top of page

Tidak Berdiam - bab VIII | A Taste of Freedom

Updated: Jul 10, 2022


Sebuah ceramah yang diberikan kepada para bhikkhu, sāmaṇeradan umat awam Wat Pah Nanachat pada kunjungan ke Wat Nong Pah Pong selama masa vassa tahun 1980.




Kita mendengar beberapa ajaran dan tidak benar-benar bisa memahaminya. Kita pikir ajaran-ajaran itu tidak seharusnya seperti itu, jadi kita tidak mengikutinya, tapi sebenarnya ada alasan untuk semua ajaran. Mungkin tampaknya hal-hal tidak seharusnya seperti itu, tapi mereka seperti itu. Pada awalnya saya bahkan tidak percaya dengan meditasi duduk. Saya tidak bisa melihat apa gunanya hanya duduk dengan mata tertutup. Dan meditasi jalan, berjalan dari pohon ini ke pohon itu, berbalik dan berjalan kembali lagi. “Mengapa repot-repot?” Saya berpikir, “Apa gunanya berjalan seperti itu?” Saya berpikir seperti itu, tapi sebenarnya meditasi jalan dan duduk sangat bermanfaat. Kecenderungan beberapa orang menyebabkan mereka lebih memilih meditasi jalan, yang lain lebih suka duduk, tetapi anda tidak bisa berlatih tanpa keduanya. Kitab suci merujuk pada empat postur: berdiri, berjalan, duduk dan berbaring. Kita hidup dengan empat postur ini. Kita mungkin lebih suka yang satu daripada yang lain, tetapi kita harus menggunakan keempatnya. Kitab suci mengatakan buatlah keempat postur ini seimbang, buatlah praktik seimbang dalam semua postur. Awalnya saya tidak bisa memahami apa artinya membuat mereka seimbang. Mungkin artinya kita tidur selama dua jam, lalu berdiri selama dua jam, lalu berjalan selama dua jam… mungkin itu saja? Saya mencobanya – tidak bisa, itu mustahil! Bukan itu yang dimaksud membuat postur seimbang. “Membuat postur seimbang” merujuk pada pikiran, pada kesadaran kita, menimbulkan kebijaksanaan di dalam pikiran, untuk menerangi pikiran. Kebijaksanaan kita ini harus hadir di semua postur; kita harus mengetahui, atau memahami, terus-menerus. Berdiri, berjalan, duduk ataupun berbaring, kita mengetahui semua keadaan-keadaan mental sebagai tidak kekal, tidak memuaskan dan tiada-diri. Membuat postur seimbang dengan cara ini bisa dilakukan, ini mungkin. Apakah suka atau tidak suka hadir di dalam pikiran, kita tidak melupakan praktik kita, kita sadar. Jika kita pusatkan saja perhatian kita pada pikiran terus-menerus maka kita memiliki inti praktik. Apakah kita mengalami keadaan mental yang dunia kenal sebagai baik atau buruk, kita tidak melupakan diri kita. Kita tidak tersesat dalam baik atau buruk, kita hanya berjalan lurus. Membuat postur konstan dengan cara ini, ini bisa dilakukan. Jika kita memiliki konsistensi dalam praktik kita, ketika kita dipuji, maka itu hanyalah pujian; jika kita dicela, itu hanyalah celaan. Kita tidak menjadi tinggi atau rendah karenanya, kita tetap di sini. Mengapa? Karena kita melihat bahaya di dalam semua hal itu, kita melihat akibatnya. Kita terus-menerus menyadari bahaya di dalam pujian dan celaan. Biasanya, jika kita memiliki suasana hati yang baik, pikiran juga baik, kita melihatnya sebagai hal yang sama; jika kita memiliki suasana hati yang buruk, pikiran juga menjadi buruk, kita tidak menyukainya. Beginilah adanya, ini adalah praktik yang tidak seimbang. Jika kita memiliki konsistensi sejauh mengetahui suasana hati kita saja, dan mengetahui kita melekat padanya, ini sudah lebih baik. Artinya, kita memiliki kesadaran, kita tahu apa yang sedang terjadi, tapi kita masih tidak bisa melepaskan. Kita melihat diri kita melekat pada baik dan buruk, dan kita mengetahuinya. Kita melekat pada baik dan tahu itu bukan praktik yang benar, tapi kita masih tidak bisa melepaskan. Ini sudah lima puluh sampai tujuh puluh persen dari praktik. Masih belum ada pelepasan tapi kita tahu bahwa jika kita bisa melepaskan, itu akan menjadi jalan menuju ketenangan. Kita terus melihat konsekuensi yang sama bahayanya dari semua yang kita sukai dan tidak sukai, dari pujian dan celaan, terus-menerus. Apa pun kondisinya, pikiran konstan dengan cara ini. Tetapi jika orang duniawi dicela atau dikritik, mereka menjadi sangat marah. Jika mereka dipuji, itu menghibur mereka, mereka bilang itu bagus dan menjadi sangat senang karenanya. Jika kita mengetahui kebenaran dari berbagai suasana hati kita, jika kita mengetahui konsekuensi dari kemelekatan terhadap pujian dan celaan, bahaya dari melekat pada apa saja, kita akan menjadi peka terhadap suasana hati kita. Kita akan mengetahui bahwa melekat pada mereka benar-benar menyebabkan penderitaan. Kita melihat penderitaan ini, dan kita melihat kemelekatan kita sebagai penyebab penderitaan itu. Kita mulai melihat konsekuensi menggenggam dan melekat pada yang baik dan yang buruk, karena kita telah menggenggamnya dan melihat akibatnya sebelumnya – tidak ada kebahagiaan sejati. Jadi sekarang kita mencari cara untuk melepaskan. Di mana “cara untuk melepaskan” ini? Dalam Buddhisme kita mengatakan, “Jangan melekat pada apa pun.” Kita tidak pernah berhenti mendengar tentang “jangan melekat pada apa pun!” ini. Ini berarti memegang, tetapi tidak melekat. Seperti senter ini. Kita berpikir, “Apa ini?” Jadi kita mengambilnya, “Oh, ini adalah senter,” lalu kita meletakkannya lagi. Kita memegang hal-hal dengan cara ini. Jika kita tidak memegang apa-apa sama sekali, apa yang bisa kita lakukan? Kita tidak bisa melakukan meditasi jalan atau melakukan apa pun, jadi kita harus memegang hal-hal terlebih dahulu. Itu adalah keinginan, ya, itu benar, tapi nantinya itu mengarah ke pāramī (kebajikan atau kesempurnaan). Seperti ingin datang ke sini, misalnya. Yang Terhormat Jagaro1 datang ke Wat Pah Pong. Dia harus ingin datang terlebih dahulu. Jika dia tidak merasa ingin datang dia tidak akan datang. Bagi siapa pun sama saja, mereka datang ke sini karena keinginan. Tapi ketika keinginan timbul, jangan melekat padanya! Jadi anda datang, kemudian anda pulang. Apa ini? Kita mengambilnya, memeriksanya dan melihat, “Oh, ini adalah senter,” lalu kita meletakkannya. Ini disebut memegang tapi tidak melekat, kita melepaskan. Kita tahu kemudian kita melepaskan. Sederhananya, kita hanya mengatakan ini, “Ketahuilah, kemudian lepaskan.” Teruslah mencari dan melepaskan. “Ini, mereka bilang baik; ini mereka bilang tidak baik” … ketahui, kemudian lepaskan. Baik dan buruk, kita tahu semuanya, tapi kita melepaskannya. Kita tidak dengan bodohnya melekat pada hal-hal, tapi kita “memegang” mereka dengan kebijaksanaan. Berlatih dalam “postur” ini bisa terus-menerus. Anda harus konstan seperti ini. Buatlah pikiran tahu dengan cara ini; biarkan kebijaksanaan timbul. Ketika pikiran memiliki kebijaksanaan, apa lagi yang harus dicari?


