandangan benar. Jika kita mempunyai pandangan benar maka di mana pun kita tinggal kita puas.


Tetapi kebanyakan dari kita mempunyai pandangan salah. Ini sama seperti seekor cacing – tempat tinggal cacing itu kotor, makanannya kotor, tapi itu cocok dengan cacing. Jika anda mengambil tongkat dan menyikatnya dari gumpalan kotorannya, ia akan berjuang untuk melata kembali. Sama halnya ketika Ajahn mengajari kita untuk melihat dengan benar. Kita menolak, itu membuat kita merasa tidak nyaman. Kita berlari kembali ke “gumpalan kotoran” kita karena di sana kita merasa seperti di rumah. Kita semua seperti ini. Jika kita tidak melihat konsekuensi berbahaya dari semua pandangan salah kita maka kita tidak bisa meninggalkannya; latihannya sulit. Jadi kita harus mendengarkan. Tidak ada hal lain lagi pada latihan.


Jika kita memiliki pandangan benar, ke mana pun kita pergi kita puas. Saya sudah berlatih dan melihat ini. Akhir-akhir ini ada banyak bhikkhu, sāmaṇera dan umat awam yang datang menemui saya. Jika saya masih tidak tahu, jika saya masih mempunyai pandangan salah, saya pasti sudah mati sekarang! Tempat berdiam yang tepat bagi para bhikkhu, tempat kesejukan, adalah pandangan benar itu sendiri. Kita seharusnya tidak mencari yang lain.


Jadi, meskipun anda mungkin tidak bahagia, itu tidak masalah, ketakbahagiaan itu tidak pasti. Apakah ketakbahagiaan itu “diri” anda? Apakah ada substansi padanya? Apakah ia nyata? Saya sama sekali tidak melihatnya sebagai nyata. Ketakbahagiaan hanyalah kilatan perasaan yang muncul kemudian menghilang. Kebahagiaan juga sama. Apakah ada konsistensi pada kebahagiaan? Apakah ia benar-benar sebuah entitas? Itu hanyalah sebuah perasaan yang berkilat tiba-tiba dan menghilang. Nah! Ia lahir kemudian ia mati. Cinta berkilat sesaat kemudian menghilang. Di mana konsistensinya dalam cinta, atau benci, atau dendam? Sebenarnya tidak ada entitas yang substansial di sana, mereka hanyalah kesan-kesan yang menyala di dalam pikiran kemudian mati. Mereka menipu kita terus-menerus, kita tidak menemukan kepastian di mana pun. Sama seperti yang Sang Buddha katakan, saat ketakbahagiaan timbul ia tinggal untuk sementara, lalu menghilang. Saat ketakbahagiaan menghilang, kebahagiaan timbul dan menetap untuk sementara waktu kemudian mati. Saat kebahagiaan menghilang, ketakbahagiaan timbul lagi, terus-menerus seperti ini.


Pada akhirnya kita hanya bisa mengatakan ini: selain dari kelahiran, kehidupan dan kematian penderitaan, tidak ada apa-apa. Hanya ada ini. Tapi kita yang bodoh berlari dan meraihnya terus-menerus. Kita tidak pernah melihat kebenarannya, bahwa hanya ada perubahan terus-menerus ini. Jika kita memahami ini maka kita tidak perlu banyak berpikir, akan tetapi kita memiliki banyak kebijaksanaan. Jika kita tidak mengetahuinya, maka kita akan mempunyai lebih banyak pikiran daripada kebijaksanaan – dan mungkin tidak ada kebijaksanaan sama sekali! Sampai kita benar-benar melihat akibat yang berbahaya dari tindakan kita, barulah kita bisa melepaskannya. Demikian juga, sampai kita melihat manfaat yang sebenarnya dari latihan, barulah kita bisa mengikutinya, dan mulai bekerja untuk membuat pikiran “baik”.


Jika kita memotong sebatang kayu dan membuangnya ke sungai, dan kayu itu tidak tenggelam atau membusuk, atau terdampar di salah satu tepi sungai, kayu itu pasti akan sampai ke laut. Latihan kita juga dapat disamakan dengan ini. Jika anda berlatih sesuai dengan jalan yang ditetapkan oleh Sang Buddha, mengikutinya dengan lurus, anda akan melampaui dua hal. Dua hal apa? Hanya dua ekstrem itu yang Sang Buddha katakan bukanlah jalan seorang meditator sejati: pemanjaan dalam kesenangan (kāmasukhalikānuyogo) dan pemanjaan dalam rasa sakit (attakilamathānuyogo). Ini adalah dua tepi sungai. Salah satu tepi sungai itu adalah kebencian, yang lainnya adalah cinta. Atau anda bisa katakan kalau satu tepi sungai adalah kebahagiaan, dan satunya lagi adalah ketakbahagiaan. “Kayu” itu adalah pikiran ini. Saat ia “mengalir menyusuri sungai” ia akan mengalami kebahagiaan dan ketakbahagiaan. Jika pikiran tidak melekat pada kebahagiaan atau ketakbahagiaan itu, ia akan mencapai “samudra” Nibbāna. Anda harus melihat bahwa tidak ada yang lain selain kebahagiaan dan ketakbahagiaan yang timbul dan menghilang. Jika anda tidak “terdampar” di hal-hal ini maka anda berada di jalan meditator sejati.


Ini adalah ajaran Sang Buddha. Kebahagiaan, ketakbahagiaan, cinta dan benci hanya terbentuk di alam sesuai dengan hukum alam yang konstan. Orang bijak tidak mengikuti atau menganjurkan mereka, dia tidak melekat pada mereka. Ini adalah pikiran yang melepaskan pemanjaan dalam kesenangan dan pemanjaan dalam kesakitan. Ini adalah praktik yang benar. Sama seperti balok kayu itu yang pada akhirnya akan mengalir ke laut, begitu pula pikiran yang tidak terikat pada dua ekstrem ini pasti akan mencapai ketenangan.


ree

Diterjemahkan oleh: Jayananda Gotama




1. Dhutaṅga, secara tepat berarti “pertapa”. Seorang bhikkhu dhutaṅga adalah orang yang menjalankan beberapa dari tiga belas praktik pertapaan yang diizinkan oleh Sang Buddha. Bhikkhu dhutaṅga secara tradisional menghabiskan waktu bepergian (sering dengan berjalan kaki) untuk mencari tempat yang tenang untuk meditasi, guru lain, atau hanya sebagai latihan itu sendiri.

 
 
 

Comments


bottom of page