Kita harus merenungkan apa yang sedang kita lakukan di sini. Untuk alasan apa kita tinggal di sini, untuk apa kita bekerja? Di dunia mereka bekerja untuk imbalan ini atau itu, tetapi para bhikkhu mengajarkan sesuatu sedikit lebih dalam daripada itu. Apa pun yang kita lakukan, kita tidak meminta imbalan. Kita bekerja tanpa pamrih. Orang-orang duniawi bekerja karena mereka ingin ini atau itu, karena mereka menginginkan suatu keuntungan atau lainnya, tapi Sang Buddha mengajarkan untuk bekerja hanya untuk bekerja, kita tidak meminta apa pun di luar itu.


Jika anda melakukan sesuatu hanya untuk mendapatkan suatu imbalan, itu akan menyebabkan penderitaan. Cobalah sendiri! Anda ingin membuat pikiran anda tenang jadi anda duduk dan berusaha membuatnya tenang – anda akan menderita! Cobalah. Cara kita lebih halus. Kita melakukannya, kemudian melepaskan; lakukan, lalu lepaskan.


Lihatlah Brahmin yang membuat pengorbanan. Dia mempunyai suatu keinginan di dalam pikirannya, jadi dia membuat pengorbanan. Tindakannya itu tidak akan membantu dia melampaui penderitaan karena dia bertindak berdasarkan keinginan. Pada awalnya kita berlatih dengan suatu keinginan di dalam pikiran; kita berlatih terus-menerus, tapi kita tidak mencapai keinginan kita. Jadi kita berlatih sampai kita mencapai titik di mana kita berlatih tanpa imbalan, kita berlatih untuk melepaskan.


Ini adalah sesuatu yang harus kita lihat sendiri, ini sangat dalam. Mungkin kita berlatih karena kita ingin pergi ke Nibbāna – tepat di sana, anda tidak akan mencapai Nibbāna! Wajar menginginkan ketenangan, tapi itu tidak sepenuhnya benar. Kita harus berlatih tanpa menginginkan apa-apa sama sekali. Jika kita tidak menginginkan apa-apa sama sekali, apa yang akan kita dapatkan? Kita tidak mendapatkan apa-apa! Apa pun yang anda dapatkan adalah penyebab penderitaan, jadi kita berlatih tidak mendapatkan apa-apa.


Inilah yang disebut “membuat pikiran kosong”. Ia kosong tapi masih ada tindakan. Kekosongan ini adalah sesuatu yang biasanya tidak dipahami orang; hanya mereka yang mencapainya melihat nilai sebenarnya dari hal ini. Ini bukanlah kekosongan dari tidak memiliki apa-apa, ini adalah kekosongan di dalam hal-hal yang ada di sini. Seperti senter ini: kita harus melihat senter ini sebagai kosong; karena senter, ada kekosongan. Itu bukan kekosongan di mana kita tidak bisa melihat apa-apa, bukan seperti itu. Orang yang memahami seperti itu telah salah paham. Anda harus memahami kekosongan di dalam hal-hal yang ada di sini.


Mereka yang masih berlatih karena mereka mempunyai suatu pemikiran untuk memperoleh adalah seperti Brahmin yang membuat pengorbanan hanya untuk memenuhi suatu keinginan. Seperti orang yang datang untuk menemui saya untuk diperciki dengan “air suci”. Saat saya bertanya kepada mereka, “Kenapa anda menginginkan air suci ini?” mereka bilang, “kami ingin hidup dengan bahagia dan nyaman dan tidak sakit.” Nah! Mereka tidak akan pernah melampaui penderitaan seperti itu.


Cara duniawi adalah melakukan sesuatu untuk sebuah alasan, untuk mendapatkan imbalan, tetapi dalam Buddhisme kita melakukan sesuatu tanpa pemikiran untuk mendapatkan apa pun. Dunia harus memahami hal-hal dari segi sebab dan akibat, tetapi Sang Buddha mengajari kita untuk berada di atas dan di luar sebab dan akibat. Kebijaksanaannya adalah untuk berada di atas sebab, di luar akibat; untuk berada di atas kelahiran dan di luar kematian; untuk berada di atas kebahagiaan dan di luar penderitaan.


Pikirkan ini, tidak ada tempat untuk tinggal. Kita manusia hidup dalam sebuah “rumah”. Untuk meninggalkan rumah dan pergi di mana tidak ada rumah, kita tidak tahu bagaimana melakukannya, karena kita selalu hidup dengan menjadi, dengan kemelekatan. Jika kita tidak bisa melekat kita tidak tahu harus berbuat apa.


Jadi kebanyakan orang tidak ingin pergi ke Nibbāna, tidak ada apa-apa di sana; tidak ada sama sekali. Lihatlah atap dan lantai di sini. Bagian paling atas adalah atap, itu adalah “berdiam”. Bagian paling bawah adalah lantai, dan itu adalah “berdiam” lainnya. Tetapi di ruang kosong antara lantai dan atap tidak ada tempat untuk berdiri. Seseorang bisa berdiri di atas atap, atau berdiri di atas lantai, tapi tidak di ruang kosong itu. Di mana tidak ada tempat berdiam, di sanalah ada kekosongan, dan Nibbāna adalah kekosongan ini.


Orang-orang mendengar ini dan mereka mundur sedikit, mereka tidak ingin pergi. Mereka takut mereka tidak akan melihat anak-anak atau kerabat mereka. Inilah kenapa, saat kita memberkati umat awam, kita berkata, “Semoga anda panjang umur, rupawan, bahagia dan kuat.” Ini membuat mereka sangat bahagia, “sādhu!” jawab mereka semua. Mereka menyukai hal-hal ini. Jika anda mulai berbicara mengenai kekosongan mereka tidak menginginkannya, mereka terikat untuk berdiam.


Tapi pernahkah anda melihat orang yang sangat tua dengan kulit yang indah? Pernahkah anda melihat orang tua dengan banyak kekuatan, atau banyak kebahagiaan? Tidak, tapi kita mengatakan, “Panjang umur, rupawan, bahagia dan kuat” dan mereka semua sangat senang, setiap orang mengucapkan sādhu! Ini seperti Brahmin yang membuat persembahan untuk mencapai suatu keinginan.


Dalam praktik kita, kita tidak “membuat persembahan”, kita tidak berpraktik untuk mendapatkan imbalan. Kita tidak menginginkan apa pun. Jika kita menginginkan sesuatu maka masih ada sesuatu di sana. Buat saja pikiran menjadi tenang dan menyudahinya. Tapi jika saya berbicara seperti ini, anda mungkin merasa tidak terlalu nyaman, karena anda ingin “dilahirkan” lagi.


Kalian semua para praktisi awam harus mendekati para bhikkhu dan melihat praktik mereka. Dekat dengan para bhikkhu berarti dekat dengan Sang Buddha, dekat dengan Dhammanya. Sang Buddha berkata “Ānanda, banyaklah berlatih, kembangkan latihanmu! Siapa pun yang melihat Dhamma melihat saya, dan siapa pun yang melihat saya melihat Dhamma.”


Dimanakah Sang Buddha? Kita mungkin berpikir Sang Buddha telah datang dan pergi, tetapi Sang Buddha adalah Dhamma, Kebenaran. Beberapa orang suka mengatakan, “Oh, jika aku lahir pada masa Sang Buddha aku akan pergi ke Nibbāna.” Di sini, orang bodoh berbicara seperti ini. Sang Buddha masih di sini. Sang Buddha adalah kebenaran. Terlepas dari siapa saja yang lahir atau mati, kebenaran masih di sini. Kebenaran tidak pernah pergi dari dunia, ia ada di sana sepanjang waktu. Apakah seorang Buddha lahir atau tidak, apakah seseorang mengetahuinya atau tidak, kebenaran tetap ada.


Jadi kita harus mendekati Sang Buddha, kita harus masuk ke dalam batin dan menemukan Dhamma. Ketika kita mencapai Dhamma kita akan mencapai Buddha; melihat Dhamma kita akan melihat Sang Buddha, dan semua keraguan akan hilang.


Untuk memberikan sebuah perbandingan, ini seperti guru Choo. Pada awalnya dia bukanlah seorang guru, dia hanya Tuan Choo. Ketika dia belajar dan lulus dengan nilai yang diperlukan dia menjadi seorang guru, dan menjadi dikenal sebagai guru Choo. Bagaimana dia menjadi seorang guru? Melalui mempelajari mata pelajaran yang dibutuhkan, sehingga memungkinkan Tuan Choo menjadi guru Choo. Ketika guru Choo meninggal, studi untuk menjadi seorang guru tetap ada, dan siapa saja yang mempelajarinya akan menjadi seorang guru. Mata pelajaran untuk menjadi seorang guru itu tidak menghilang ke mana pun, seperti halnya Kebenaran, pengetahuan yang memungkinkan Sang Buddha untuk menjadi Sang Buddha.


Jadi Sang Buddha masih di sini. Siapa pun yang berlatih dan melihat Dhamma melihat Sang Buddha. Akhir-akhir ini orang-orang salah paham, mereka tidak tahu di mana Sang Buddha berada. Mereka bilang, “Jika aku lahir pada masa Sang Buddha, aku akan mnejadi muridnya dan menjadi tercerahkan.” Itu adalah kebodohan.


Jangan berpikiran bahwa pada akhir masa vassa anda akan lepas jubah. Jangan berpikir seperti itu! Dalam sekejap pikiran jahat bisa timbul di dalam pikiran, anda bisa membunuh seseorang. Dengan cara yang sama, hanya perlu sepersekian detik bagi kebaikan untuk timbul di dalam pikiran, dan anda sudah berada di sana.


Dan jangan berpikiran bahwa anda harus ditahbiskan untuk waktu yang lama untuk bisa bermeditasi. Praktik benar terletak di saat kita membuat kamma. Dalam sekejap pikiran jahat timbul dan sebelum anda mengetahuinya, anda telah melakukan suatu kamma berat. Dengan cara yang sama, semua murid Sang Buddha berlatih untuk waktu yang lama, tetapi waktu mereka mencapai kecerahan hanyalah satu momem pikiran.


Jadi jangan lalai, bahkan dalam hal-hal kecil. Berusaha keras, cobalah dekati para bhikkhu, renungkan hal-hal kemudian anda akan tahu tentang bhikkhu. Eh, itu sudah cukup, ya? Pasti sudah larut sekarang, beberapa orang mulai mengantuk. Sang Buddha mengatakan untuk tidak mengajarkan Dhamma kepada orang yang mengantuk.



Diterjemahkan oleh: Jayananda Gotama




1. Yang Terhormat Jagaro (John Cianciosi): seorang bhikkhu Australia dan kepala biara ketiga Wat Pah Nanachat, yang telah membawa sekelompok bhikkhu dan umat awam untuk menemui Ajahn Chah.


bottom of page